Profil Emas KH. Wahid Hasyim (4): Mereformasi Pesantren

in Tokoh

Last updated on March 2nd, 2018 10:21 am

Reformasi yang dilakukan oleh Kiai Wahid beberapa dasawarsa silam, menjadikan pesantren memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perubahan zaman.

—Ο—

 

Setelah pulang dari berkelana ke beberapa pesantren dan ulama Pulau Jawa, KH. Wahid Hasyim menjadi sosok yang berbeda. Jauh lebih kritis dan luas cakrawalanya. Beliau mengkonsumsi buku-buku bertulis latin dari berbagai bahasa yang tidak diajarkan di pesantren. Dalam hal berbusana, beliau mulai menggunakan celana panjang – satu hal yang tidak lazim di kalangan pesantren kala itu. Di ruang belajarnya, setiap malam para santri lain kerap mendengar bunyi aneh, yaitu bunyi mesin tik yang tak pernah berhenti bekerja siang dan malam. Dengan mesin tik ini Kiai Wahid menulis apa saja, dan para santri kerap mengintip dari jendela kegiatan beliau yang mewah itu. Tapi sebagaimana kesaksian para santri, Kiai Wahid tidak pernah merasa terganggu, beliau tetap saja menulis, bahkan tak jarang beliau mempersilahkan kepada mereka bila ingin mencoba belajar mesin tik.[1]

Pada usia 18 tahun, Kiai Wahid dan sepupunya Muhammad Ilyas berangkat menunaikan haji ke tanah suci. Oleh Kiai Hasyim, mereka berdua diminta untuk sekalian memperdalam agama di sana dengan mempelajari ilmu tafsir, hadist, nahwu, shorof, dan fikih. Setelah dua tahun, barulah kedua orang ini kembali ke tanah air.

Sedikit tentang Muhammad Ilyas. Menurut Lily Wahid, salah satu putri KH. Wahid Hasyim, Ilyas adalah orang yang pertama-tama memperkenalkan bahasa Belanda kepada Kiai Wahid. Menurut Zamakhsyari Dhofier, Rektor Universitas Sains Al-Quran, Wonosobo, Jawa Tengah, Ilyas adalah bagian dari strategi Kiai Hasyim untuk menyempurnakan ilmu putra pertamanya. Ketika itu, Kiai Wahid sengaja tak dimasukkan ke sekolah Belanda karena KH Hasyim Asy’ari takut hal tersebut memicu kontroversi di kalangan ulama, yang ketika itu melawan kolonialis Belanda. Justru Ilyas, sepupu Wahid, yang dikirim ke sekolah Belanda. “KH Hasyim Asy’ari berstrategi, dari Ilyas inilah Wahid kelak bisa belajar soal Belanda tanpa menimbulkan kontroversi,” kata Dhofier.[2]

Dari informasi tersebut kita dapat menduga bahwa perkembangan Kiai Wahid yang menurut orang pesantren agak di luar kebiasaan itu ternyata masih berada dalam lingkup strategi pendidikan yang terencana secara matang dari Kiai Hasyim pada putranya ini.

Sekembalinya Kiai Wahid dan Muhammad Ilyas ke Tebuireng, reformasi pendidikanpun dicanangkan. Dengan demikian, perombakan kurikulum juga harus dilakukan. Beliaulah yang pertama-tama mengajukan pendidikan non-agama juga diberikan di pesantren. Bahasa yang diajarkanpun ditambah, tidak hanya Arab, tapi juga Inggris dan Belanda. Literatur yang ada di pesantren diperkaya. Kiai Wahid sampai berlangganan majalah dan rutin membeli buku-buku berbahasa latin.

Terkait dengan bagaimana beliau melakukan reformasi terhadap pesantren, Achmad Zaini pernah menulisnya secara apik di Majalah Tempo Edisi 18 April 2011. Berikut ini tulisnya:[3]

Wahid Hasyim mengusulkan sistem tutorial, sebagai pengganti metode bandongan.[4] Metode bandongan, menurut dia, sangat tidak efektif untuk mengembangkan inisiatif para santri. Dalam metode ini, santri datang hanya untuk mendengarkan, menulis, dan menghafal pelajaran yang diberikan; tanpa kesempatan mengajukan pertanyaan atau bahkan mendiskusikan pelajaran. Wahid Hasyim secara jelas menyimpulkan bahwa metode bandongan membuat santri pasif.

Wahid Hasyim juga mencoba mengoreksi harapan santri belajar di pesantren. Ia mengusulkan agar kebanyakan santri yang datang ke pesantren tidak berharap menjadi ulama. Karena itu, mereka tak perlu menghabiskan waktu bertahun-tahun mengakumulasi ilmu agama melalui teks-teks Arab. Mereka dapat memperoleh ilmu agama dari buku-buku yang ditulis dengan huruf Latin, dan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dibarengi penguasaan keterampilan. Hanya sebagian kecil yang memang disiapkan menjadi ulama, yang diajari bahasa Arab dan karya-karya klasik dari abad pertengahan.

Ayahandanya, Hasyim Asy’ari, tidak setuju dengan dua usulan tersebut. Terlalu radikal dan sangat bertolak belakang dengan pemikiran pemimpin pesantren saat itu. Tapi Hasyim Asy’ari mengizinkan putranya itu mendirikan institusi baru, sesuatu yang kemudian terwujud pada 1935.

Mengambil nama dari institusi pendidikan yang dibangun oleh pemimpin Saljuk, Nizam al-Mulk, di Bagdad, Wahid Hasyim mendirikan Madrasah Nizamiah. Inilah pilot project-nya. Pertimbangannya: terbatasnya pelajaran yang diberikan di pesantren membuat santri kesulitan bersaing dengan koleganya yang belajar dari pendidikan Barat. Kelemahan santri, menurut dia, adalah kurangnya penguasaan santri terhadap ilmu-ilmu Barat, bahasa asing, dan keterampilan.

Institusi baru yang digagas Wahid Hasyim menggunakan ruang kelas dengan kurikulum 70 persen pelajaran umum dan 30 persen pelajaran agama. Aritmatika, sejarah, geografi, dan ilmu pengetahuan alam termasuk mata pelajaran wajib. Sebagai tambahan, santri diajari bahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda. Keterampilan mengetik juga diberikan untuk meningkatkan kualitas keterampilan santri. Sebagai penunjang, Wahid Hasyim mendirikan sebuah perpustakaan. Buku yang tersedia kurang-lebih 1.000 judul-terdiri atas buku-buku teks dan karya-karya ilmiah populer, baik ditulis dalam bahasa Arab, Inggris, maupun Belanda.

Tak lama berselang, terbuktilah bahwa gagasan ini mendapat sambutan. Jumlah santri di Tebuireng dan Madrasah Nizamiah meningkat secara dramatis. Pada 1930-an, jumlah santri Tebuireng naik sepuluh kali lipat dari jumlah siswa yang belajar di Tebuireng sepuluh tahun sebelumnya. Perubahan yang terjadi di Tebuireng menjadikannya sebagai pusat pendidikan bagi kader Nahdlatul Ulama. Dilihat dari usaha yang dilakukannya, sudah sepatutnya bahwa Wahid Hasyim diposisikan setara dengan “kaum modernis” sebagai pembaru pendidikan Islam Indonesia dalam penulisan sejarah pendidikan Islam Indonesia.

Menurut Chumaidah Syc, pembaruan pendidikan pesantren yang dilakukan oleh Wahid pada beberapa dasawarsa silam secara nyata membawa dampak luar biasa bagi pembaruan pesantren pada tahun-tahun berikutnya. Hal ini bisa ditelaah melalui proses adaptasi pesantren di era globalisasi agar pesantren tetap bertahan sesuai corak pendidikan Islam, sekaligus tidak ketinggalan jaman.[5](AL)

Bersambung…

Profil Emas KH. Wahid Hasyim (5): Cinta dan Perjuangan

Sebelumnya:

Profil Emas KH. Wahid Hasyim (3)

Catatan kaki:

[1] Lihat, https://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/05/wahid-hasim-file-tempo.pdf, diakses 12 Februari 2018

[2] Ibid

[3] Achmad Zaini, Majalah Tempo Edisi 18 April 2011, Lihat, Ibid

[4] Metode bandongan adalah metode transfer keilmuan atau proses belajar mengajar yang ada di pesantren yang mengajarkan khusus pada kitab kuning. Kiai tersebut membacakan, menerjemah, dan menerangkannya. Sedangkan, santri atau murid mendengarkan, menyimak, dan mencatat apa yang disampaikan oleh kiai yang memberi pengajian tersebut. Bandongan merupakan metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren. Kebanyakan pesantren, terutama pesantren-pesantren besar, menyelenggarakan bermacam-macam kelas bandongan atau halaqah untuk mengajarkan kitab-kitab, mulai dari kitab dasar sampai kitab-kitab yang bermuatan tinggi. Lihat, http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/16/04/08/o5ar464-sorogan-dan-bandongan-metode-khas-pesantren, diakses 20 Februari 2018

[5] Lihat, Chumaidah Syc, KH A. Wahid Hasyim dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/wutsqa/…/713/

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*