“Pada tahun 1479, Ferdinand menggantikan ayahnya sebagai Raja Aragon, setelah sebelumnya, istrinya, Isabella, menggatikan kakaknya sebagai Ratu Castile. Dengan demikian, mahkota Castile dan Aragon bersatu dalam ikatan yang paling kokoh untuk pertama kalinya sejak abad ke-8 M. Persatuan dua kerajaan besar ini kemudian berkembang menjadi satu unit politik yang solid yang disebut España (Spanyol). Oleh Paus Alexander IV, mereka didaulat sebagai pemimpin politik tertinggi umat Katholik masa itu (The Catholic Monarchs).”
—Ο—
Penaklukan Granada adalah puncak dari perjuangan idelogis yang panjang, yang dikenal sebagai The Reconquista atau penaklukkan kembali. Meski demikian, para sejarawan pun sulit memastikan kapan tepatnya istilah ini dimunculkan dan bagaimana pastinya proses transformasi dan tahap evolusinya. Menurut Joseph F. O’Callaghan, dalam bukunya berjudul Reconquest and Crusade in Medieval Spain, catatan paling tua tentang ide Reconquista ditemukan dalam sebuah naskah yang ditulis dalam Bahasa Latin pada abad 9 M.
Naskah tersebut berasal dari kerajaan kecil bernama Asturia,[1] dan dikenal dengan nama Prophetic Chronicle, the Chronicle of Albelda, dan The Chronicle of Alfonso III. Menurut O’Callaghan, kuat dugaan catatan tersebut dibuat secara bersama oleh pihak gereja dan para elit lokal masa itu. Adapun masyarakat awam, tidak tau menau mengenai gagasan ideologi tersebut. Pada masa selanjutnya – atau sekitar abad 11 sampai 12 masehi – ide dalam naskah tersebut terus berkembang dan mulai diterima secara luas oleh para elit Kristen.[2]
Setelah jatuhnya kekhalifahan Umayyah II di Cordoba pada 1031 M, ganjalan terbesar elit Kristen untuk menerapkan gagasan Reconquista pun menghilang. Kini mereka mulai menemukan titik terang. Secara bertahap mereka mulai mengamankan masing-masing wilayah kekuasaan mereka. Salah satu caranya, mereka mengisi areal kekuasaannya dengan orang-orang yang berprinsip sama, para bangsawan dan petani Kristen, sehingga dalam waktu singkat populasi umat Kristen meningkatkan di kawasan tersebut. Upaya yang dikenal dengan istilah “re-populasi” ini membuat mereka mampu menahan penetrasi pengaruh kaum Muslimin ke wilayah kekuasaan mereka. Dan secara otomatis mempercepat proses pertumbuhan ide Reconquista.[3]
Memasuki abad ke-13, The Reconquista mulai menunjukkan kecenderungan yang konkrit. Ide tersebut tidak hanya menginsiprasi gerakan para elit Kristen, tapi juga merekatkan persatuan di antara mereka setelah cukup lama bersaing satu sama lain.
Pada tahun 1482, The Reconquista menemukan momentumnya, ketika upaya repopulasi berhasil dan pada saat bersamaan terjadi perimbangan agregat kekuatan antara Islam dan Kristen. Salah satu momentum penting yang secara signifikan memicu terjadinya peningkatan agregat kekuatan ini adalah pernikahan bersejarah antara Raja Ferdinand II dari kerajaan Aragon dengan Ratu Isabella dari kerajaan Kastilia (Castile) pada tahun 1462.
Aragon dan Kastilia adalah dua kerajaan Katholik terbesar di Semenajung Iberia selain Portugal di wilayah paling barat. Aragon adalah penguasa wilayah timur semenajung Iberia. Wilayah kekuasaannya menjangkau hingga ke Laut Mediterania, Sisilia, Corsica, dan Sardinia (Italia sekarang). Sedang Kastilia, menjadi penguasa mutlak di wilayah tengah Semenanjung Iberia, setelah sebelumnya berhasil menaklukan Leon dan menggabungkan sejumlah kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Akan tetapi selama ratusan tahun kedua kerajaan ini tidak pernah sepi dari gonjang ganjing perebutan kekuasaan di antara mereka. Sebagaimana dinyatakan oleh Eamonn Gaeron, bahwa gonjang ganjing perebutan kekuasaan inilah yang membuat ide Reconquista tidak pernah menjadi gerakan yang konkrit selama berabad-abad.[4] Barulah pada tahun 1469, ketika Ferdinand II dari Aragon dan Isabella I dari Kastilia melangsungkan pernikahan di Palacio de los Vivero di Valladolid, kedua keluarga dari kedua kerajaan ini memulai upaya persatuan.
Baik Isabella maupun Ferdinand adalah pewaris mahkota di kedua kerajaan ini. Pernikahan keduanya, telah memberi optimisme di kalangan elit dan masyarakat, bahwa akan terjadi akumulasi kekuatan besar umat Khatolik setelah lama terpecah belah.
Hanya lima tahun berselang, atau pada 1474 M, Isabella naik tahta menggantikan saudara laki-lakinya sebagai Ratu Kastilia, dan secara otomatis Ferdinand menjadi raja di kerajaan tersebut. Pada titik ini, sebenarnya persatuan dua kerajaan ini sudah terjalin cukup solid, dimana Ferdinand pada waktu itu sudah menduduki dua posisi strategis di dunia Negara berbeda.
Puncaknya, adalah ketika Ferdinand menggantikan ayahnya sebagai Raja Aragon pada 1479, mahkota Kastilia dan Aragon bersatu dalam ikatan yang paling kokoh untuk pertama kalinya sejak abad ke-8 M. Persatuan dua kerajaan besar ini kemudian berkembang menjadi satu unit politik yang disebut España (Spanyol). Oleh Paus Alexander IV, Ferdinand dan Isabella didaulat sebagai pemimpin politik tertinggi umat Katholik masa itu (The Catholic Monarchs).
Yang terpenting dari momen pernikahan bersejarah ini, Raja Ferdinand II dan Ratu Isabella adalah pewaris ideologi Reconquista yang disatukan oleh sebuah visi bersama, yaitu menciptakan wilayah kekuasaan yang sepenuhnya Katholik. Setelah pernikahan mereka, sejumlah kekuatan Kristen bergabung dalam satu barisan yang solid untuk membebaskan semenanjung Iberia dari semua anasir selain Kristen. Dan satu-satunya kekuasaan yang tersisa kala itu, adalah Daulah Bani Ahmar di Granada, yang dirajai oleh Sultan Muhammad XII atau Boabdil. Tidak butuh waktu lama setelah pernikahan mereka. Pada tahun 1482, Ferdinand dan Isabella langsung melancarkan serangan umum ke pusat kekuasaan Bani Ahmar, sehingga pecahlah perang Granada.[5] (AL)
Bersambung…
Runtuhnya Kesultanan Granada: Sebuah Titik Balik Sejarah Islam (3)
Sebelumnya:
Runtuhnya Kesultanan Granada: Sebuah Titik Balik Sejarah Islam (1)
Catatan kaki:
[1] Ketika masa penaklukan semenajung Iberia oleh pasukan Umayyah, Asturia adalah kerajaan kecil yang terletak di sebelah paling utara Semenanjung Iberia. Masyarakat Asturia dikenal sangat terbelakang dibanding dengan kerajaan lain di sekitarnya. Perekonomian masyarakatnya didasarkan pada peternakan dan perikanan. Tidak ada perdagangan atau mata uang. Ini sebabnya Bani Umayyah tidak tertarik menyerang wilayah Asturia. Ketika berhasil ditaklukkan oleh kaum Muslimin, para bangsawan Visigoth mengungsi ke tempat ini. Para pengungsi ini berhasil mencapai kata sepakat dengan masyarakat Asturia, dan The Visigoth Pelagius diterima oleh masyarakat Asturia sebagai pemimpin mereka. Lihat, https://2puertadecuartos.wordpress.com/2017/01/23/unit-4-christian-kingdoms-europe-between-8th-15th-c/, diakses 10 November 2018
[2] Joseph F. O’Callaghan, Reconquest and Crusade in Medieval Spain, University of Pennsylvania Press, 2003, hal. 4
[3] Lihat, Eamonn Gearon, Turning Points in Middle Eastern History; Course Guidebook, United States of America, The Teaching Company, 2016, Hal. 184
[4] Ibid, hal. 185
[5] Ibid, hal. 186