Puasa Kaum Sufi (9): Syekh Abdul Qadir Al-Jilani dan Lailatul Qadr

in Ramadania

Last updated on May 28th, 2019 09:02 am

Duhai Muhammad, engkau dan para sahabatmu takjub dengan hamba Allah yang telah beribadah selama 80 tahun tanpa melakukan kemaksiatan. Sementara Allah justru menurunkan sesuatu yang lebih utama dari itu semua, suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Dan ini lebih dari apa yang mengejutkanmu dan para sahabatmu.

Oleh:

Khairul Imam

(Staf Pengajar di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) An Nur Yogyakarta)


Gambar ilustrasi. Sumber: linkedin.com


Malam itu, suasana sunyi, tenang, lengang. Angin merespons dengan semilirnya. Sejumlah malaikat turun ke langit dunia pada malam itu untuk menuntaskan berbagai perkara manusia. Ada pula yang bertugas membawakan sejumput keberkahan dari Tuhannya. Mereka turun berbaris memadati langit dunia sembari merapalkan tasbih, tahmid, dan tahlil. Malam itu tak seperti biasanya. Malam luar biasa yang tak seorang pun tahu tepatnya. Hanya saja dianjurkan bagi siapa yang berharap kebaikan dan kemuliaannya untuk menghadang malam dengan penghambaan dan pujian seriuh-riuhnya.

Dalam membincangkan Lailatur Qadr, Syekh Abdul Qadir Al-Jilani berangkat dari pembacaannya terhadap Alquran. Singgungan tentang keutamaan malam itu sudah dimulai ketika membuka tafsiran bismillahirrahmanirrahim: Dengan nama Allah yang telah menentukan berbagai takdir makhluk di dalam hadirat ilmu-Nya dan lembaran ketetapan-Nya dengan diturunkannya Alquran kepada hamba-Nya. Juga sebagai pemberi peringatan bagi mereka ke jalan makrifat dan keimanan, sekaligus membangunkan mereka dari tidur panjang kelenaan dan kelalaian.

Pintu masuk di atas setidaknya menunjukkan kita secercah pemahaman tentang keajaiban lailatul qadr. Bahwa pada malam itu diturunkan Alquran dari tempat yang agung. Kalimat inna anzalnahu fi lailatil qadr menyiratkan turunnya Alquran dengan cara penuh kelembutan kepada seluruh hamba Allah SWT. Diturunkannya kitab ini pun sebagai pemberi penjelasan perihal jalan keselamatan dari api kebodohan. Sebab, orang-orang dungu tak akan menyambut malam agung itu, kecuali mereka yang memahami hakikat alam gaib.[1]

Maka dikatakan, wahai Muhammad, sekiranya Allah tidak memberitahumu perihal keagungan malam itu, niscaya tak ada yang mengetahui rahasia-rahasianya, hingga Allah memberitahukannya. Malam yang penuh keagungan dan hikmah. Malam yang berlimpah keberkahan, di mana amal saleh pada malam itu lebih baik dari seribu bulan. Bahkan para sahabat tidak pernah merasakan puncak kegembiraan sebagaimana ketika disebutkan firman-Nya, “malam itu lebih baik dari seribu bulan.”

Para malaikat turun sejak terbenamnya matahari sampai terbitnya. Turunnya para malaikat ini disertai oleh punggawa mereka, yakni Jibril, sebagai jelmaan dari ar-Ruh al-Amin. Ruh yang menjelma rupa manusia dan makhluk teragung. Dialah malaikat paling mulia. Ada yang mengatakan, turunnya Jibril dengan rupa manusia, namun dengan jasad malaikat.

Pada malam itu, mereka turun dengan berbaris-baris dan dipimpin oleh Jibril as. (Lihat QS an-Naba [78]: 36) atas izin Tuhan untuk menyelesaikan berbagai perkara kebaikan dan keberkahan. Mereka turun ke langit dunia hingga fajar menjelang dengan penuh kesejahteraan dan kedamaian, tanpa keburukan dan sihir. Kalimat mathla dengan lam fathah mengindikasikan tempat terbitnya; jika dengan kasrah menandakan terbitnya. Dan para malaikat menghaturkan salam kedamaian kepada orang-orang mukmin hingga terbitnya fajar. Demikian penjelasan Sang Syekh.[2]

Keutamaan malam itu pun mengundang ketakjuban malaikat Jibril, Sang Pembawa Wahyu. Dalam satu riwayat berkenaan dengan kalimat “malam yang lebih baik dari seribu bulan” yang dikutip Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, suatu ketika Rasulullah Saw berbincang-bincang dan mengisahkan empat sosok Bani Israil yang telah beribadah kepada Allah selama 80 tahun tanpa bermaksiat sama sekali. Kala itu beliau menyebutkan Ayub, Zakaria, Hizqil, dan Yusa’ bin Nun. Dengan kisah itu para sahabat pun merasa heran. Lalu datanglah Jibril as. sembari berkata, “Duhai Muhammad, engkau dan para sahabatmu takjub dengan hamba Allah yang telah beribadah selama 80 tahun tanpa melakukan kemaksiatan. Sementara Allah justru menurunkan sesuatu yang lebih baik dari itu semua, sambil membacakan surat al-Qadr sampai akhir. Dan ini lebih utama dari sesuatu yang mengejutkanmu dan para sahabatmu.” Maka, Nabi Saw pun merasa bahagia dengan itu.

Namun demikian, tak ada yang tahu pasti kapan terjadinya malam itu. Hanya mengundang spekulasi yang mungkin sedikit mendekati. Akan tetapi, spekulasi ini tidak lantas tanpa ilmu. Tentunya tetap berlandaskan keilmuan yang ketat dan tidak sembrono. Bahkan Sang Syekh yang memiliki kecenderungan batiniah tidak mau menyimpulkan berdasarkan narasi batiniahnya. Dia tetap mengambil pendapat dari para imam dan fuqaha dari kalangan salafus saleh.

Menurutnya, malam itu terjadi pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan, tepatnya malam 27. Imam Malik mengatakan bahwa malam itu terjadi di semua malam sepuluh hari terakhir, sedangkan Imam Syafii, menyatakannya pada malam 21 Ramadan. Mereka yang mengikuti pendapat Aisyah ra. Lailatul Qadr terjadi pada malam 29 Ramadan, sementara Abu Burdah al-Aslami menyimpulkannya pada malam 23 Ramadan. Abu Dzar dan Hasan Al-Bashri menyimpulkannya pada malam 25, dan Ibnu Abbas dan Ubay bin Kaab mengatakannya terjadi pada malam 27.

Sepertinya Sang Syekh cenderung memaknainya terjadi pada malam 27 Ramadan. kecenderungan dikuatkan dengan ragam dalil, di antaranya: Dari Ibnu Umar ra, “… Sementara para sahabat selalu menceritakan kepada Nabi Saw. tentang mimpi-mimpi mereka bahwa Lailatul Qadar terjadi pada malam ketujuh dari sepuluh malam yang akhir, maka Nabi Saw. bersabda: “Sungguh aku melihat bahwa mimpi kalian benar, dan Lailatul Qadar terjadi pada sepuluh malam yang akhir. Maka siapa yang mau mencarinya, carilah pada sepuluh malam yang akhir (dari Ramadan).”[3]

Untuk menguatkan argumennya tentang terjadinya malam Lailatul Qadr pada malam 27, lagi-lagi Sang Syekh mengambil dalil yang sekaligus simbolisme sufisme tentang angka tujuh. Sebuah narasi panjang dialog antara Ibnu Abbas dengan Umar bin Khattab[4] ini menegaskan bahwa segala hal berporos pada angka tujuh. Misalnya, lapisan langit ada tujuh, lapisan bumi ada tujuh, malam-malam tujuh, planet-planet tujuh, bintang-bintang tujuh, sai antara shafa dan marwah tujuh kali, thawaf tujuh kali, lempar jumrah tujuh kali, penciptaan manusia selama tujuh hari, pemberian rezeki tujuh hari, membasuh muka tujuh kali, kata alhamdu dijadikan sebagai pembuka tujuh surat, tujuh bacaan Alquran (sabatu ahruf), dan lain sebagainya yang menyiratkan ragam rahasia angka tujuh.

Selain sebagai petunjuk tentang keajaiban angka tujuh, simbolisme ini identik dengan sufisme yang tidak jarang membubuhkan makna intrinsik. Hal ini bukan berarti para sufi tidak puas dengan makna lahiriah, tapi makna batiniah ini menunjukkan kekayaan wacana dan penggalian terdalam yang khas hingga menembus batas relung jiwanya. Makna-makna intrinsik ini bukannya spekulasi yang nihil makna, justru jauh sebelumnya telah didahului oleh para sahabat Nabi Saw, hanya saja kita belum mengetahuinya, menggalinya, atau belum sampai ke sana. Wallahu alam bish shawab

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Abdul Qadir al-Jilani, Tafsir al-Jilani., hlm. 452

[2] Syekh Abdul Qadir al-Jailni, al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqqi ‘Azza wa Jalla., juz. 2., hlm. 17

[3] Lihat hadis pembanding, Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz. Iv, hlm. 332, dalam al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.11.

[4] Ibid., hlm. 18 c

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*