“Wahid Hasyim sejak awal memandang persatuan bangsa menjadi yang utama. Komitmennya terhadap NKRI kafah”
—Ο—
Ketika Jepang menjajah Indonesia, Kiai Wahid adalah sosok yang bisa dikatakan paling dekat kedudukannya dengan Jepang. Beliau adalah mitra yang sangat dipercaya oleh Jepang, sehingga pendapat dan pandangannya sangat didengar. Tidak sedikit orang yang memandang curiga pada kedudukan beliau yang seperti ini. Bahkan tidak sedikit yang menganggap beliau sebagai kaki tangan Jepang. Namun pada akhirnya, semua mamahami bahwa semua tindakan beliau tidak lain sebagai upaya untuk menyelamatkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada 24 Oktober 1943, ketika Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) didirikan menggantikan posisi MIAI, Kiai Wahid ditunjuk menjadi salah satu Pimpinan. Jepang berencana untuk menjadikan Masyumi sebagai alat penggerak rakyat menjadi pekerja paksa (romusha). Tapi dengan kedudukannya yang tinggi baik di pemerintahan Jepang maupun di Masyumi, Kiai Wahid dapat menghalau keinginan Jepang tersebut. Bahkan sebaliknya, beliau malah membentuk Barisan Hizbullah, yang terdiri dari para santri, dan tujuannya tidak lain untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Ketika organisasi tersebut dibentuk, Jepang sempat curiga. Namun dengan tenang Kiai Wahid menepis prasangka Jepang tersebut dengan mengatakan bahwa pembentukan itu dilakukan untuk mendukung kemenangan Jepang atas Asia Timur Raya.
Salah satu hal lain yang sangat luar biasa ada dalam diri Kiai Wahid, beliau sangat memahami skema tertarungan global. Beliau mengerti bahwa apapun tindakan Jepang di Indonesia tidak pernah lepas dari dinamika politik luar negeri yang sedang berlangsung, khususnya pertarungan antara Jepang dengan Sekutu. Dan beliau mampu berkelit dengan apik di antara kepentingan Jepang di satu sisi dengan kepentingan bangsanya di sisi lain. Sebagai contoh, meski berada di dalam pemerintahan Jepang, beliau begitu lancar menulis artikel-artikel yang bertema perlawanan terhadap kezhaliman penjajah. Beliau dengan vulgar mengobarkan semangat anti penjajahan di dalam diri masyarakat dengan mengecam kolonialisme dan imperialisme. Jepang tidak mencurigai, sebab sosok kolonialis yang dimaksud dalam artikel itu adalah Belanda dan sekutunya. Mereka mengira bahwa artikel-artikel Kiai Wahid adalah upaya untuk mendukung eksistensi Jepang. Tapi berbeda dengan yang ditangkap oleh masyarakat. Nyala perlawanan yang muncul di dalam diri masyarakat adalah kepada siapa saja – tidak peduli Jepang ataupun Sekutu – yang melakukan kezhaliman di bumi pertiwi adalah musuh mereka.
Dalam buku-buku sejarah, kita bisa menyimak dengan kagum, bagaimana pada periode Jepang menduduki Indonesia, laskar-laskar dan sayap militer dalam berbagai bentuknya bermunculan. Mereka berdiri dengan resmi, terlatih dengan baik dan dipersenjatai. Jepang mengira bahwa semua ini dibentuk untuk menopang kekaisaran Jepang di Asia. Tapi alih-alih mendukung kekuasaan Jepang, justru di dalam laskar-laskar inilah benih nasionalisme dan patriotisme itu tumbuh bak cendawan di musim hujan.
Musim pancaroba mulai terjadi ketika Jepang mulai terdesak dalam Perang Pasifik merealisasikan janjinya untuk memberikan kemerdekaan pada Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan dibentuknya Dokuritsu Junbi Cosakai, atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pada 29 April 1945. Rapat pertama BPUPKI digelar pada 28 Mei 1945. Bertempat di Jalan Pejambon 6, Jakarta. Sebelumnya gedung ini adalah tempat berkantornya badan yang disebut Chusang In di masa Jepang, dan bekas gedung Volksraad di masa Belanda. Sekarang gedung ini dinamakan Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri RI.
Badan ini berisi tokoh-tokoh penting pergerakan nasional. Jumlah anggotanya mencapai 62 orang. Kiai Wahid masuk dalam badan ini pada usianya yang masih 33 tahun. Beliau menjadi salah satu anggota termuda. Adapun yang paling muda dalam BPUPKI adalah BPH. Bintoro yang ketika itu baru berusia 27 tahun. Meskipun muda, tapi peran Kiai Wahid tidak bisa dinegasikan. Ketika badan ini membuat tim khusus berjumlah 9 orang (Tim Sembilan) untuk merumuskan rancangan preambule UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan segera diproklamasikan, Kiai Wahid masuk menjadi salah satu diantaranya.
Salam dinamika diskusi BPUPKI, salah satu isu yang paling pelik dan monumental pada saat itu adalah isu tentang sila pertama dari Pancasila yang berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya)”. Tokoh-tokoh yang menganut agama Islam sangat mendorong masukanya 7 kata ini. Tapi tidak demikian dari kelompok non-Islam. Maka Tim Sembilan yang terdiri dari Soekarno, Muhammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, Ahmad Soebardjo, Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin, berdiskusi cukup alot untuk mencari jalan keluar dari masalah ini.
Pada 7 Agustus 1945, Jepang membubarkan BPUPKI, dan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Iinkai. Dalam kepanitiaan yang dipimpin oleh Sukarno-Hatta ini, Kiai Wahid kembali masuk dalam susunan keanggotaan. Di sinilah Kiai Wahid banyak berdiskusi secara intens dengan Sukarno dan Hatta, khususnya tentang polemik tentang 7 kata tersebut. Perdebatan ini baru rampung pada rapat tanggal 18 Agustus 1945. Menurut laporan dari Tempo, ketika itu Hatta menghadap Sukarno dan mengatakan, “Saya telah membahasnya dengan Kiai Wahid.”[1]
Setelah Sukarno dan Hatta pun menyetujui dihapusnya 7 kata tersebut dari sila pertama Pancasila, maka semua tidak ada yang membantahnya. “Sesungguhnya tujuh perkataan itu hanya mengenai penduduk yang beragama Islam saja, pemimpin-pemimpin umat Kristen di Indonesia timur keberatan kalau tujuh kata itu dibiarkan saja, sebab tertulis dalam pokok dari pokok dasar negara kita, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah dibedakan warga negara yang beragama Islam dan bukan Islam,” demikian penjelasan Muhammad Hatta.[2]
Memang banyak tokoh Islam yang kecewa atas penghapusan tujuh kata dalam Pancasila. Tapi bagaimanapun, dalam turbulensi sejarah yang tidak menentu pada masa itu, persatuan Indonesia adalah kunci segalanya. Tidak boleh ada satupun elemen bangsa yang tercecer ataupun setengah hati masuk ke dalam perahu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kata Zamakhsyari Dhofier, penulis buku sejarah hidup Wahid Hasyim. Kiai Wahid tidak memikirkan hal lain, selain usahanya “merampungkan” persoalan-persoalan menjelang kemerdekaan, demi mewujudkan Indonesia yang bersatu dalam keberagaman. “Wahid Hasyim sejak awal memandang persatuan bangsa menjadi yang utama. Komitmennya terhadap NKRI kafah,” ujar Dhofier.[3] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Profil Emas KH. Wahid Hasyim (6): Mementaskan Lakon Agung di Panggung Sejarah (3)
Catatan kaki:
[1] Lihat, https://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/05/wahid-hasim-file-tempo.pdf, diakses 12 Februari 2018
[2] Lihat, https://nasional.kompas.com/read/2016/06/01/09210021/perubahan.urutan.pancasila.dan.perdebatan.syariat.islam.di.piagam.jakarta, diakses 8 Maret 2018
[3] Lihat, https://serbasejarah.files.wordpress.com/2012/05/wahid-hasim-file-tempo.pdf, Op Cit