Puasa Kaum Sufi (2): Makna Puasa ala Imam Al-Qusyairi

in Ramadania

Last updated on May 10th, 2019 06:21 am

Kelemahan menjadi istirahat sekaligus keselamatan, dan puasa merupakan sifat sandaran yang tak tertandingi oleh apa pun. Seperti firman Allah SWT, “Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” Maka, barang siapa mengenakan sifat ini, darinya akan memancar ilmu, makrifat, dan penyaksian

Oleh:

Khairul Imam (Staf Pengajar Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) An-Nur Yogyakarta)

Gambar ilustrasi. Sumber: nucare.id

Sejatinya, puasa bagi kaum sufi telah menjadi salah satu aktivitas ruhani untuk menghidupkan hati dan membuka tabir-tabir makrifat. Mereka terbiasa dengan lelaku di luar kebiasaan manusia kebanyakan. Semakin dalam pemaknaan suatu perintah atau anjuran, maka kesungguhan dalam menjalankannya pun akan meningkat. Alhasil, nilai yang dihasilkannya akan lebih mendalam dan mengakar karena puncak tujuan mereka tidak lain adalah al-Haqq, Allah SWT.

Puasa berarti menahan lapar. Terma lapar atau al-Ju dalam konstelasi ruhani kaum sufi menjadi satu tahapan olah batin yang sangat penting. Kelaparan yang mereka jalani tidak lantas menentang sunnatullah, tetapi menyedikitkan makan sekadar sebagai bekal untuk kekuatan ibadah. Bukankah Rasulullah Saw telah mengingatkan, “Tidak ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya. Maka, cukup baginya memakan beberapa suapan sekadar untuk menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga). Jika tidak sanggup, maka dia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman, dan sepertiga untuk nafasnya.”[1]

Isyarat hadis di atas tidak menganjurkan kita untuk meninggalkan makanan secara ekstrim, tetapi mengkonsumsi makanan sekadar memberikan kekuatan dalam menegakkan ibadah kepada Allah SWT. Dan lapar dalam puasa, berarti ada masa di mana kita menahan makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan berdasarkan ketentuan fikih setelah fajar menyingsing hingga terbenamnya matahari yang ditandai dengan azan magrib.

Dengan lapar ini para sufi mencoba berdamai dengan tubuh. Kesadaran bahwa makanan bukanlah satu-satunya hal yang membuat mereka hidup telah tertanam dalam batinnya. Mereka benar-benar menginsafi lapar baik melalui menyedikitkan makanan, maupun saat puasa ini akan menekan syahwat kebinatangan mereka, sekaligus mempersempit jalan setan dalam darah manusia. Seperti ungkapan hadis Nabi Saw, “Sesungguhnya setan itu menyusup dalam aliran darah manusia, karena itu persempitlah jalan masuknya dengan lapar (puasa).”

Puasa Ramadan melatih hampir semua umat Muhammad dalam berbagai tingkatan kesalehan untuk berpuasa menahan lapar dan dahaga. Tidak hanya itu, puasa Ramadan juga menjadi pelindung dari setan. Seperti ungkapan Al-Bujairami yang mengutip pendapat Asy-Syarani: “Barangsiapa sempurna laparnya pada bulan Ramadan, dia akan terlindungi dari setan yang terkutuk hingga Ramadan berikutnya. Karena puasa adalah perisai yang melindungi tubuh seseorang yang berpuasa selama tidak dirusak oleh sesuatu pun. Apabila ia rusak maka setan pun masuk melalui tempat yang rusak itu.” Maka dari itu, untuk memberikan kualitas terbaik dalam lapar-puasa Ramadan, kita pun perlu mengenali beragam perilaku yang merusak puasa.

Puasa dan laparnya melampuai aspek lahiriahnya. Puasanya mengekang gerak tubuh dari perbuatan tercela dan dosa. Di antara hal-hal yang merusak puasa seperti disebutkan dalam hadis Nabi Saw yang bersumber dari Jabir dari Anas ra. “Lima perkara yang membatalkan puasa, yaitu: berkata dusta, menggunjing orang lain, mengadu domba, sumpah palsu, dan pandangan yang disertai syahwat.” Menurut Aisyah ra. Dan Imam Ahmad, kalimat “membatalkan puasa” dalam hadis ini bahwa puasanya batal atau tidak sah. Sedangkan menurut Imam Syafii dan para sahabatnya, pahala puasanya batal, tetapi puasanya tetap sah. Ini pula yang selalu diwanti-wanti Rasulullah Saw. untuk senantiasa menjagai diri dari kekotoran hati ketika sedang puasa dalam sabdanya, “Sesungguhnya puasa itu perisai. Apabila seseorang di antara kamu sedang berpuasa, janganlah berkata keji, melakukan perbuatan terlarang, dan mengganggu orang lain. Jika ada orang yang mengajak berkelahi atau memakinya, katakanlah: ‘Aku sedang berpuasa’. [2]

Menarik sekali ungkapan Yahya bin Muadz Ar-Razi dalam Jawahir At-Tashawwuf yang mengibaratkan lapar sebagai cahaya dan kenyang sebagai api. Dia menyatakan, “Lapar adalah cahaya, dan kenyang itu api. Sementara syahwat layaknya kayu yang akan menjadi mangsa api. Maka, engkau tak akan mampu memadamkan apinya hingga ia benar-benar membakar pemiliknya.” Lapar identik dengan cahaya, karena biasanya orang lapar akan lebih potensial untuk menangkap bisikan lembut dalam dirinya. Dan itu adalah pancaran cahaya Tuhan yang berpadu dalam bentuk kearifan. Ia berpeluang besar memicingkan mata hatinya disebabkan terangnya cahaya Tuhan (faidh ar-Rahman).

Dengan cahaya itu, dia pun mampu menyingkap tabir-tabir yang menutupi sirr, bagian dalam hati yang begitu lembut tetapi sulit ditembus. Akan tetapi sebaliknya, kenyang menjadi api. Karena kepuasan nafsu itu dengan syahwat perut, dan menjadikannya menuntut syahwat-syahwat lainnya. Tak terkecuali akan memunculkan kemalasan dan sikap meremehkan ibadah, serta lelap dari ketaatan.

Maka dari itu persoalan ini menjadi penting bagi siapa yang terbiasa memuaskan perutnya melebihi kapasitasnya. Dia tidak akan pernah puas dengan yang sedikit. Dia akan berusaha memuaskan perutnya dan memenuhi kebutuhannya tanpa peduli halal maupun haram. Dan ini akan berlanjut hingga menjadikannya sosok yang tamak terhadap harta dan lain sebagainya. Sehingga dia menjelma sebagai seorang penjahat; jika lapar mencuri, dan bila kenyang akan melakukan zina.

Karena itulah, lapar puasa sejatinya mampu memberikan kontrol terhadap dua syahwat; mata dan farji,  yang membuka pintu kemaksiatan dan kerusakan. Hal ini sebagaimana pesan Nabi Saw kepada para pemuda untuk segera mengakhiri masa lajangnya dengan menikah. Dengan menikah dia akan menjaga pandangannya dari syahwat mata. Namun jika belum mampu maka dianjurkan untuk berpuasa, sebab itu menjadi penawar syahwat.[3]       

Tiga dimensi dalam melihat awal bulan puasa sekaligus menjalankan puasa ala Imam Al-Qusyairi ini sejatinya untuk memunculkan cahaya dari dalam diri manusia. Yaitu dengan melampaui ketiga tahapan penglihatan bulan dan melaksanakan puasa yang dipuncaki dengan puasa sirr. Dalam konteks ini, seakan Al-Qusyairi mengatakan kepada kita, “Siapa yang sekadar melihat bulan sebagai penglihatan material, maka ia pun hanya akan menahan diri dari segala yang membatalkan. Namun, siapa yang puasanya mampu menyaksikan al-Haqq di dalam segala waktu, dia akan menahan diri dari menyaksikan seluruh makhluk.”[4]

Bagi orang yang berpuasa dengan jiwanya, dia akan dipuaskan dengan pakaian yang indah-indah dan minuman yang sangat nikmat dengan campuran jahe. Dan siapa di antara manusia yang berpuasa dengan hatinya dia akan dikaruniai tegukan mahabbah (cinta) dengan kenikmatan yang sepatutnya.  Puncaknya, bagi siapa yang berpuasa dengan sirr-nya mereka adalah segolongan manusia yang disebutkan Allah dalam al-Quran, “ … dan Tuhan akan memberi mereka minuman yang bersih.”[5] Minuman yang bersih, suci, dan segar. Minuman yang tak akan membuat dahaga untuk selamanya. Demikianlah, puasa telah menjadi karakter para sufi, seperti tampak dalam kutipan-kutipan menarik Al-Ghazali dalam risalah Raudhatut Thalibin wa Umdatus Salikin:[6] Seorang pemuka ulama pernah berkata, “Peganglah ilmu, lapar, lemah (khumul), dan puasa. Karena ilmu adalah cahaya yang menerangi, dan lapar adalah hikmah.” Dia juga mengutip Abu Yazid yang menyatakan, “Tak sehari pun aku lapar karena Allah, melainkan aku melihat satu pintu hikmah di hatiku yang belum pernah kulihat sebelumnya.” Kelemahan menjadi istirahat sekaligus keselamatan, dan puasa merupakan sifat sandaran yang tak tertandingi oleh apa pun. Seperti firman Allah SWT., “Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS Asy-Syura [42]: 11) Maka, barang siapa mengenakan sifat ini, darinya akan memancarkan ilmu, makrifat, dan penyaksian.[]

Bersambung…

Sebelumnya:


Catatan kaki:


[1] Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa orang perawi, di antaranya Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Lihat Ibnu Maja, Sunan Ibnu Majah, Bab al-Iqtishad fi al-Akli wa Karahat asy-Syab’, juz. 10, hlm. 105, dalam al-Maktabah asy-Syamilah, v. 2.11 

[2] Lihat Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi, Maraqil ‘Ubudiyah,(tt. tp. tt.) dalam https://ia800704.us.archive.org/21/items/book2_20140128_1312/book6.pdf

[3] Lihat anotasi Sa’id Harun Asyur dalam Yahya bin Mu’adz ar-Razi, Jawahir at-Tashawwuf, tahqiq: Said Harun Asyur (Kairo: Makabah al-Adab, 1423 H/ 2002 M), hlm. 134., hlm. 135-136

[4] Abul Qashim al-Qusyairi an-Naisaburi, Lathaif al-Isyarat, juz. 1, tahqiq: Abdul Latif Hasan (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2007), hlm. 89

[5] Ibid.,

[6] Imam al-Ghazali, “Raudhatut Thalibin wa ‘Umadatus Salikin” dalam Majmu’ Rasail al-Imam al-Ghazali, (Kairo: al-Maktabah at-Taufiqiyyah, tt.), hlm. 103 u

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*