“Pada tahun 1922 Kekaisaran Ottoman (Ustmaniyah) yang telah bertahan lebih dari 600 tahun berakhir. Dua tahun kemudian pemerintah Republik Turki yang baru dibentuk menghapuskan sistem kekhalifahan Ottoman. Pada tahun 1924, ketika berita tentang penghapusan khalifah itu tersebar, seluruh dunia tersentak. Untuk pertama kalinya dalam 1.300 tahun, umat Islam Sunni tidak memiliki khalifah. Peristiwa ini merupakan salah satu konsekuensi terpenting yang terjadi akibat Perang Dunia I.”[1]
–O–
Perjanjian Sevres dan Perlawanan Ataturk
Dalam Perang Dunia I, umat Islam berperang satu sama lain, berbagai kelompok otoritas keagamaan di dunia Islam memiliki tuntutan dan permintaan yang berbeda-beda. Mereka berperang dengan alasan yang bermacam-macam, namun umumnya faktor keagamaan bukanlah faktor yang utama.[2]
Sementara itu, di pihak negara-negara Eropa, tepat lima tahun setelah pembunuhan Archduke Franz Ferdinand (pemicu Perang Dunia I), negara-negara aliansi Eropa sebagai pemenang dan Jerman sebagai pihak yang kalah dalam Perang Dunia I menandatangani Perjanjian Versailles di luar Paris pada 28 Juni 1919.[3]
Hal yang paling menonjol dari perjanjian pasca-perang tersebut adalah bahwa kesalahan yang terjadi dalam peperangan, sepenuhnya ditimpakan kepada Jerman; membatasi jumlah tentaranya di masa depan; mengambil alih wilayah tertentu di Eropa dan koloninya di luar negeri; dan menetapkan uang ganti rugi yang sangat besar untuk perbaikan daerah-daerah yang rusak akibat perang. Banyak sejarawan yang menilai bahwa tekanan itu justru merupakan katalisator yang menyebabkan munculnya Adolf Hitler.[4]
Namun selain Versailles, terdapat sebuah perjanjian lain yang disebut dengan Perjanjian Sevres. Perjanjian itu muncul sebagai konsekuensi dari kekalahan Kekaisaran Ottoman dalam perang melawan negara aliansi (Inggris, Perancis, dan Rusia) dalam Perang Dunia I.[5] Pemerintah Ottoman menandatangani Perjanjian Sevres pada Agustus 1920, dan itu tidak pernah diratifikasi. Isinya sangat memberatkan, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian inilah yang menyebabkan runtuhnya Kekaisaran Ottoman.[6]
Hal pertama yang dituntut dari perjanjian itu adalah bahwa Kekaisaran Ottoman diwajibkan untuk melepas wilayah kekuasaannya di seluruh tanah Arab, Asia, dan Afrika Utara. Perjanjian itu juga memberikan kemerdekaan bagi Armenia, wilayah Kurdistan yang otonom, dan beberapa wilayah yang dikembalikan kepada Yunani.[7] Selain itu, Konstantinopel dan wilayah-wilayah di sekitar selat Bosporus harus didemiliterisasi dan kendali atas wilayah tersebut diserahkan kepada otoritas internasional. Seandainya perjanjian itu dilaksanakan, maka Anatolia yang menjadi jantung negara Turki akan terpecah belah, hanya akan menyisakan wilayah yang kecil sekali.[8]
Perjanjian tersebut tentu saja sepenuhnya tidak dapat diterima oleh kelompok nasionalis Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal, seorang pemimpin revolusioner Turki yang kemudian dikenal sebagai Ataturk. Mereka menolak perjanjian itu. Yang terjadi selanjutnya adalah Perang Kemerdekaan Turki, yang berlangsung hingga Oktober 1922.[9]
Sedikit menengok ke belakang, Ottoman telah berperang selama lebih dari satu dekade, di antaranya perang Italo-Turki di Afrika Utara pada tahun 1911, Perang Balkan pada tahun1912–1913, dan Perang Dunia I. Dengan adanya perkembangan terbaru, resistensi dengan kelompok nasionalis Turki, negara aliansi terpaksa kembali menuju meja perundingan. Tetapi kali ini, mereka bukan hendak bernegosiasi dengan Kekaisaran Ottoman, karena faktanya mereka telah bubar. Mereka telah dikalahkan, dan ditekan sedemikian rupa melalui perjanjian Sevres, sehingga akhirnya mereka sudah tidak memiliki daya dan upaya.[10]
Artikel Terkait:
- Suleiman Agung (1): Sultan Terbesar Sepanjang Sejarah Ottoman
- Barbarossa, Sang Perompak yang Menjadi Laksamana Ottoman (1)
Alih-alih, perundingan dilakukan antara pihak aliansi dengan Ataturk, bersama dengan perwakilan lain dari pemerintah baru Turki yang disebut dengan Majelis Nasional Agung. Perjanjian Sevres dibatalkan, digantikan oleh Perjanjian Lausanne, ditandatangani pada musim panas 1923. Tiga bulan kemudian, pada 29 Oktober 1923, Republik Turki lahir. Anatolia yang tadinya akan diambil alih oleh otoritas internasional menjadi wilayah Republik Turki.[11] Saat ini Anatolia merupakan sebagian besar wilayah Turki di sisi benua Asia (Republik Turki berada di antara dua benua: Eropa dan Asia).[12]
Wilayah Bekas Kekaisaran Ottoman
Lalu bagaimana dengan wilayah kekuasaan Ottoman di luar Republik Turki? Sebelumnya, pada Juni 1919, Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson mendesak untuk mendirikan Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Di bawah dominasi negara-negara aliansi, LBB memperkenalkan “Sistem Mandat” yang memungkinkan Inggris dan Perancis sebagai pemenang Perang Dunia I dapat mengambil wilayah Timur Tengah.[13]
Liga ini mengelola tiga kelas mandat yang berbeda—A, B, dan C. Dengan dikuncinya perjanjian internasional ini, wilayah bekas kekuasaan Kekaisaran Ottoman yang dikategorikan dalam mandat kelas A, diserahkan kepada Inggris dan Perancis, dengan alasan wilayah ini dinilai belum cukup mandiri untuk memimpin dirinya sendiri. Kedua negara ini difungsikan untuk memberikan “bantuan” bagi pemerintah sementara. Dengan kata lain, Inggris dan Prancis bertanggung jawab penuh untuk memutuskan kapan kemerdekaan terhadap negara-negara dalam mandat kelas A akan diberikan.[14] [15] (PH)
Bersambung ke:
Runtuhnya Kekhalifahan Terakhir (3): Selamat Tinggal Khalifah, Selamat Datang Presiden
Sebelumnya:
Runtuhnya Kekhalifahan Terakhir (1): Makna Khalifah dan Perwujudannya
Catatan Kaki:
[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 288.
[2] Ibid.
[3] “World War I History”, dari laman https://www.history.com/topics/world-war-i/world-war-i-history, diakses 4 Mei 2018.
[4] David Kaiser, “Treaty of Versailles”, dari laman https://www.history.com/topics/world-war-i/treaty-of-versailles, diakses 4 Mei 2018.
[5] “Treaty of Sèvres”, dari laman https://www.britannica.com/event/Treaty-of-Sevres, diakses 4 Mei 2018.
[6] Eamon Gearon, Loc. Cit.
[7] “Treaty of Sèvres”, Ibid.
[8] Eamon Gearon, Ibid., hlm 288-289.
[9] Ibid., hlm 289.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] John Frederick Haldon, Donald Fyfe Easton, Philo H.J. Houwink ten Cate, Seton H.F. Lloyd, Dominique P.M., Collon, dan John E. Woods, “Anatolia”, dari laman https://www.britannica.com/place/Anatolia, diakses 4 Mei 2018.
[13] Eamon Gearon, Loc. Cit.
[14] Ibid., hlm 289-290.
[15] “Mandate: League of Nations”, dari laman https://www.britannica.com/topic/mandate-League-of-Nations, diakses 4 Mei 2018.