Profil Emas KH. Wahid Hasyim (8): Menghadap Sang Pencipta

in Tokoh

Dengan wafatnya Kiai Wahid Hasyim, Indonesia bukan saja baru kehilangan putra terbaiknya, atau pemikir hebatnya, atau seorang guru bangsa. Lebih dari itu, Indonesia kehilangan sosok yang begitu mencintai rakyatnya dan negerinya dengan sepenuh jiwanya.

 —Ο—

 

Abdullah Toha, seorang pemikir dan cendikiawan Muslim Indonesia, dalam salah satu tulisannya pernah berkata, bahwa “Kematian lebih penting dari kelahiran karena ketika dilahirkan semua kita sama. Namun, pada saat kematian manusia akan dibedakan dipandang dari perilaku dan amalnya saat hidup. Kematian adalah akhir dari masa bakti kita sebagai khalifah Allah di bumi. Masa menutup buku. Semua yang kita amalkan dalam kehidupan ini melekat dan tercatat dalam neraca hidup kita.”

Masih dalam tulisan yang sama, beliau mengatakan, bahwa “Dalam hubungan dengan waktu, ada konsep barokah (berkah) dalam Islam yang diajarkan kepada kita. Terjemahan barokah ke dalam bahasa modern paling dekat barangkali berarti efisien dan efektif. Umur yang berkah adalah umur yang memberi hasil sebesar-besarnya berupa amalan baik dalam usia kita yang terbatas.” Lebih lanjut, menurut Abdullah Toha, “Dalam hubungan dengan barokah dalam umur, ada dua jenis umur manusia. Umur fisik dan umur mental. Umur fisik berjalan sejajar dengan kondisi kesehatan tubuh kita sedang umur mental dengan kejiwaan kita. Umur mental tak selalu sejalan dengan umur fisik. Ada anak muda yang sudah matang jiwanya, sebaliknya ada orang berusia lanjut yang jiwanya masih kekanak-kanakan. Hidup bagaikan sebuah botol. Ada yang botolnya masih kosong dan ada yang telah hampir penuh terisi. Pengisian botol kehidupan itu bergantung kepada kematangan jiwa dan rohani kita.” Demikian menurut Abdilah Toha dalam artikelnya berjudul “Tentang Umur Manusia”.[1]

Dari apa yang dikatakan oleh Abdillah Toha, kita bisa sedikitnya menilai, bagaimana KH. Wahid Hasyim adalah sosok yang sangat efektif dan efisien memanfaatkan waktu hidupnya. Jatah waktu kehidupannya hanya disediakan 39 tahun oleh Tuhannya. Tapi kualitas kerja dan hasil karyanya masih bisa dirasakan hingga beberapa generasi. Bahkan peradaban Islam Nusantara yang kita nikmati hingga hari ini, bisa tetap lestari dan berkembang – salah satunya – merupakan hasil kerja keras Kiai Wahid semasa hidupnya.

Ahmad Baso, seorang intelektual NU, ketika memaparkan draft kaleidoskop Kementerian Agama tahun 2017 di Hotel Ibis Arcadia Jalan KH A Wahid Hasyim Jakarta, berkata, “Saya kira, Kiai Wahid lah pemikir utama kementerian ini. Beliau yang merumuskan kebijakan makro Kemenag. Pikiran beliau tentang merintis Perguruan Tinggi Islam, serta memajukan madrasah dan pesantren.” Hal lain yang juga monumental di era Kiai Wahid Hasyim, lanjut Baso, adalah menyiapkan pemberangkatan haji dan pembangunan masjid nasional kebanggaan umat Islam yang dimulai pada 1961. “Meski peresmiannya pada era Orde Baru, namun ide pembangunan masjid negara yang belakangan dinamai Masjid Istiqlal ini sudah ada sejak zaman Kiai Wahid,” tegasnya.[2] Deretan prestasi yang Kiai Wahid torehkan itu, beliau rampungkan hanya dalam kurun waktu 3 tahun. Atau selama beliau menjabat sebagai Menteri Agama RI dari tahun 1949 hingga 1952.

Hanya setahun setelah melepas jabatannya, tepatnya pada 18 April 1953, beliau berencana menghadiri rapat Nahdlatul Ulama di Sumedang, Jawa Barat. Beliau berangkat menggunakan mobil Chevrolet putih dari Jakarta bersama Putra Sulungnya, Abdurahman Wahid (Gus Dur), dan seorang sopir dari Harian Pemandangan. Keduanya duduk di depan. Sedang Kiai Wahid duduk di jok belakang ditemani oleh Argo Sutjipto, Sekretaris Jenderal Majalah Gema Muslimin.

Ketika pukul satu siang, rombongan kecil ini memasuki perbatasan Kota Bandung, tepatnya di jalan raya Cimindi. Ketika itu hujan deras dan berkabut, sehingga jalanan menjadi licin. Tiba-tiba saja ban mobil mengalami selip, sehingga mobil melaju zigzag. Di depan, sebuah truk tiba-tiba saja mengerem, dan Sopirpun tidak mampu lagi mengendalikan kendaraan. Bagian depan mobil mampu menghindari benturan, tapi bagian belakang justru membentur buntut truck dengan sangat keras.

Wachid Hasjim terpelanting keluar dan jatuh di bawah truck,” tulis koran Sinpo edisi Senin, 20 April 1953, yang dikutip oleh Tempo. Argo turut terlontar keluar. Wahid terluka parah di bagian kening, mata, pipi, leher, dan pingsan seketika, “Karena luka-lukanya pada kepalanya (schedel-fractuur).”[3]

Karena lokasi kejadian jauh dari permukiman sehingga pertolongan datang terlambat. Gus dur yang ketika itu masih berusia 13 tahun, menahan panik sambil terus menjagai ayahnya yang sudah tidak sadarkan diri. Setelah tiga jam berlalu, bantuan baru datang. Kedua korban parah diangkut ke Cimahi, kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Borromeus, Bandung. Belum sempat mendapat perawatan yang maksimal, Argo meninggal pada pukul enam sore di hari kecelakaan. Kiai Wahid masih kritis dan belum sadarkan diri.

Ketika mendengar kabar ini, Nyai Sholeha, istri Kiai Wahid yang ketika itu sedang mengandung anak keenam, segera menyusul ke Bandung. Para pejabat dan alim ulama di Jawa Barat juga berkumpul. Mereka datang sambil membawa surat Gubernur Jawa Barat yang berisi himbauan pada pengurus rumah sakit agar Kiai Wahid diurus sebaik-baiknya.

Tapi Tuhan berkehendak lain. Pada keesokan harinya, 19 April 1953, tepatnya pukul 10.30, ruh agung Kiai Wahid pun berangkat menuju Tuhannya. Beliau wafat pada usia 39 tahun, meninggalkan satu orang Istri dan 6 orang anak.[4] Kelak selepas ditinggal Kiai Wahid, Nyai Sholeha membesarkan seorang diri putra putrinya.

Kesan umum merata, ialah: Indonesia kehilangan seorang besar dalam arti kata jang luas,” tulis Harian Umum edisi Senin Wage, 20 April 1953, mengomentari berita wafatnya Kiai Wahid. Seketika Nusantara berkabung. Seorang putra terbaiknya telah berpaling dalam usia yang sangat muda. Dari Bandung, jenazah langsung dibawa ke Jakarta, Rumah duka di Taman Matraman Barat-sekarang Taman Amir Hamzah-Jakarta Pusat. Ribuan orang berdatangan, mulai dari pejabat hingga rakyat biasa.

Keesokan harinya, jenazah diterbangkan ke Surabaya. Mobil jenazah yang diiringi rombongan kenegaraan mengular berkilo-kilo, merangkak menembus kerumunan masyarakat yang menunggu di sisi-sisi jalan ibu kota untuk memberikan penghormatan terakhir pada manusia besar ini. Pemandangan serupa juga terlihat dalam perjalanan dari Surabaya ke Jombang, tempat peristirahatan terakhir Kiai Wahid. Masyarakat berkerumun di sepanjang jalan, dan tak jarang memaksa sopir untuk menghentikan mobil jenazah sejenak. Mereka membacakan doa dan ayat-ayat suci untuk mengantarkan ruh sang kiai. Aksi masyarakat ini berulang di setiap kota yang lewati. Akhirnya karena takut kemalaman, panitia menolak permintaan serupa di tempat-tempat selanjutnya.

Rombongan tiba di kawasan Pesantren Tebuireng menjelang sore hari. Di lokasi pemakaman, ribuan warga sudah berkumpul. Tangispun pecah, dan lantunan ayat suci mengalun selama berhari-hari. Bahkan setelah lama Kiai Wahid meninggal dunia, para peziarah yang datang ke makamnya tak kunjung surut.

Apa yang bisa dilakukan seseorang untuk mendapatkan cinta sebesar itu?” kata Gus Dur ketika menyaksikan besarnya rasa kehilangan masyarakat dan simpati yang mereka luapkan terhadap kepergian ayahnya. Ternyata jawaban atas pertanyaan ini Allah peram di garis waktu, untuk diungkap oleh masa depan.

 Kelak ketika Gus Dur berpulang ke haribaan Tuhannya, pertanyaan serupa muncul kembali. Dalam salah satu ceramahnya di acara Haul Gus Dur, Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah juga bertanya hal serupa kepada Kiai Maimun Zubair, “Bagaimana caranya Gus Dur bisa dicintai demikian luas oleh masyarakat?”, Kiai Maimun kemudian menjawab singkat, “Karena Gus Dur begitu mencintai rakyat Indonesia”.

Mungkin demikian juga penggambaran besarnya. Dengan wafatnya Kiai Wahid Hasyim, Indonesia bukan saja baru kehilangan putra terbaiknya, atau pemikir hebatnya, atau seorang guru bangsa. Lebih dari itu, Indonesia kehilangan orang yang begitu mencintai rakyatnya dan negerinya dengan sepenuh jiwanya. (AL)

Selesai…

Sebelumnya:

Profil Emas KH. Wahid Hasyim (8): Tapak Sang Guru Bangsa

Catatan kaki:

[1] Lihat, https://islamindonesia.id/berita/renungan-abdillah-toha-tentang-umur-manusia.htm, diakses 16 Maret 2018

[2] Lihat, http://www.nu.or.id/post/read/81777/ini-jasa-besar-kh-a-wahid-hasyim-pimpin-kemenag, diakses 16 Maret 2018

[3] Lihat, https://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/05/wahid-hasim-file-tempo.pdf, diakses 12 Februari 2018

[4] Putra putri KH. Wahid Hasyim adalah K.H. Abdurahman Wahid, Aisyah Hamid Baidlowi, K.H. Salahuddin Wahid, dr. Umar Wahid, Sp.P, Lili Chodijah Wahid, dan Hasyim Wahid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*