Potret Maladewa Sebagai Negara Kepulauan Interkonektif (1): Mengenal Maladewa

in Negara Islam

Last updated on June 6th, 2023 01:35 pm

“Tokoh muslim menyebarkan Islam dengan ajaran damai, juga berakulturasi dengan kebudayaan di masa itu. Sehingga mudah diterima oleh penduduk Maladewa, dan tersebar secara masif.”

Sumber Foto: batambicara.id

Maladewa, adalah sebuah wilayah kepulauan yang terbentuk dari rangkaian atol karang dari mahkota pegunungan vulkanik purba yang tenggelam. Dalam ejaan universal disebut sebagai Maldives, atol ini memiliki laguna, pantai berpasir, dan laut yang berdampingan dengan pulau tersebut berwarna biru pirus.

Begitu indahnya bahkan negara kepulauan ini disandingkan bak surga yang terlempar ke bumi. Maka tak heran, Maladewa dapat menarik pasar pariwisata sebagai salah satu destinasi yang diminati. Namun, tak hanya panorama semata yang ditawarkan oleh Maladewa.

Pemerintah negara tersebut berani mengklaim bahwa Maladewa merupakan negara Islam yang 100 persen penduduknya merupakan muslim.

Sejarah Kuno

Terletak di selatan India, dan barat daya Sri Lanka, Maladewa adalah negara dengan luas paling kecil di seluruh Asia Selatan.

Nama Maladewa sendiri dikatakan berasal dari bahasa Sansekerta माला mālā (karangan bunga) dan द्वीप dvīpa (pulau), yaitu “Untaian Pulau-pulau.” Disebut juga sebagai මාල දිවයින Maala Divaina (“Pulau Kalung”) dalam bahasa Sinhala.[1]

Hanya sedikit sejarah mengenai nenek moyang suku bangsa di Maladewa. Menurut legenda, pemukim pertama Maladewa dikenal sebagai dheyvis, yang datang dari Kalibanga, India. Tidak ada sejarah konkrit, kapan para dheyvis ini bermukim, konon sudah ada sebelum kerajaan Kaisar Asoka berdiri di India (269 – 232 SM).

Kerajaan pertama Maladewa dikenal sebagai Dheeva Maari, dipimpin oleh seorang pangeran bernama Sri Soorudasaruna Adeettiya. Konon, sang ayah—Raja Brahmaadittiya, penguasa di Kalinga, India—tidak senang dengan putranya tersebut, dan mengasingkan sang pangeran ke sana.[2]  

Tercatat dalam sejarah, ada beberapa nama yang disandang oleh Maladewa, yaitu Dheeva Mahal oleh kunjungan utusan abad ke-3 SM. Juga dinamakan Diva Kudha (1100 – 1166 M), oleh seorang cendekiawan dan polimatik bernama al-Biruni (973 – 1048 M).

Legenda lain mengatakan bahwa suku Dravida merupakan penduduk asli Maladewa, mereka datang dari India Selatan melalui kepulauan Laccadives, India. Selain itu datang para pendatang (pedagang) dari Maroko (Timur Tengah). Di mana akulturasi antara suku Dravida dan Timur Tengah menghasilkan etnis mayoritas yang menggunakan bahasa Dhivehi, sebagai bahasa resmi Maladewa.

Etnis Suvadiva, yang merupakan keturunan keluarga kerajaan Sinhala dari Serendib (Sri Lanka) juga bermukim di Maladewa. Pun keturunan suku Mahl dari India, yang disebut Minicoi.

Dengan adanya para pendatang maka infiltrasi agama pun masuk ke Maladewa. Ajaran Hindu dan Budha diperkirakan berkembang pada abad 11 hingga awal abad 12, yang dibuktikan dengan adanya peninggalan beberapa stupa dan patung.[3]

Sejarah Masuknya Agama Islam

Eksistensi Islam sendiri menyebar ke Maladewa sekitar pertengahan abad ke-12. Dari berbagai ahli sejarah menyebutkan pengaruh aliran Syiah dibawa oleh pedagang asal Gujarat dan Persia, yang merupakan muslim.

Tokoh muslim menyebarkan Islam dengan ajaran damai, juga akulturasi dengan kebudayaan di masa itu. Sehingga mudah diterima oleh penduduk Maladewa, dan tersebar secara masif.

Ada pernyataan bahwa Islam kali pertama dibawa oleh ulama Persia bernama Yusuf Shamsuddin ke Maladewa. Namun, argumen lain menyatakan berdasarkan catatan Ibnu Bathuthah—cendekiawan Maroko—pada 1354 – 1355 M, bahwa Islam dibawa oleh pendatang Maroko, yaitu Abu al-Barakat.

Begitu besarnya pengaruh Islam, hingga membuat Raja Koimala salah satu penguasa kala itu, memutuskan menjadi muslim. Ia pun mengubah namanya menjadi Sultan Muhammad bin Abdullah.

Peristiwa tersebut, menjadi tonggak penting dalam sejarah Maladewa, bahkan masyarakat di sana mengenangnya sebagai “Revolusi Spiritual”.[4]

Kisah yang menarik mengenai perkembangan agama Islam di Maladewa tertuang dalam rihlah Ibu Bathuthah. Di mana kepemimpinan kesultanan—yang sudah memeluk agama Islam—pada masa itu dipimpin oleh seorang ratu bernama Khadijah. Hal itu dikarenakan, dari garis keturunan sang kakek, lalu kepada ayahnya, juga saudara laki-lakinya yang bernama Syihabuddin.

Akan tetapi, Syihabuddin tewas dibunuh, tanpa kisah yang jelas. Sehingga hanya ada Khadijah dan kedua saudara perempuannya sebagai penerus. Meskipun Khadijah dijadikan ratu, tetapi pemegang kekuasaan adalah perdana menteri yang sekaligus suami Khadijah, bernama Jamaluddin. [5]

Meski segala perintah dikeluarkan atas nama ratu, tetapi ratu hanya merupakan lambang yang dimaksudkan agar keturunan raja terdahulu tidak musnah. Yang mengatur pemerintahan dan kekuasaan tetap di tangan laki-laki, sebagaimana lazimnya di negara Islam. (TR)

Bersambung

Catatan kaki:


[1] Johanna Engelberta van Lohuizen-De Leeuw (1978). Senarat Paranavitana Commemoration Volume VII, pada laman https://books.google.co.id/books?id=OIceAAAAIAAJ&pg=PA52&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false diakses pada 28 Mei 2023

[2] Naseema Mohammed, Note on the Early History of the Maldives (article), pada laman https://web.archive.org/web/20210114164417/https://www.persee.fr/doc/arch_0044-8613_2005_num_70_1_3970, diakses pada 27 Mei 2023

[3] EMBASSY OF THE REPUBLIC OF INDONESIA IN COLOMBO, SRI LANKA, Maladewa, pada laman https://www.kemlu.go.id/colombo/en/read/maladewa/1914/etc-menu diakses pada 27 Mei 2023

[4] Nashih Nasrullah, Maladewa Formalisasi Syariat dan Islamisasi Lewat Budaya, pada laman https://khazanah.republika.co.id/berita/qbck8x320/maladewa-formalisasi-syariat-dan-islamisasi-lewat-budaya diakses pada 28 Mei 2023

[5] Muhammad bin Abdullah bin Bathuthah, Rihlah Ibnu Bathuthah, penerjemah Muhammad Muchson Anasy, MA & Khalifurrahman Fath, Lc, pentahqiq Muhammad Abdurrahim, (Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2012), halaman 296

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*