“Meskipun dalam rapat Tim Sembilan, Kiai Wahid adalah salah satu orang yang menggagas dihilangkannya 7 kata pada Sila Pertama Pancasila, tapi beliau membuktikan bahwa kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya sama sekali tidak diganggu. Sebaliknya, selama menjabat sebagai Menteri Agama, Kiai Wahid berhasil membuat negara hadir dan melayani secara seksama seluruh kebutuhan umat ini.”
—Ο—
Bila Negara Kesatuan Republik Indonesia (KNRI) diumpamakan sebagai ikan yang bagus dan mahal, maka umat Islam adalah airnya. Bagaimanapun, air adalah ekosistem kehidupan ikan. Bila airnya keruh, maka rusaklah ikannya. Tapi bila airnya jernih dan bernutrisi, maka sehatlah ikannya. Demikianlah mungkin pandangan KH. Wahid Hasyim tentang Islam dan keindonesiaan. Ini sebabnya, sejak awal hingga di puncak karirnya, ikhtiar beliau selalu berkutat di lingkaran perjuangan yang sama, yaitu bagaimana menyehatkan air yang bernama umat Islam ini, agar ikan yang bernama NKRI ini bisa hidup sehat hingga seterusnya.
KH. Wahid Hasyim adalah salah satu tokoh sentral pada masa pembentukan Republik Indonesia. Beliau adalah salah tokoh penting yang membidani lahirnya Pancasila, fundamen emas kebangsaan kita. Sila paling krusial, yaitu sila pertama dalam Pancasila hampir tidak mungkin rampung tanpa peran penting Kiai Wahid. Dan satu lagi lakon sejarah yang dimainkan oleh Kiai Wahid yang tidak mungkin bisa kita negasikan, adalah ketika beliau menjabat sebagai Menteri Agama dari tahun 1949 sampai 1952. Di posisi yang strategis inilah beliau mulai membangun struktur dasar yang harus diselenggarakan agar air yang bernama umat Islam ini tetap jernih dan bernutrisi baik. Pertama, kualitas pendidikan agama Islam; kedua, menghadirkan negara sebagai sistem yang melayani kebutuhan peribadatan umat.
Pada tahun 1950, Kiai Wahid mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mewajibkan setiap sekolah umum maupun swasta mengajarkan pendidikan agama, sebagai bagian dari kurikulum pendidikan nasional. Beliau menyadari bahwa bangsa ini sudah mengalami periode sekularisasi yang sangat panjang selama masa penjajahan. Padahal agama atau religiusitas adalah identitas sosial dan budaya masyarakat kita. Bagaimana mungkin identitas kebangsaan ini bisa dipertahankan bila agama yang menjadi fundamen nilai dan moral masyarakat tidak diberikan ruang yang luas. [1]
Ketika menjabat sebagai Menteri Agama RI, beliau mulai menggagas pendirian Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Yogyakarta, Bandung, Bukit Tinggi, dan Banda Aceh. Beliau juga mendirikan pendidikan guru agama di Pamekasan, Salatiga, Bandung, Jakarta, Tanjung Karang, Padang, Banda Aceh, Tanjung Pinang, dan Banjarmasin. Sekolah-sekolah ini didirkan untuk meningkatkan kualitas pengajaran guru-guru yang umumnya pada masa itu masih sangat tersegmentasi – bila bukan lulusan Hollandsch Inlandsche School maka mereka biasanya lulusan pesantren. Sekolah-sekolah keguruan yang didirikan ini bertujuan untuk melebur keduanya serta meningkatkan bobot mutu pengetahuan para calon guru. Pada puncaknya, Kiai Wahid meresmikan apa yang disebut sebagai Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), di Yogyakarta pada 26 September 1951. Inilah embrio lembaga pendidikan yang kemudian dikenal dengan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Universitas Islam Negeri (UIN), dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN).[2]
Tapi yang jauh lebih menarik, geneologi dari PTAIN ini sendiri. Ceritanya, pada tahun 1944 Kiai Wahid mendirikan Sekolah Tinggi Islam. Ini adalah Sekolah Tinggi pertama yang dibuat oleh kaum pribumi di Indonesia. Sekolah ini kemudian dikelola oleh KH. Kahar Muzakir di Jakarta. Empat tahun kemudian, sekolah ini berkembang menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta, dengan beberapa fakultas, pendidikan, hukum, ekonomi dan agama. Ketika Kiai Wahid menjabat sebagai Menteri Agama, Fakultas Agama di UII dipisahkan, dan dijadikan lembaga tersendiri, yang kemudian disebut PTAIN. Adapun tiga fakultas lainnya tetap berstatus swasta dan dikelola pihak UII. Penegerian Fakultas Agama UII menjadi PTAIN diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 1950.[3]
Dengan demikian, sebenarnya bukan hanya sekolah-sekolah Islam yang beliau bidani kelahirannya, melainkan juga Universitas pertama di Indonesia. Mulai dari madrasah hingga perguruan tinggi, mulai dari pesantren hingga universitas, semua beliau integrasikan secara apik, hingga menjadi satu kesatuan sistem pendidikan yang utuh.
Pada tahun 1952, atau di masa akhir jabatannya sebagai Menteri Agama, Kiai Wahid berangkat ke Jepang. Tujuannya mencari kapal-kapal yang berkualitas untuk memfasilitasi pelaksanaan haji kaum Muslimin. Atas bantuan dari Hamid Ono, kunjungannya ke Jepang membawa hasil yang cukup banyak. Selain mendapatkan Kapal laut untuk haji, beliau juga berhasil mencetak Al-Quran secara besar-besaran, juga membeli mesin cetak huruf Arab.
Selama berabad-abad Islam masuk ke Nusantara, pelaksanaan haji ke Tanah Suci adalah perjalanan yang berat. Para jamaah haji akan terkatung-katung di tengah lautan selama berbulan-bulan. Ditambah lagi, pada masa kolonial pelayanan ibadah haji sangatlah buruk, baik di Indonesia, di tengah perjalanan, ataupun di Tanah Suci. Pada masa penjajahan Belanda, tiga maskapai perkapalan Belanda bersaing dengan maskapai Inggris untuk mengangkut calon haji sebanyak mungkin. Mereka membayar komisi kepada para syekh haji di Arab Saudi dan kepada calo di Nusantara untuk setiap penumpang yang diantar. Maskapai-maskapai itu cenderung mengabaikan keselamatan dan kesejahteraan jemaah haji. Kapal diisi terlalu penuh, sementara kondisi makanan dan kesehatan kadang-kadang payah sekali.[4]
Menurut catatan Tempo, tak terurusnya jemaah haji ini menjadi keprihatinan khusus Kiai Wahid. Dalam “Perbaikan Perjalanan Haji” di Mimbar Agama edisi 17 Agustus 1951, Kiai Wahid membentangkan masalah-masalah pokok dalam perjalanan haji. Menurut beliau, Anggota jemaah haji Indonesia, umumnya orang dari lapisan bawah yang agak mampu, tapi kurang pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Mereka mengeluarkan semua biaya berhajinya dengan keyakinan untuk ibadah, sehingga mereka tak peduli besarnya biaya yang dikeluarkan. Hal ini menyebabkan mereka menjadi mangsa empuk bagi orang-orang yang tega mengambil kesempatan. [5]
Untuk memutus rantai masalah ini, Kiai Wahid akhirnya menggagas berdirinya Yayasan Panitia Haji Indonesia. Tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan calon jamaah haji sebelum berangkat ke tanah suci, sekaligus mengatur secara keseluruhan mekanisme perjalanan mereka. Kiai Wahid sebagai Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 3170 tanggal 6 Februari 1950 dan Surat Edaran Menteri Agama di Yogyakarta Nomor A.III/648 tanggal 9 Februari 1959, yang menetapkan Panitia Haji Indonesia sebagai satu-satunya badan resmi yang menyelenggarakan perjalanan haji.[6] Beliau juga menyusun aturan terperinci soal perhajian, termasuk kuota masing-masing daerah, uraian ongkos yang harus dibayar jemaah, dan pembentukan Majelis Pimpinan Haji, yang terdiri atas 2-3 orang di tiap kapal pemberangkatan. Pada tahun yang sama, akses jalur udara dari Indonesia menuju Mekkah pun resmi dibuka.[7]
Demikianlah Kiai Wahid. Sejenak kita bisa membayangkan, betapa hanya dalam rentang waktu yang begitu pendek menjabat sebagai Menteri Agama, Kiai Wahid dapat melahirkan sejumlah karya monumental yang masih bisa kita rasakan hingga sekarang. Beliau berhasil meramu berbagai aliran dan khasanah pendidikan pada masa kolonial, menjadi satu sintesis pembelajaran yang bercitarasa kebangsaan dan keagamaan sekaligus. Tapi yang lebih daripada itu, beliau berhasil membuat Negara hadir sebagai pelayan umat. Meskipun dalam rapat Tim Sembilan, Kiai Wahid adalah salah satu orang yang menggagas dihilangkannya 7 kata pada Sila Pertama Pancasila, tapi beliau membuktikan bahwa kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya sama sekali tidak diganggu. Sebaliknya, selama menjabat sebagai Menteri Agama, Kiai Wahid berhasil membuat negara hadir dan melayani secara seksama seluruh kebutuhan umat ini. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Profil Emas KH. Wahid Hasyim (6): Mementaskan Lakon Agung di Panggung Sejarah (4)
Catatan kaki:
[1] Achmad Zaini, dosen Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, dan penulis buku K.H.A. Wahid Hasyim: Pembaru Pendidikan Islam dan Pejuang Kemerdekaan, mengatakan “Wahid sadar, sejak kita mengadopsi sistem Barat yang sekuler, banyak hal yang hilang dari sistem pendidikan nasional, yakni nilai dan moral.” Lihat, https://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/05/wahid-hasim-file-tempo.pdf, diakses 12 Februari 2018
[2] Terkait perkembangan PTAIN menjadi UIN, Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Perguruan_tinggi_Islam_negeri_di_Indonesia, diakses 15 Maret 2018
[3] Secara kelembagaan, PTAIN berada di bawah pengawasan Kementerian Agama dan penyelenggaraannya diatur dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan. Peraturan bersama ini terjadi karena, menurut konsensus, yang berhak mengelola universitas dan fakultas adalah Kementerian Pendidikan. Adapun Kementerian Agama hanya boleh mendirikan akademi kedinasan, seperti Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Dari sini muncul pemikiran untuk menggabungkan kedua lembaga itu ke dalam institut. Pada saat itu, Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi hanya mengenal tiga bentuk: universitas, institut, dan akademi. Kementerian Agama lantas membentuk panitia khusus yang diketuai RH A. Soenarjo, SH, yang tugasnya menyiapkan penyelenggaraan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Dalam perjalanannya, terjadi serentetan perundingan antara Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dan Menteri Agama. Perundingan ini melahirkan satu kesepakatan: Kementerian Agama boleh mendirikan perguruan tinggi agama Islam asalkan tidak bernama universitas. Atas persetujuan itulah kemudian terbit Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1960 tertanggal 9 Mei tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri dengan nama Al-Jami’ah al-Islamiyah al-Hukumiyah. Institut ini meleburkan PTAIN dan ADIA. Mulai saat itulah Kementerian Agama memiliki kewenangan independen-lepas dari Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan-untuk mengawasi dan mengurusi IAIN. Pembukaan IAIN diresmikan Menteri Agama Wahid Wahab di Gedung Kepatihan Yogyakarta pada 24 Agustus 1960. PTAIN Yogyakarta diubah menjadi Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Syariah, sedangkan ADIA Jakarta menjadi Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Adab. Dari kedua tempat inilah-Yogyakarta dan Jakarta-IAIN dengan cepat berkembang di berbagai daerah di Nusantara beserta fakultas-fakultas cabang yang berada di kota-kota sekitarnya.
[4] Kasus yang terkenal adalah kapal Gelderland. Pada 1890, ketika wabah kolera melanda Mekah, kapal itu membawa pulang sekitar 700 haji dari Jeddah ke Batavia tanpa akomodasi memadai. Sebanyak 32 orang meninggal di perjalanan. “Jumlah (yang meninggal) itu pasti akan lebih banyak kalau konsul Belanda di Jeddah tidak memaksa kapten kapal membawa seorang dokter,” tulis Van Bruinessen. Lihat, https://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/05/wahid-hasim-file-tempo.pdf, Op Cit., Lihat juga, https://news.detik.com/berita/3271612/sejarah-haji-di-indonesia-melihat-warga-pergi-ke-tanah-suci-di-abad-16, diakses 15 Maret 2018
[5] Ibid
[6] Lihat, https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/145340-sejarah-penyelenggaraan-ibadah-haji-indonesia, diakses 15 Maret 2018
[7] Yayasan Panitia Haji Indonesia yang petama ini diketuai oleh KH M. Sudjak; KH Wahab Hasbullah sebagai wakil; Muhammad Saubani sebagai sekretaris; Abd. Manaf sebagai bendahara, serta Ki Bagus Hadikusumo, R. Muljadi Djojomartono, dan KH M. Dachlan sebagai pembantu. Lihat, https://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/05/wahid-hasim-file-tempo.pdf, Op Cit