Profil Emas KH. Wahid Hasyim (3)

in Tokoh

Last updated on February 25th, 2018 05:40 am

Pendidikan yang komprehensif dan mendalam adalah dasar-dasar yang membuat sosoknya demikian anggun bermanuver di tengah turbulensi sejarah perjuangan bangsa. Beliaulah salah satu – kalau bukan satu-satunya – sosok yang mampu duduk sejajar ketika bernegosiasi dengan penjajah, namun berdiri sama tinggi dengan para pejuang kemerdekaan lainnya.

 —Ο—

 

Masa kecil dan pendidikan

Hampir semua sejarawan sepakat, bahwa KH. Wahid Hasyim adalah sosok yang memiliki kecerdasan luar biasa sejak kecil. Demikian cerdasnya, hingga kecerdasannya ini mampu membawanya menjelajahi semesta ilmu pengetahuan kemanapun ia mau. Tak peduli meski ilmu-ilmu tersebut terselip di kantong menguasa kolonial, ataupun terkurung di balik lipatan-lipatan sejarah yang rumit. Bahkan pada tahap tertentu, bisa dikatakan Kiai Wahid tidak hanya cerdas, tapi juga cerdik mengakali keterbatasan, hingga mampu membongkar gerbang-gerbang pengetahuan yang disimpan dalam benteng istana kolonial yang ekslusif.

Sebagai putra pertama seorang ulama yang juga pejuang, Kiai Wahid memiliki banyak keterbatasan aksesibiltas. Jangankan mendapat kemewahan bersekolah ke negeri Belanda seperti Syahrir dan Hatta, Ayahnya, KH. Hasyim Asyari, bahkan tidak mengizinkannya bersekolah di Hollandsch Indische School karena alasan idealisme perjuangan. Beliau begitu anti dengan pendidikan Belanda dan memilih mendidik sendiri putranya. Sehingga untuk mengakses pengetahuan yang lebih luas, khususnya yang berasal dari Eropa, Kiai Wahid harus mensiasatinya sendiri.

Di usia sangat dini, Kiai Wahid kerap ikut berada di ruang dimana ayahnya sedang mengajar santri-santri senior. Sebagaimana layaknya anak kecil, beliau masih suka bermain-main dan terkadang menggelendot pada ayahnya. Tapi luar bisanya, diantara gelak tawanya ketika bermain, beliau ternyata menyimak dan menyerap semua paparan yang disampaikan ayahnya. Di rumah, Kiai Hasyim selalu menyediakan waktu khusus untuk mengajar putranya. Kiai Hasyim sangat memahami bakat luar biasa putranya dan tidak pernah membatasi kecanduan putranya pada ilmu pengetahuan. Beliau bahkan menyedikan ruangan khusus bagi putranya, yang di sana ia dapat mengeksplorasi semua minatnya pada kitab-kitab klasik dan ilmu agama.[1]

Suasana Pondok Pesantren Tebuireng Tempo Dulu. Sumber gambar: socimage.com

Berbeda dengan santri lainnya, Kiai Wahid sudah mulai membaca kitab pada usia tujuh tahun. Kitab-kitab yang dibacanya antara lain kitab Fathul-Qarib, Minhajul Qawim, dan kitab Mutammimah. Disamping kitab-kitab, Kiai Wahid juga suka menghapal syair-syair bahasa Arab. Tidak mengherankan bila pada usia 12 tahun, Kiai Wahid sudah diperbolehkan oleh ayahnya untuk mengajar para santri. Sedang di rumah, murid pertama Kiai Wahid tidak lain adalah adiknya sendiri. Di kemudian hari, ruang yang disediakan Kiai Hasyim untuk Kiai Wahid menjadi semacam kelas khusus bagi putra-putranya, yang gurunya tidak lain adalah Kiai Wahid sendiri.

Meski Pondok Pesantren Tebuireng adalah semesta ilmu yang luar biasa luas, tapi itu belum cukup bagi Kiai Wahid. Hanya butuh waktu 12 saja beliau melumat semua khazanah kekayaan ilmu di Tebuireng. Pada usia 13 tahun, beliau memohon izin pada ayahnya untuk berkelana ke berbagai pondok pesantren lainnya yang tersebar di pulau Jawa, dan memperdalam beberapa tema yang ingin ia pahami. Munib Huda, sekretaris pribadi Abdurrahman Wahid (Gus Dur), anak tertua Wahid Hasyim mengatakan bahwa mondok berpindah-pindah atau istilahnya “santri kelana”, memang sudah menjadi tradisi warga nahdiyin sejak dulu. Hal ini disebabkan kiai di tiap pondok punya spesialisasi masing-masing. Ada spesialis ilmu fikih, tafsir, falaq, manteq, atau hukum agama (syariah). Disamping mencari ilmu, para santri juga banyak yang mengejar barokah dari Kiai yang mereka temui.[2]

Kiai Wahid memulai pengembaraan dengan menyantri di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo, selama 25 hari, 1-25 Ramadan. Kemudian pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, yang didirikan KH Abdul Karim, alumnus Tebuireng dan kawan dekat ayahnya. Dari Lirboyo, Kiai Wahid meneruskan pengembaraan ke sejumlah pondok pesantren di sekitar Jawa Timur. Selama dua tahun ia berpindah-pindah pesantren, kemudian pulang ke Tebuireng. Sepulangnya beliau ke Tebuireng, perubahan besar terjadi dalam dirinya. [3]

Nun jauh di sana, dunia sedang bergolak, zaman sedang bergerak. Derak laju peradaban Eropa menyeret juga kebudayaan di wilayah kolonial mereka termasuk juga Nusantara. Snouck Hurgronje sedang bekerja mendefinisikan Islam nusantara, dan Van Deventer sedang membangun “politik etis” (politik balas budi). Keduanya dibingkai apik dalam konsep yang disebut “politik asosiasi”. Tujuan akhirnya tidak lain adalah menginstall struktur tata kelola pemerintahan Belanda ke Indonesia, sehingga identitas politik ke-Indonesiaannya menghilang, dan mereka menjadi “belanda” di Timur jauh. Dalam bahasa yang lebih lugas bisa diartikan politik asosiasi = mem-Belanda-kan Indonesia.

Artikel terkait:

Energi Jihad Dalam Perang Sabil (Bagian 3)

Snouck Hurgronye dan Islam Nusantara (3)

Salah satu programnya adalah menyerupakan struktur birokrasi di Nusantara dengan struktur birokrasi di Belanda. Untuk mengisi posisi-posisinya, maka anak-anak para ningrat di tanah jajahan diberi akses untuk belajar ke negeri Belanda. Tujuannya, agar pulang nanti para lulusan Belanda ini bisa menjadi aparatus kerajaan yang cakap mengelola negeri jajahan. Mudah saja memahaminya, mereka meninggikan satu golongan dari golongan yang lain, agar perpecahan terus terjadi, dan perlawanan dengan sendirinya akan mati. Mereka menggunakan orang Indonesia untuk mengatur Indonesia demi kepentingan bangsa Belanda. Inilah yang umumnya dikenal saat ini dengan politik pecah belah.

Sebenarnya tidak sedikit penjuang Indonesia yang menyadari tentang kegentingan ini, khususnya Kiai Hasyim Asy’ari. Namun yang mungkin tidak banyak yang tahu kala itu, di salah satu titik lokasi di Pulau Jawa, seorang santri muda sedang dipenuhi gejolak yang membara. Ia memiliki patern pemahaman sendiri tentang bangsanya. Sepulangnya dari berkelana, Kiai Wahid mulai terlihat kecanduan membaca huruf-huruf latin, yang tidak diajarkan di pesantren Tebuireng. Buku-buku yang beliau baca berbahasa Inggris, Jerman dan Belanda. Topik-topiknya pun beragam, mulai dari pengetahuan umum, matematika, hingga ilmu bumi. Dia juga berlangganan majalah tiga bahasa terbitan Bandung. Tidak hanya membaca, tapi ia juga mahir menulis dalam bahasa Inggris, Jerman dan Belanda. Semua kemampuan ini ia pelajari secara otodidak, tidak ada yang mengajari. Dan Kiai Hasyim, yang sudah mengetahui sekali watak putranya, hanya diam dan tidak melarang sedikitpun kerakusan putranya pada ilmu pengetahuan.[4]

Belakangan baru bisa dipahami, bahwa keinginan beliau yang kuat mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan dari Eropa, bukan karena kagum pada perkembangan yang terjadi di Eropa. Tapi lebih jauh dari itu, pemahaman yang komprehensif tentang Eropa dibutuhkannya untuk memetakan secara presisi anatomi kekuatan kolonialisme, sehingga beliau memahami modus operandi gerakan politik bangsa Belanda di Nusantara. Inilah dasar-dasar pemahaman yang membuat sosoknya demikian anggun bermanuver di tengah turbulensi sejarah perjuangan bangsa. Beliaulah salah satu – kalau bukan satu-satunya – sosok yang mampu duduk sejajar ketika bernegosiasi dengan penjajah, namun berdiri sama tinggi dengan para pejuang kemerdekaan lainnya. (AL)

Bersambung…

Profil Emas KH. Wahid Hasyim (4): Mereformasi Pesantren

Sebelumnya:

Profil Emas KH. Wahid Hasyim (2)

Catatan kaki:

[1] Lihat, https://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/05/wahid-hasim-file-tempo.pdf, diakses 12 Februari 2018

[2] Ibid

[3] Lihat, http://ulama.top/?p=622#Pendidikan, diakses 20 Februari 2018

[4] Lihat, https://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/05/wahid-hasim-file-tempo.pdf, Op Cit

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*