Potret Maladewa Sebagai Negara Kepulauan Interkonektif (5): Polemik Dan Masa Transisi Politik Pasca Kemerdekaan (1)

in Negara Islam

Last updated on June 14th, 2023 10:11 am

“Meskipun tidak tersorot oleh perhatian dunia internasional, Maladewa, setelah meraih kemerdekaan dan kedaulatan sebagai republik, terus barada dalam polemik politik yang berkelanjutan.”

Dua presiden Maladewa pasca Ibrahim Nasir; Maumoon Abdul Gayoom (Kiri) dan Mohamed Nasheed (kanan). Sumber foto: raajje.mv

Di bawah kepemimpinan Ibrahim Nasir, pengembangan pariwisata di Maladewa diinisiasi sebagai sumber ekonomi yang potensial. Arah membangunan ini dilatari oleh pemahaman akan daya tarik Maladewa sebagai pasar pariwisata yang menarik bagi dunia internasional.

Pengembangan sektor pariwisata di kepulauan ini dimulai pada awal tahun 1970-an. Kurumba Maladewa, sebagai resor perdana di Maladewa secara resmi menerima pengunjung pertamanya di pada tanggal 3 Oktober 1972.

Meskipun tidak tersorot oleh perhatian dunia internasional, Maladewa, setelah meraih kemerdekaan dan kedaulatan sebagai republik, terus berada dalam polemik politik yang berkelanjutan.

Masa Pemerintahan Presiden Maumoon Abdul Gayoom

Masa kepemimpinan Ibrahim Nasir berakhir pada tahun 1978, setelah ia menjabat Presiden selama dua periode. Maumoon Abdul Gayoom, terpilih sebagai Presiden selepas masa jabatan Ibrahim Nasir. Presiden Gayoom menjadi kepala negara dengan masa pemerintahan terpanjang di Asia Selatan. Masa jabatannya berlangsung selama enam periode hingga tahun 2008, tanpa adanya oposisi.

Dalam masa kepemimpinan Presiden Gayoom, tercetus sebuah klaim bahwa Maladewa sebagai negara 100 persen Islam. Di mana setiap warga negara Maladewa diwajibkan beragama Islam menurut hukum. Dengan menerapkan relativisme budaya, pemerintah Presiden Gayoom menjelaskan bahwa Islam adalah ciri budaya yang penting bagi Maladewa, dan karena itu menjadi Muslim menurut hukum bukanlah masalah bagi warganya.[1]

Selama kepemimpinan Presiden Gayoom terjadi rangkaian upaya kudeta pada tahun 1980, 1983, dan 1988, yang dilatarbelakangi pandangan bahwa pemerintahannya bersifat otoriter dan tidak demokratis.

Pada awal tahun-tahun abad ke-21, pemerintah Gayoom memulai rencana jangka panjang untuk memodernisasi dan mendemokratisasi Maladewa, terutama di bidang ekonomi dan politik. Recana tersebut mengidentifikasi sistem hukum di negara tersebut tidak memadai.

Dalam upaya untuk meningkatkan demokrasi, pemerintah Maladewa dihadapkan pada berbagai tuntutan, termasuk legalisasi partai politik. Sebagai respon, pada bulan Agustus 2007, Maladewa mengumumkan pengesahan konstitusi baru.

Untuk pertama kalinya bulan Oktober 2008, diadakan pemilihan umum yang demokratis dengan prinsip multipartai, kebebasan-keadilan, dan mengizinkan untuk perempuan mencalonkan diri sebagai presiden. Dari hasil pemilu tersebut, Mohammed Nasheed terpilih sebagai Presiden, dan dilantik pada bulan November 2008. Sehingga mengakhiri 30 tahun kekuasaan Maumoon Abdul Gayoom.

Masa Pemerintahan Presiden Mohamed Nasheed

Mohamed Nasheed adalah mantan tahanan politik di masa pemerintahan Gayoom. Beberapa kali ia harus berurusan dengan pemerintah, karena artikel-artikel yang mengkritik pemerintah Maladewa. Kali pertama saat ia menjadi asisten editor majalah Sangu di tahun 1990. Majalah ini mengkritik pemerintahan Presiden Maumoon Abdul Gayoom.

Ia pun sempat ditahan pada tahun 1992, tetapi dibebaskan pada tahun berikutnya. Sebuah artikel yang ia tulis pada sebuah majalah Filipina, tentang pemilihan umum tahun 1993-1994 di Maladewa, menjebloskan lagi Nasheed hukuman enam bulan penjara.

Nasheed pun sempat mengalami hukuman pengasingan selama dua setengah tahun pada bulan Oktober 2001. Setelah kerusuhan di ibukota Male, Nasheed meninggalkan Maladewa menuju Sri Lanka. Di sana, ia membantu mendirikan Maldivian Democratic Party (MDP) pada bulan November 2004.[2]

Di tahun 2007, ketika referendum konstitusional diadakan, Nasheed berkampanye untuk demokrasi parlementer, meskipun para pemilih pada akhirnya memilih sistem presidensial—yang disukai oleh Gayoom. Namun demikian, di tahun berikutnya ia mencalonkan diri sebagai presiden, dan mendapatkan 54 persen suara mengalahkan Maumoon Abdul Gayoom.

Di masa jabatannya, prioritas Presiden Nasheed adalah menangani perubahan iklim, karena pulau-pulau dataran rendah di Maladewa berada dalam ancaman serius naiknya permukaan laut. Namun, pemerintahannya terhambat anggota legislatif dan yudikatif yang setia terhadap Gayoom.

Pada bulan Januari 2012, muncul kontroversi atas penangkapan seorang hakim pengadilan kriminal senior, yang dilakukan oleh Nasheed. Hal ini ditentang oleh masyarakat, yang melakukan protes selama berminggu-minggu. Sehingga Nasheed mengundurkan diri sebagai Presiden Maladewa, di awal Februari, dan digantikan oleh Mohamed Waheed Hassan—wakil presiden.

Mengenai pengunduran dirinya tersebut Nasheed mengklaim karena paksaan polisi dan militer. Namun, sebuah komisi penyelidikan resmi yang didukung oleh Commonwealth (Persemakmuran) menemukan bahwa pengunduran diri tersebut dilakukan secara sukarela dan tidak ada kudeta.[3]

Terkait pengunduran dirinya, situasi hukum Nasheed tidak menentu di tengah keresahan politik yang berlanjut. Sebuah pemilihan umum diadakan pada bulan September 2013, di mana Nasheed menerima pluralitas suara, tetapi tidak memenangkan mayoritas langsung. Lalu pada pemilu kedua di bulan November, Abdulla Yameen Abdul Gayoom mengalahkan Nasheed dengan selisih suara yang tipis.

Bersambung …

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Shirley Jory, Muslim by Law, pada laman https://maldivesroyalfamily.com/pdf/shirley_jorys_dissertation_muslim_by_law.pdf diakses pada 30 Mei 2023

[2] Britannica, Mohamed Nasheed President of Maldives, pada laman https://www.britannica.com/biography/Mohamed-Nasheed diakses pada 30 Mei 2023

[3] Britannica, History of Maldives, pada laman https://www.britannica.com/place/Maldives/History diakses pada 30 Mei 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*