Potret Maladewa Sebagai Negara Kepulauan Interkonektif (4): Transisi Sistem Pemerintahan Kesultanan, Monarki Konstitusional, Hingga Menjadi Republik (2)

in Negara Islam

Last updated on June 13th, 2023 08:53 am

“Pada tanggal 11 November 1968, sistem kesultanan dihapuskan. Negara Republik disahkan di Maladewa, di bawah kepemimpinan Presiden Ibrahim Nasir.”

Sumber foto: shutterstock

Dua tahun setelah monarki kembali diberlakukan pada tahun 1954, Inggris memperoleh izin untuk membangun kembali lapangan terbang RAF Gan di Atol Addu paling selatan. Di bawah perjanjian baru dengan pemerintah pusat, Inggris diperkenankan untuk mempekerjakan penduduk setempat (orang-orang Addu) di fasilitas mereka. Maladewa memberi Inggris masa sewa Atol selama 100 tahun, sebesar £ 2.000 tiap tahunnya.[1]

Munculnya Separatisme Republik Suvadive

Menjelang akhir tahun 1957, Perdana Menteri Eggamugey Ibrahim Faamuladeyri Kilegefan dipaksa untuk mengundurkan diri. Lalu Sultan menunjuk Velaanaagey Ibrahim Nasir, untuk menduduki jabatan tersebut.

Ibrahim Nasir tidak bersikap lunak seperti para pendahulunya. Pada tahun 1957, Ibrahim Nasir menyerukan kembali peninjauan perjanjian dengan Inggris, demi memperpendek masa sewa, dan meningkatkan pembayaran tahunan. Di akhir tahun 1958, ia pun memerintahkan Inggris untuk menghentikan semua pekerjaan kontruksi di Addu. Ibrahim Nasir menunjuk Abdulla Afeef Didi sebagai penghubung antara Inggris dan penduduk setempat.

Tentu saja keputusan Ibrahim Nasir ditentang oleh gerakan separatis lokal di tiga atol paling selatan yang diuntungkan secara ekonomi dari kehadiran Inggris di Gan.

Bulan Oktober 1958, terjadi ancaman dari massa Hithadoo yang akan menyerang pejabat pemerintah Maladewa, tetapi diredam oleh polisi militer Inggris. Lalu pada malam tahun baru 1959, pemerintah mengumumkan pajak baru untuk kapal. Hal itu memicu kerusuhan lagi di Hithadoo, dan menyebar secara masif.

Abdulla Afeef Didi sebetulnya telah memperingatkan para pejabat tentang bencana yang akan datang. Bahkan Inggris tidak bertindak banyak untuk memadamkan kerusuhan.

Tanggal 3 Januari 1959, delegasi tiba di Gan dan mendeklarasikan kemerdekaan kepada Inggris. Awalnya, Abdulla Afeef Didi tidak mengambil bagian dalam hal ini. Namun, ia dibujuk oleh Inggris yang menawarkan harus ada pemimpin yang dipercaya jika pemberontakan gagal.

Sebuah pemerintahan alternatif segera dibentuk dengan Abdulla Afeef Didi sebagai kepala eksekutif negara. Sehingga membuat ekonomi berbasis sterling berkembang pesat yang belum pernah terjadi sebelumnya di Addu. Berita kemakmuran Addu dengan cepat mendorong pemberontakan di Fua Mulaku dan Atol Huvadu. Pada tanggal 13 Maret 1959, kedua atol ini memisahkan diri dari otoritas sultan Maladewa, dan bergabung dengan Addu. Kelompok ini membentuk sebuah negara merdeka, Republik Suvadive Bersatu. Dengan Abdulla Afeef Didi sebagai presiden, dan Hithadoo sebagai ibukotanya.[2]

Namun, berdirinya Republik Suvadive Bersatu tidak berlangsung lama.

Kesultanan segera reaktif mengantisipasi tindakan separatisme. Ibrahim Nasir mengirim kapal-kapal perang dari Malé dengan polisi pemerintah, untuk menghabisi elemen-elemen yang menentang kesultanan.

Abdulla Afeef Didi meminta surat perlindungan dari pihak berwenang Inggris yang menjanjikan tindakan aman bagi keselamatannya. Inggris memenuhi janji tersebut, dan mengevakuasinya ke Seychelles.  

Pemerintahan Republik

Rupanya pemindahan Abdulla Afeef Didi ke Seychelles oleh pihak Inggris, yang tanpa memberitahukan pemerintah Maladewa, memicu gerakan kemerdekaan. Hal ini disampaikan oleh Abdul Sattar Moosa—perwakilan pemerintah Maladewa di Kolombo., pada sebuah wawancara.

Mengenai berita ‘evakuasi’ Abdulla Afeef Didi diketahui oleh Ibrahim Nasir dari BBC. “Sore itu, Nasir bertemu Davy dan bertanya bagaimana seorang warga negara Maladewa dapat dibawa ke luar negeri tanpa memberitahu Pemerintah Maladewa. Davy dengan tegas mengatakan bahwa siapa pun yang berada di bawah protektorat Inggris dapat dibawa ke mana saja. Saat itulah Nasir mengatakan, ‘dalam hal ini, kami tidak menginginkan status protektorat lagi’,” ucap Abdul Sattar Moosa.[3]

Negosiasi dimulai dari sana, antara Inggris dan Maladewa. Inggris mengajukan sebuah rancangan dokumen yang selanjutnya disahkan di Kolombo, Sri Lanka. Pada tahun 1965, kesepakatan dicapai antara kedua belah pihak.

Deklarasi Kemerdekaan ditandatangani di Kolombo oleh Perdana Menteri Maladewa, Ibrahim Nasir, dan Komisaris Tinggi Inggris untuk Sri Lanka, Sir Michael Walker. Di mana dalam deklarasi tersebut, tanggung jawab Inggris atas pertahanan dan urusan luar negeri berakhir di Maladewa. Sultan Muhammad Fareed Didi pun mendeklarasikan dirinya sebagai Raja setelah kemerdekaan.

Pada tanggal 15 November 1967, pemungutan suara dilakukan di parlemen untuk memutuskan apakah Maladewa akan tetap menjadi monarki konstitusional atau menjadi republik. Secara mutlak, mereka yang berpartisipasi dalam pemungutan suara memilih republik.

Masa kepemimpinan kerajaan yang telah berlangsung selama lebih dari 800 tahun, berakhir. Pada tanggal 11 November 1968, kesultanan dihapuskan. Negara Republik disahkan di Maladewa, di bawah kepemimpinan Presiden Ibrahim Nasir. (TR)

Bersambung …

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Travel Maldives, Maldives History, pada laman https://travmaldives.com/maldives/maldives-history/ diakses pada 28 Mei 2023

[2] Ekuveri Suvaidib Jumhouriyya, United Suvadive Republic, pada laman https://maldivesroyalfamily.com/maldives_suvadive.shtml diakses pada 30 Mei 2023

[3] Maldive Island, History: Road to Independence, pada laman https://en.sun.mv/49689 diakses pada 30 Mei 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*