Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Sesungguhnya takwa kepada Allah adalah obat bagi hati Anda, penglihatan bagi kebutaan jiwa Anda, penyembuhan bagi penyakit tubuh Anda, pelurus keburukan dada Anda, penyuci kecemaran pikiran Anda, cahaya bagi kegelapan mata Anda, hiburan bagi kekalutan hati Anda dan kecerahan bagi suramnya kebodohan Anda.”
Lantas, apa sesungguhnya hubungan takwa yang merupakan keistimewaan jiwa dan kebajikan moral dengan kemudahan menghadapi berbagai urusan dan kesulitan? Apa peran jiwa dalam menyelesaikan urusan dan memudahkan kesulitan manusia? Apa saja jenis urusan dan kesulitan manusia? Dan apa jenis urusan dan kesulitan jiwa berbeda dengan jenis urusan dan kesulitan lainnya?
Untuk menjawabnya, pertama sekali perlulah kiranya kita mengetahui adanya dua jenis urusan dan kesulitan yang umumnya dikenal manusia:
Pertama, urusan dan kesulitan yang tidak langsung berkaitan dengan kehendak dan keinginan manusia seperti bencana-bencana alam; serta
Kedua, urusan dan kesulitan yang langsung berkaitan dengan keinginan dan kehendak manusia seperti lazimnya masalah-masalah personal, sosial dan moral.
Pembagian di atas sesungguhnya tidaklah hakiki, lantaran pada hakikatnya segala macam kesulitan dan keburukan itu berasal dari ulah manusia. Dan ketidaktahuan manusia akan sebab-musabab kesulitan bukanlah bukti bahwa ia tidak melakukan sesuatu yang memerosokkannya dalam kesulitan. Buktinya, efek rumah kaca tidak diketahui atau setidaknya tidak disadari sebagai penyebab timbulnya begitu banyak bencana alam pada sekian dekade lamanya.
Selain itu, pada sisi lain, fenomena bencana alam yang kita anggap sebagai kesulitan, dari perspektif tata surya, sebetulnya justru merupakan fenomena berjalannya sistem.
Keluarnya lahar dari gunung berapi ialah fungsi “pembuangan panas bumi” yang berjalan secara otomatis. Sebaliknya, kegagalan fungsi pembuangan itu akan berakibat pada kehancuran bumi yang menyeluruh. Oleh karena itu, bencana-bencana alam sebenarnya tidak lebih dari berjalannya berbagai fungsi dalam sistem tata surya.
Oleh sebab itu, masalah sebenarnya terletak pada urusan dan kesulitan yang secara langsung berkaitan dengan keinginan dan tindakan manusia. Karena, seperti yang sudah umum diketahui, pokok kesulitan dan musibah yang datang menghantam manusia, membuat hidupnya menjadi susah dan sengsara, adalah jenis kesulitan dan musibah yang bersifat moral, spiritual, mental dan sosial yang seluruhnya berasal dari ulah individu maupun masyarakat manusia itu sendiri.
Manusia adalah asal-muasal dari berbagai kesulitannya sendiri. Dialah penyebab sekaligus penanggung derita tindakan-tindakannya dan penentu nasibnya sendiri.
Tetapi, apakah esensi dan hakikat manusia itu?
Seperti halnya para filosof, para sufi yakin bahwa esensi dan hakikat manusia adalah jiwa atau ruhnya. Itulah rumah dan kediaman abadi manusia. Sementara raga hanyalah sisi material yang menghubungkan manusia dengan ruang dan waktu yang berperan menjadi wadah sekaligus ukuran pergerakan jiwanya.
Lagi-lagi seperti halnya para filosof, para sufi juga percaya bahwa jiwalah yang “mendefinisikan” kebaikan dan keburukan, keindahan dan kejelekan, kebahagiaan dan kesengsaraan, kemudahan dan kesulitan manusia.
Mengenai hal ini, filosof Roma abad pertama, Epictecus, menyatakan: “Manusia terganggu bukan oleh benda-benda (kasat-mata di sekelilingnya), melainkan oleh pendapatnya tentang benda-benda tersebut.” Dan pendapat tentang benda-benda ada dalam pikiran dan jiwa manusia.
Oleh sebab itu, keadaan jiwa sangat menentukan keseluruhan hidup manusia. Apa yang terjadi di dalam jiwa akan secara langsung berdampak pada apa yang kita rasakan, sedemikian sehingga apa yang tampak secara lahiriah sebagai menyenangkan bisa-bisa terasa menyedihkan hanya lantaran keadaan jiwa kita yang sedang kacau dan demikian pula sebaliknya.
Kekuatan takwa terutama sekali berperan memelihara jiwa dari berbagai dosa yang meredupkan cahaya akal dan tipu daya yang meresahkan hati. Itulah salah satu kemungkinan tafsiran dari QS Ali Imran (3) ayat 120 yang menegaskan fungsi kesabaran dan takwa dalam menetralisasi dan melenyapkan bahaya tipu daya para penipu.
Dalam surah Al-‘Araf (7) ayat 201, Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila ditimpa was-was dari sekelompok setan, mereka ingat kepada Allah maka merekapun menjadi bisa melihat dengan tajam (mubshirun).”
Ayat ini menjelaskan bahwa was-was yang dibuat oleh setan menyebabkan rusaknya penglihatan dan menimbulkan kerabunan. Dan dalam kerabunan itu jiwa tidak akan dapat membedakan antara jurang dan jalan yang lurus.
Sebaliknya, penjagaan takwa dapat menjauhkan manusia dari kegelapan, mempertajam penglihatan batin, membentangkan jalan keluar baginya dan memudahkannya menghadapi segala kesulitan.
Manakala cahaya takwa menyala dalam jiwa, maka manusia tidak akan gambang terjatuh dalam jeratan kesulitan. Dan kalaupun karena satu dan lain sebab dia terjatuh dalam lembah kesulitan dan musibah, maka jalan keluar menuju keselamatan akan bisa dengan mudah ditemukannya.
Jiwa ibarat mata manusia dalam melihat realitas, dan takwa adalah selaput yang menjaganya dari segala debu dan polusi.
Tanpa selaput itu, kotoran dan debu akan mengenai mata dan mata akan menampilkan gambar-gambar yang buram, suram. Dari gambar-gambar itu kemudian kita melihat dunia yang, tak pelak lagi, penuh dengan kekacauan dan kesulitan. Dunia yang penuh dengan kesuraman dan kesumpekan.
Tetapi, mata seorang yang memiliki takwa tidak akan terkena kotoran sehingga daya penglihatannya akan senantiasa tajam dan terang. Mata yang tajam itupun akan dapat menyaksikan betapa hidup ini sebenarnya adalah panorama indah yang teratur dan tertata, terjaga dan terpelihara.
Sehubungan dengan itu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Sesungguhnya takwa kepada Allah adalah obat bagi hati Anda, penglihatan bagi kebutaan jiwa Anda, penyembuhan bagi penyakit tubuh Anda, pelurus keburukan dada Anda, penyuci kecemaran pikiran Anda, cahaya bagi kegelapan mata Anda, hiburan bagi kekalutan hati Anda dan kecerahan bagi suramnya kebodohan Anda.” (MK)
Selesai
Sebelumnya: