Puasa Kaum Sufi (8): Rahasia Ramadan Syekh Abdul Qadir Al-Jilani

in Ramadania

Last updated on May 24th, 2019 10:46 am

Seperti kata Sang Syekh: “Bulan Ramadan menjadi syafaat bagi mereka yang berpuasa. Pada bulan itu, hati-hati manusia dihiasi dengan cahaya makrifat dan keimanan; dilimpahi kilauan bacaan Alquran. Maka, siapakah kalian yang tak meraih ampunan Tuhan di bulan Ramadan, lantas di bulan apa lagi kalian akan diampuni? Mohonlah ampunan, duhai hamba Allah, sebelum pintu-pintu ampunan tertutup. Mintalah ampunan kepada-Nya sebelum habis masa pengampunan. Menangislah, wahai manusia, sebelum waktu menangis dan kasih sayang terlewatkan.”

Oleh: Khairul Imam

(Staf Pengajar di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) An Nur Yogyakarta)



Gambar ilustrasi. Sumber: www.nu.or.id


Ramadan bulan suci, kata Nabi Saw. Rahasia kesuciannya melingkupi hampir semua lini alam semesta: makhluk langit dan bumi, hewan dan melata, tumbuh-tumbuhan; malaikat, manusia, dan Tuhan sebagai poros kesucian. Semua elemen dalam konstelasi wujudiyah ini bersinergi dalam penyuciannya. Manusia yang diwakili Nabi Muhammad Saw, dan nabi-nabi sebelumnya sudah memulai jauh-jauh hari sebelum datangnya bulan Ramadan. Mereka membersihkan diri untuk menyambut kehadiran bulan Ramadan. Mengencangkan ikat pinggang tuk menjemput limpahan rahmat Tuhan.

Lantas, apa yang menarik dari bulan Ramadan? Rahasia apakah yang tersembunyi dari bulan itu? Dan sederet pertanyaan yang menuntut jawab lainnya. Bagaimana tidak, di bulan itu, konon setan terbelenggu, neraka ditutup rapat, sementara surga dibuka lebar-lebar. Pada bulan itu pula, pahala ibadah dilipatgandakan, puasanya dikatakan untuk Allah, di samping ibadah lainnya untuk diri sendiri. Tentang masalah ini, menarik untuk kita cermati pandangan seorang sufi agung, yang sekaligus disebut-sebut sebagai sulthan al-Auliya (punggawa para wali), yang tak lain adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (qaddasallah sirrahu, wa nafa’ana bihi wa bi ‘ulumihi fid daraini. Amin)

Berangkat dari tema majlis fi fadhail syahri ramadhan (Majlis tentang Keutamaan Bulan Ramadan) dalam kitab al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqqa Azza wa Jalla, pertama-tama Syekh al-Jailani menjelaskan secara panjang lebar mengenai tafsir puasa. Dia pun menjelaskan secara gamblang soalan syariat dan perintah puasa yang juga berlaku pada umat-umat terdahulu, terutama Yahudi dan Kristen. Ini dipantik dari diskusi tafsiran kalimat “kama kutiba alalladzina min qablikum” dalam QS al-Baqarah [2]: 183.

Dalam mengurai makna Ramadan, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani memulainya dengan penjelasan hadis dan analisis kebahasaan. Pertama-tama, dia mengutip satu hadis yang bersumber dari Ibnu Umar ra. Yang mengisahkan sabda Nabi Saw: “Kita adalah umat yang ummiy (buta huruf), kita tidak bisa menulis dan tidak pula menghitung. Satu bulan itu sama dengan begini, begini, dan begini (beliau menurunkan ibu jarinya pada kali yang ketiga), dengan mengenapkan menjadi tiga puluh.” Menurutnya, dinamakan bulan (syahr) karena putihnya. Ini terambil dari kata syahirat (putih) yang artinya keputihan (al-bayadh). Selain itu, ada pula yang mengatakan: pedang itu tampak putih kemilau (syahirat) ketika terhunus; bulan terlihat terang keputihan saat kemunculannya.[1]

Bertolak dari pengertian ini, Syekh Abdul Qadir al-Jailani melanjutkan pembahasan tentang perbedaan makna Ramadan. Sebagian mengartikan dan memaknai Ramadan sebagai nama Allah SWT. Ini disandarkan pada riwayat Jafar As-Shadiq yang bersumber dari ayahnya. Dia mengatakan, “Bulan Ramadan adalah bulannya Allah (Syahrullah).” Karena itulah, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mewanti-wanti agar jangan sekadar menyebutkan “Ramadan” (tanpa “bulan’), tetapi hendaknya sematkan padanya kata “bulan (syahr)” sebagaimana Allah menyematkannya di dalam Alquran dalam firman-Nya “syahru ramadhan (bulan Ramadan).” Demikian penjelasan dari Anas bin Malik ra.

Adapun dinamakan Ramadan karena di dalamnya terjadi perubahan sehingga cuaca menjadi panas, sehingga bebatuan pun memanas. Al-Khalil mengatakan bahwa Ramadan diambil dari ar-ramdhu, yang artinya hujan yang turun di tengah musim gugur. Maka pada bulan Ramadan tubuh-tubuh dibersihkan dan disucikan dari berbagai keburukan, dan hati disucikan agar menjadi suci. Lebih jauh dari makna-makna di atas bahwa pada bulan itu hati manusia dikeluarkan dari panas lewat nasihat dan pemikiran tentang urusan akhirat, layaknya mengangkat bebatuan dan kerikil dari panasnya matahari.[2]

Sebagai yang disemati dengan poros kesufian (qutb ash-shufi), rupa-rupanya Sang Syekh masih mempertimbangkan pemahaman awam dalam memahami ayat-ayat Alquran. Terbukti dalam memahami ayat-ayat tentang keutamaan Ramadan tidak terlalu banyak menggunakan terminologi rumit khas para sufi. Seperti tampak dalam karya tafsirnya yang diberi judul Tafsir Al-Jailani. Dalam karya tafsir ini, aspek normatif yang dia kutip dari hadis-hadis shahih masih mendominasi penjelasannya berkenaan dengan rahasia bulan Ramadan. Pun dengan pernyataan para sahabat dan salafus saleh yang menjadi acuan dalam penjelasan tema tersebut. Ini tidak lantas memberikan kesimpulan bahwa Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tidak memiliki karya dengan ragam kerumitan. Jika pembaca mau menggeledah kitab-kitabnya yang diperuntukkan para salik seperti Sirr al-Asrar, as-Safinah al-Qadiriyyah, dan beberapa bagian di al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, dll. kita akan mendapati sejumlah kerumitan di dalamnya.

Menarik merunut penjelasan Ramadan dari sisi penafsiran Syekh Abdul Qadir Al-Jailani terhadap QS Al-Baqarah [2]: 186. Ramadan dalam konteks ayat ini merupakan bulan yang memiliki derajat dan martabat tertinggi serta paling mulia di sisi Allah. Pada bulan ini, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas, Alquran diturunkan secara keseluruhan dari Lauh al-Mahfuzh saat Lailatul Qadr. Kemudian diletakkan di Baitul Izzah di langit dunia, dan disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhamad Saw secara bertahap selama dua puluh tiga tahun. Tidak hanya itu, kemuliaan bulan Ramadan ditambah dengan adanya fakta bahwa empat kitab (Alquran, Taurat, Zabur, dan Injil) juga diturunkan pada bulan itu.

Alquran diturunkan sebagai petunjuk bagi orang-orang (hudan lin nasi) yang beriman dengan keesaan Allah dan menghadapkan pandangannya yang menuntun ke arah tingkatan yakin (martabat al-yaqin). Demikian pula, Alquran menjadi penjelas terhadap penyaksian dan tanda-tanda “petunjuk” yang begitu nyata. Petunjuk ini akan menyampaikan mereka yang telah tersingkap dari rahasia-rahasia keesaan (tauhid) menuju ke tingkatan kasat mata (ainul yaqin). Sementara itu, fungsi Alquran sebagai pembeda (al-Furqan), atau yang menjadi pembeda antara al-Haqq (kebenaran sejati) yaitu Allah Yang Mahawujud dan al-bathil (kenisbian; ketiadaan) dari seluruh wujud alam semesta selain Allah itu sendiri. Pembeda (al-Furqan) ini akan mengantarkan mereka ke tingkatan pengetahuan hakiki (haqq al-yaqin).[3]

Sepertinya identifikasi sufisme tidak ditinggalkan oleh Sang Syekh, dia tetap menyematkan makna simbolik dari kata Ramadan.[4] Huruf ra sama dengan ridhwanullah (keridaan Allah); mim berarti muhabatullah (cinta kasih Allah terhadap para pelaku dosa); huruf dhadh diartikan dengan dhimmanullah  (tanggung jawab atau garansi dari Allah); huruf alif bermakna alfatullah (keramahan Allah); huruf nun sama dengan nurullah (cahaya Allah). Karena itulah, bulan Ramadan menjadi bulan keridaan, bulan kecintaan Allah, bulannya Allah yang penuh tanggung jawab, bulan keramahan Allah, bulan limpahan dan karamah bagi para wali dan pelaku kebajikan.

Demikianlah, segala sesuatu memiliki pusat orbitnya masing-masing. Dari pusat orbit itulah semua hal bermula. Dia menjadi semacam pijakan awal dalam keberlangsungan alam semesta. Dia menjadi yang terbaik di antara yang lain. Dan Al-Jailani menandai Ramadan sebagai Punggawa di antara bulan-bulan lainnya (sayyidusy syuhur). Seperti Adam sebagai Tuan bagi sekalian manusia, Muhammad sebagai Tuannya bangsa Arab dan non Arab, Salman Al-Farisi sebagai punggawanya orang-orang Persia; Al-Baqarah sebagai sayyid Alquran, dan ayat kursi menjadi tuannya surat Al-Baqarah.

Keajaiban dan ketakjuban senantiasa menghiasi bulan Ramadan. Kemilau indahnya menjadi sarana turunnya para malaikat ke bumi. Membagi-bagikan kasih sayang Tuhan bagi para pelaku kebaikan, memberikan harapan besar bagi para pelaku dosa untuk terus mendekati Tuhan tanpa rasa sungkan. Seperti kata Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Ramadan ibarat hati di dalam dada; seperti kehadiran para nabi di antara sekian makhluk. Layaknya Makkah bagi Arab, di mana Dajjal tak diizinkan menginjakkan kakinya di sana. Setan terbelenggu, dan para Nabi memberikan syafaat bagi para pelaku kemaksiatan.

Bulan Ramadan menjadi syafaat bagi mereka yang berpuasa, sementara hati-hati dihiasi dengan cahaya makrifat dan keimanan. Bulan itu, dilimpahi kilauan bacaan Alquran. Maka, siapakah kalian yang tak meraih ampunan Tuhan di bulan Ramadan, lantas di bulan apa lagi kalian akan diampuni? Mohonlah ampunan, duhai hamba Allah, sebelum pintu-pintu ampunan tertutup. Mintalah ampunan kepada-Nya sebelum habis masa pengampunan. Menangislah, wahai manusia, sebelum waktu menangis dan kasih sayang terlewatkan. Wallahu a’lam bish shawab

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Syekh Abdul Qadir al-Jailni, al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqqi ‘Azza wa Jalla., juz. 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), hlm. 7

[2] Ibid., hlm 8

[3] Abdul Qadir al-Jailani, Tafsir al-Jailani, tahqiq: Syekh Ahmad Farid al-Mazidi, juz. 1, (Kuwait-Pakistan: al-Maktabah al-Ma’rufah, 2010), hlm. 184

[4] Syekh Abdul Qadir al-Jailni, al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqqi ‘Azza wa Jalla., hlm. 15

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*