Puasa Kaum Sufi (1): Tafsir Isyari Al-Qusyairi

in Ramadania

Last updated on May 8th, 2019 10:03 am

Para sufi itu tidak sekadar berpuasa dari haus dan lapar. Mereka berpuasa menahan diri dari pandangan, pendengaran, dan lisan yang menyumbat kerongkongan batinnya. Lahirnya berpuasa mencapai syariat, batinnya berpuasa bergegas menjemput makrifat, sirr-nya membumbung ke atas menggapai hakikat untuk bersanding bersama al-Haqq.


Gambar ilustrasi. Sumber: kurio.co


Seperti biasanya, tiga atau dua bulan sebelum Ramadan umat Islam di segala penjuru sudah mulai menyemarakkan lingkungannya dengan nuansa keagamaan. Bisa jadi ini merupakan efek nilai intrinsik dari sabda sekaligus doa Nabi, “Duhai Allah, berkahilah bulan Rajab dan Syaban kami. Dan sampaikan kami hingga bulan Ramadan.” Tumpuan kehidupan dan keyakinan itu tertuju kepada bulan Ramadan. Seakan kita sedang bernegosiasi dengan Tuhan, memohon keberkahan untuk tiga bulan mendatang. Dan kalau bisa, jangan matikan hamba sebelum mendapati dan menikmati Ramadan.

Kemeriahan dan kemegahan Ramadan juga ditandai dengan perintah puasa. Seluruh umat Islam diwajibkan berpuasa satu bulan selama bulan Ramadan. Secara sederhana, puasa dapat diartikan sebagai menahan lapar dan dahaga dari menyingsingnya fajar hingga terbenamnya matahari. Ditandai dengan azan subuh dan diakhiri dengan azan magrib. Demikian ini merupakan isyarat al-Quran pasca turunnya perintah yang terekam dalam QS Al-Baqarah [2]: 183-185.

Secara gamblang perintah ini ditujukan untuk kaum muslim, sebagai upaya menaikkan derajat ketakwaan mereka di hadapan Allah SWT. Puasa ini pun pernah diperintahkan kepada kaum-kaum sebelumnya. Yang pertama kali menerima perintah ini adalah umat Nabi Nuh as., kemudian dilanjutkan oleh Nabi Daud as. Ia berpuasa sehari puasa sehari berbuka.[1] Satu hari berpuasa untuk mengingat fakir miskin, satu hari berbuka untuk mensyukuri nikmat Allah SWT.

Pengertian di atas mungkin mewakili dari sisi lahiriah puasa; menahan lapar dan dahaga. Dan ini merupakan perintah yang berat untuk dilakukan di tengah kehidupan padang pasir yang menyengat saat itu. Karena itulah perintah puasa datang secara berangsur-angsur, mulai dari perintah wajib puasa dengan pilihan, berpuasa atau tidak berpuasa dengan kompensasi membayar denda (fidyah), dan kewajiban mutlak dan penuh kepada seluruh kaum muslim, kecuali mereka yang sakit, bepergian, dan orang tua yang tak mampu serta ada uzur syari.

Namun demikian, yang tak boleh dilupakan bagaimana memaknai puasa lebih dari sekadar menahan kedua hal tersebut. Jika sebelumnya hanya menyentuh aspek lahir, maka aspek batin menjadi sesuatu yang terpenting. Ia menjadi inti dari aktivitas, core of the core, dan menjadi penanda meningkatnya kualitas ruhani seorang hamba. Pemaknaan lebih mendalam daripada aspek luaran ini akan mengajak kita merenungi perbincangan para sufi tentang puasa.

Pemantik perintah puasa adalah ayat al-Quran, dan karena itu pula ada baiknya kita kembali kepada bagaimana para sufi memaknai perintah puasa dalam penafsiran mereka. Biasanya, perbincangan di sini dianggap telah mewakili pandangan mereka tentang satu hal. Meski kita perlu melacak lebih jauh pemahaman simbolik dari kaum sufi. Sebab, perkembangan pemikiran kontemplatif jauh lebih cepat melesat dari sekadar pemikiran yang didasarkan pada rasionalitas semata.

Tafsir sufi, atau lebih dikenal dengan istilah tafsir isyari merupakan salah satu metode penafsiran yang dilakukan oleh kaum sufi. Selain menampilkan makna literer dan normatif (riwayah dan dirayah), mereka berusaha menggali makna terdalam dari Alquran. Seperti tafsir isyari karya Imam Abul Qasim Al-Qusyairi, seorang sufi sekaligus ahli hadis, yang berjudul Lathaifal-Isyarat (isyarat-isyarat halus). Sebuah ungkapan simbolik dan idiomatik yang mengilustrasikan kelembutan isyarat Tuhan dan kehalusan pesan-Nya. Sebuah pesan yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang benar-benar membuka mata batinnya. Mempersilakan cakrawala makrifat Allah menerobos kalbunya untuk membuka tabir hakikat-Nya.

Dalam penafsirannya, Al-Qusyairi menjelaskan bahwa puasa itu ada dua: puasa lahir dan puasa batin. Puasa lahir sebatas menahan (dari lapar dan dahaga) dari segala sesuatu yang membatalkan disertai dengan niat. Sementara puasa batin adalah puasanya hati (qalb) dari segala penyakitnya; puasa jiwa (ruh) dari semua bentuk kenyamanan dan ketenangan; puasa sirr[2] dari segala bentuk pengawasan.[3]

Al-Qusyairi juga menjelaskan dengan sangat apik: Bagi siapa yang sekadar menahan sesuatu yang membatalkan maka akhir dari puasanya ketika tersingkapnya malam. Dan siapa yang puasa menahan diri beragam kecemburuan (aghyar), maka puncak puasanya dengan menyaksikan al-Haqq. Ini seperti isyarat hadis Nabi Saw., “Shumu wa afthiru li ruyatihi.” Penggalan hadis ini dalam pandangan kaum sufi memiliki makna yang berbeda dari makna lahiriahnya. Huruf ha dhamir di akhir kalimat ini merujuk kepada Allah SWT.

Demikian pula pernyataan terakhir di atas secara lahir diartikan dengan: “Berpuasalah kalian ketika melihat hilal (bulan) Ramadan, dan berbukalah tatkala melihat hilal bulan Syawal.” Sementara itu, bagi kaum khawas (khusus) maka puasa mereka benar-benar untuk Allah SWT. Karena mereka menyaksikan Allah, berbuka bersama-Nya, penerimaan mereka karena Allah, dan mereka senantiasa diliputi Allah.

Pada ayat berikutnya, penafsiran Al-Qusyairi pun beranjak pada penentuan masa atau waktu (QS. Al-Baqarah [2]: 184). Dalam hal ini, Al-Qusyairi membagi tipologi puasa beserta karakteristiknya masing-masing:[4] Pertama, siapa yang melihat bulan (Ramadan) maka dia akan berpuasa karena Allah, dan dia pun berhak mendapatkan pahala. Puasa karena Allah itu juga menegaskan penghambaan kepada-Nya. Dia menjadi sifat setiap hamba. Puasa lahiriah ini sekadar menegakkan aspek-aspek lahiriah semata, seperti syarat dan rukunnya.

Kedua, puasa batiniah berarti menyaksikan pencipta bulan. Dia akan berpuasa bersama Allah, dan akan diberi balasan berupa kedekatan (al-qurbah) bersama Allah SWT. Maka dari itu, puasa bersama Allah berarti dia sedang meluruskan kehendaknya, sekaligus menjadi karakter bagi orang yang berkemauan kuat. Dia tidak sekadar mengikuti aspek-aspek lahiriah, namun lebih dari itu, puasa bersama Allah berarti menahan diri melalui isyarat-isyarat hakikat. (KI)

Bersambung…

Catatan kaki:


[1] Hadis tentang puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Daud as. salah satunya diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, bab man nama ‘inda as-sahr, juz. 4, hlm. 294 dalam al-Maktabah asy-Syamilah, v. 2.11

[2] Sirr berarti rahasia atau misteri. Suatu substansi halus dan lembut (lathifah) dari Rahmat Allah. Relung kesadaran paling dalam dan tempat komunikasi rahasia antara Tuhan (Rabb) dan hamba (‘abd)-Nya. Lihat Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, terj. MS. Nasrullah dan A. Baiquni (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 265

[3] Lihat Abul Qashim al-Qusyairi an-Naisaburi, Lathaif al-Isyarat, juz. 1, tahqiq: Abdul Latif Hasan (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2007), hlm. 88

[4] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*