Puasa dan Takwa (1)

in Studi Islam

Last updated on January 30th, 2023 06:58 am

Sepanjang takwa ada, terpeliharalah ketenangan dan keheningan dalam jiwa. Dan dalam suasana yang hening itulah seruan akal bisa bergema dengan jelas. Sebaliknya, jiwa yang gaduh oleh bentakan hawa nafsu yang telah terjerat rayuan setan tidak akan bisa mendengarkan ajakan akal ke jalan yang benar.”

Gambar Ilustrasi. Sumber: gurusiana.id

Ketika berbicara tentang ibadah puasa, Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.[1]

Dalam banyak ayat, Al-Quran menghubungkan ibadah kepada Allah dengan takwa.[2] Akan tetapi, barangkali hanya dalam ayat di atas, Al-Quran mengutarakan hubungan langsung antara satu bentuk ibadah ritual (puasa) dan kualitas jiwa (ketakwaan).

Salah satu makna pengaitan ini bisa jadi ialah hubungan timbal balik yang berlangsung antara puasa dan takwa, sebagaimana yang akan sedikit kita kupas di sini.

Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan bahwa puasa adalah untuk Allah, dan Allah-lah (yang langsung) akan membalasnya. Hadis ini menunjukkan keistimewaan puasa di sisi Allah, sekaligus memperlihatkan betapa tidak terukurnya nilai ibadah ini bagi manusia.

Secara lahiriah, puasa adalah menahan sejumlah aktivitas (makan, minum dan bersetubuh) untuk waktu tertentu. Sisi fisik ini sendiri, seperti terungkap dalam ilmu kedokteran, mempunyai faedah-faedahnya yang sangat besar.

Perintah berpuasa ini ingin mengajarkan kepada manusia untuk mempunyai kehendak yang teguh. Dengannya jiwa manusia diharapkan terlatih untuk menaklukkan syahwat-syahwat ragawi yang sering menjebloskan manusia ke dalam jurang kesesatan dan kerugian. Selain itu, puasa juga merupakan bukti bagi kesadaran manusia akan supremasi jiwa terhadap raga.

Setelah secukupnya kita membahas makna puasa, kaitannya dengan kehendak dan akal sebagai dua dasar kemanusiaan serta sisi negatif dan positifnya, marilah sekarang kita membincangkan nilai dan pengaruh takwa terhadap kehidupan manusia, secara individual maupun sosial, di dunia maupun akhirat.

Guna mendapatkan gambaran umum mengenai berbagai nilai, pengaruh dan hasil takwa bagi kehiduapan manusia, berikut akan dijelaskan butir demi butir.

Pertama, dalam Al-Quran surah 8 (Al-Anfal) ayat 29, Allah mengungkapkan tiga pengaruh takwa pada manusia: timbulnya furqan; tertutupnya kejelekan; dan pengampunan (maghfirah).

Dalam menafsirkan ayat ini, para ahli hikmah mengemukakan bahwa furqan adalah kemampuan akal untuk membedakan kebenaran dan kebatilan; ketajaman akal dalam memilah kebenaran dari kebatilan. Karena itu, furqan sangat berkaitan dengan kemampuan akal dan pikiran manusia.

Untuk mencuraikan korelasi takwa dan ketajaman akal, mula-mula kita perlu membagi akal menjadi dua: teoretis (nazhari) dan praktis (‘amali).

Akal teoretis berfungsi menjawab pertanyaan apakah sesuatu itu, sementara akal praktis berfungsi menjawab apa yang seharusnya dilakukan. Akal teoretis menghasilkan filsafat, logika, matematika, fisika dan sebagainya, sementara akal praktis menghasilkan ilmu akhlak, etika, ilmu hkuum, estetika dan kesenian.

Wilayah akal teoretis adalah penalaran dan pemikiran, sementara wilayah akal praktis adalah kecenderungan, perasaan dan perbuatan. Akal praktis menguraikan soal-soal yang berkenaan dengan kebaikan dan keburukan, kebajikan (virtue) dan kemungkaran (vice), keuntungan dan kerugian, kewajiban dan hak, keharusan dan larangan dan lain sebagainya.

Dalam sabda Nabi dan ucapan orang-orang suci terdapat perbandingan terbalik antara sifat-sifat buruk seperti cinta dunia, kesombongan, ketamakan, keras kepala, fanatisme (ta’ashshub) dan kemampuan akal.

Demikian pula sebaliknya; kemampuan akal berbanding lurus dengan kukuhnya sifat-sifat baik dalam jiwa manusia. Dengan demikian, semakin kukuh takwa dalam diri manusia, semakin tajam kemampuan akal praktis membedakan kebenaran dari kebatilan dan kebaikan dari kejelekan.

Kenyataan itu secara sederhana bisa dijelaskan dengan mengutip prinsip akal-sehat yang dikemukakan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib: “Ada tiga jenis teman dan ada tiga jenis musuhmu. Temanmu sendiri, sahabat temanmu dan lawan musuhmu. Adapun musuhmu ialah musuhmu, musuh temanmu dan teman musuhmu.”

Teman musuh disebut musuh karena ia membantu musuh melancarkan serangnnya, sementara lawan musuh disebut teman karena ia melemahkan pengaruh dan kekuatan musuh.

Selain tentunya berlaku dalam konteks hubungan-hubungan sosial, prinsip ini juga berlaku dalam konteks pertarungan batin yang abadi antara kekuatan baik dan buruk dalam jiwa dan ruh manusia.

Pertarungan batin antara kekuatan jahat dan baik dalam jiwa ini disebut dengan jihad an-nafs (jihad melawan hawa nafsu) dan menjadi tema utama dalam khazanah tasawuf Islam selama berabad-abad.

Oleh sebab itu, dapatlah dikatakan bahwa manusia mempunyai tiga kawan dan tiga musuh dalam pertarungan batin yang terjadi di dalam jiwanya. Teman pertama manusia adalah akal yang mengantar manusia menuju kebenaran. Teman keduanya ialah kawan-kawan akal seperti Syariat, Sunnah Nabi dan ajaran orang-orang suci. Dan teman terakhir manusia ialah semua sifat baik dan sikap terpuji seperti takwa, kesabaran, kerendahan hati, tawakal, azam, keberanian, kehormatan dan sebagainya.

Pada sisi lain, musuh pertama manusia (seperti kata Al-Quran) adalah setan. Musuh lainnya ialah teman setan, yaitu hawa nafsu.

Hawa nafsu menjadi musuh manusia secara aksidental karena ia kerap diperbudak oleh setan untuk menyimpangkan manusia ke jalan kesesatan melalui ketundukan pada dunia dan segala tipu-dayanya. Musuh manusia yang ketiga ialah teman-teman dari kedua musuh besar di atas. Teman-teman kedua musuh tersebut tidak lain dari semua sifat buruk seperti cinta dunia, kezaliman, ketamakan, keras kepala, pengingkaran, was-was, ta’ashshub (sikap membuta) dan sebagainya.

Dalam konteks ini, takwa adalah musuh setan dan hawa nafsu, dan karenanya menjadi teman akal.

Seperti telah kita jelaskan,[3] hakikat takwa ialah pemeliharan dan penjagaan. Sepanjang takwa ada, terpeliharalah ketenangan dan keheningan dalam jiwa. Dan dalam suasana yang hening itulah seruan akal bisa bergema dengan jelas. Sebaliknya, jiwa yang gaduh oleh bentakan hawa nafsu yang telah terjerat rayuan setan tidak akan bisa mendengarkan ajakan akal ke jalan yang benar.

Nah, setan senantiasa memaksa hawa nafsu untuk membuat kegaduhan dan kekaburan. Dalam suasana yang gaduh dan kabur, jiwa bakal susah mendengarkan suara akal atau melihat sinar cahayanya.

Kekuatan penjagaan dan pemeliharaan takwa bisa menetralisir jiwa dari keadaan gaduh dan kabur yang dibuat oleh hawa nafsu itu, sedemikian sehingga kemampuan akal untuk membedakan kebenaran dan kebatilan (yang dalam ayat di atas disebut dengan furqan) bisa efektif dan tajam. Akibatnya, makin kuat ketakwaan seseorang, makin kukuh pula fungsi furqan akal.

Penyair-sufi Iran, Sa’adi, mengisyaratkan korelasi tersebut dalam syairnya yang berbunyi: “Hakikat kebahagiaan adalah keteraturan, hawa nafsu adalah debu yang berhamburan. Tidakkah engkau mengerti bahwa bila debu beterbangan, engkau takkan bisa melihat meskipun engkau tidak buta.”

Akan halnya hubungan antara tumbuhnya takwa dan tertutupnya kejelekan serta pengampunan Allah sebagaimana dikatakan ayat di atas (QS 8 [An-Fal]: 29), seperti sudah dijelaskan sebelumnya, takwa ibarat vaksin atau antibiotik yang menjaga manusia dari segenap kejelekan. Makin tinggi dosis takwa dalam diri kita, makin terhindar kita dari kejelakan sehingga kemampuan berbuat jelek itu sendiri seolah-olah mati. Konsekuensi logisnya kemudian tiada lain kecuali pengampunan Allah atas segala kekurangan kita.

Pengaruh takwa yang kedua ialah terbukanya jalan keluar dan terbentangnya kemudahan dalam menghadapi berbagai urusan dan kesulitan.

Pada surah Ath-Thalaq (65) ayat kedua, Allah berfirman: “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan membukakan jalan keluar baginya.”

Memperkuat maksud ayat di atas, pada dua ayat setelahnya Allah berfirman: “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan memudahkan urusannya.”

Kedua ayat tersebut secara gamblang menegaskan terbukanya jalan keluar dan kemudahan menghadapi kesulitan sebagai pengaruh lain dari ketakwaan manusia kepada Allah.  (MK)

Bersambung…

Catatan Kaki:


 [1]QS 2: 183

[2] QS 2: 21, QS 6: 153, QS 7: 171, dan sebagainya.

[3] Penjelasan lebih jauh mengenai Taqwa, bisa merujuk pada artikel ganaislamika di link berikut: https://ganaislamika.com/diskursus-sufi-11-takwa-1/

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*