“Sistem Monarki absolut terlalu mendarah daging secara budaya, sehingga sistem Monarki Konstitusional tidak bisa berjalan secara adil. Akibatnya, terjadi demo besar-besaran. Massa dihasut untuk menentang Konstitusi yang kemudian dirobek di depan umum.”
Meskipun pemerintahan berada di bawah suksesi Sultan untuk sebagian sejarahnya, tetapi Maladewa memiliki riwayat sistem politik monarki yang dibangun di atas aturan konstitusional yang tidak demokratis. Hal tersebut berlangsung selama delapan abad.
Tarikh Dhivehi mencatat 89 Sultan dan 4 Sultanah berkuasa di kepulauan tersebut dari tahun 1153 – 1968, serta menciptakan sistem oligarki yang berlangsung secara turun-temurun.[1] Hingga memasuki abad ke-20 Maladewa mengalami reformasi besar-besaran.
Sistem Pemerintahan Konstitusional Pertama
Latar belakang terjadinya proktektorat Inggris di Maladewa, berakar dari masalah intern kenegaraan yang tidak kunjung surut.
Kerusuhan dan pembakaran bermotif politik di Malé sering terjadi. Disusul oleh kebangkrutan negara, disebabkan “utang” kesultanan pada pedagang asing. Maladewa pun telah kehilangan kemandirian dalam urusan luar negeri dan ekonomi dari para pedagang Bora. Untuk menanggulangi masalah negara, sultan Mohammed Mueenuddeen II “dipaksa” untuk menandatangani perjanjian Protektorat Inggris.
Sejarawan Abdul Hakeem Hussain Manik menulis di buku “lyye” mengatakan bahwa, “Di dalam dokumen tersebut, Sultan dilecehkan secara hina, (dipaksa) mengakui kelemahan dan ketidakmampuannya dalam menstabilkan negara..”
Menurut sejarawan tersebut, Ketua Mahkamah Agung Naibu Thuthu saat itu mengatakan bahwa rakyat Maladewa harus memilih mati syahid daripada menyetujui status Protektorat. Akan tetapi, karena di bawah tekanan orang-orang yang kuat dalam pengaruh politik, Sultan pun menandatangani dokumen tersebut.[2]
Maladewa berada di bawah protektorat Inggris dari tahun 1887 – 1965. Pada periode tersebut, terjadi perubahan-perubahan sistem kenegaraan yang mulai menggeser sistem kesultanan.
Gubernur Jenderal Inggris “kecewa” dengan kesultanan di Maladewa yang tidak efektif, sehingga mendorong pemerintah Inggris mendorong sistem monarki konstitusional. Secara bertahap, otoritas dan kekuasaan Sultan diambil alih oleh Perdana Menteri.[3]
Situasi politik yang tidak stabil, dan tekanan seorang Perdana Menteri yang cukup berpengaruh — diduga tidak puas dengan kekuasaan yang diberikan kepada Sultan – membuat penguasa besar di Maladewa mengambil keputusan besar. Pada tahun 1932, tercetuslah konstitusi pertama di Maladewa, yang diumumkan oleh Sultan Shamsuddine.
Ini awal indikasi bahwa kesultanan akan dihapuskan di Maladewa. Hal tersebut membuat kekhawatiran tersendiri bagi Sultan apabila dirinya tidak terpilih sebagai Sultan. Karena beberapa hak prerogatif kerajaan ditanggalkan, ketika Konstitusi diberlakukan.
Kesultanan pun menduga Perdana Menteri mungkin akan melantik Dewan Kabupaten dengan maksud menjadi ‘Presiden Republik lokal’, sekaligus untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah Inggris.
Ternyata, konstitusional justru lebih menguntungkan bagi kaum muda reformis yang telah dididik oleh Inggris.
Namun, sistem kesultanan tradisional terlalu mendarah daging secara budaya, dan pemerintah tetap disusun berdasarkan rekomendasi keluarga kerajaan, sehingga tidak membuat Konstitusi berjalan secara adil. Akibatnya, terjadi demo besar-besaran. Massa dihasut untuk menentang Konstitusi yang kemudian dirobek di depan umum.[4]
Sistem Pemerintahan Presiden Pertama dan Pemberlakuan Monarki Kembali
Di awal tahun 1950-an sejarah politik di Maladewa sebagian besar dipengaruhi oleh kehadiran militer Inggris. Hingga tahun 1953, kesultanan dibekukan dan Republik pertama dideklarasikan di bawah sistem kepresidenan. Muhammad Amin Didi, yang sebelumnya menjadi Perdana Menteri diangkat menjadi presiden sebagai penanggung jawab.
Jabatan Muhammad Amin Didi terbilang pendek, hanya berlangsung selama delapan bulan. Dalam masa jabatannya sebagai Perdana Menteri di tahun 1940-an, ia menasionalisasikan industri ekspor ikan. Dalam masa jabatannya sebagai presiden, Muhammad Amin Didi memperkenalkan beberapa reformasi. Ia pun dikenang sebagai pembaharu sistem pendidikan dan pendukung hak-hak perempuan.
Sayangnya, kaum konservatif di Malé, menggulingkan pemerintahannya. Dalam sebuah kerusuhan karena kekurangan pangan, Muhammad Amin Didi tewas dipukuli oleh massa.
Maladewa merestorasi kejayaan monarki di masa lalu. Pada tahun 1954 sistem pemerintahan kesultanan kembali diberlakukan. Menghapuskan Senat, Majelis Rendah, dan Kepresidenan pada tanggal 1 Maret 1954. Sultan Mohamad Fareed diangkat menjadi pemimpin kekuasaan, yang berlangsung dari tahun 1954 – 1967. (TR)
Bersambung …
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Mariyam Zulfa, ‘Developing Constitutional Culture in the Context of Constitutional Implementation: The Case of Maldives’ First Democratic Constitution, pada laman https://law.unimelb.edu.au/__data/assets/pdf_file/0003/2916705/MF-2018-Maldives-Paper-FINAL-clean-formatted.pdf, diakses pada 30 Mei 2023
[2] Ibrahim Maahil Mohammed – Maldive Islands, History: Road to Indepedence, pada laman https://en.sun.mv/49689, diakses pada 29 Mei 2023
[3] Travel Maldives, Maldives History, pada laman https://travmaldives.com/maldives/maldives-history/ diakses pada 28 Mei 2023
[4] Ibid.