Mozaik Peradaban Islam

Runtuhnya Kesultanan Granada: Sebuah Titik Balik Sejarah Islam (1)

in Sejarah

Last updated on November 12th, 2018 05:14 am

Jatuhnya kota Granada, merupakan salah satu titik balik sejarah Islam terpenting. Peristiwa tersebut menandai hilangnya dominasi kekuasaan Islam dari Andalusia, setelah hampir 800 tahun berkuasa. Kala itu, Granada berada di bawah kekuasaan Daulah Bani Ahmar yang berdiri tahun 1242 M. Sejak pertama kali didirikan, Daulah Bani Ahmar merupakan pemerintahan kaum Muslimin satu-satunya yang tersisa waktu itu di daratan Iberia, dan demikian seterusnya sampai ditaklukkan oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella 250 tahun kemudian.

—Ο—

 

Kita mungkin sering mendengar kisah penaklukan gemilang Tariq bin Ziyad ke semenanjung Iberia pada tahun 711 M. Wilayah taklukan tersebut kemudian membentuk sebuah peradaban yang megah dan dikenal dalam sejarah dengan nama Andalusia. Tapi setelah hampir 800 tahun kemudian, dominasi kaum Muslim terus merosot, hingga akhirnya hanya menyisakan satu wilayah kekuasan terakhir yang yang bernama Granada. Di akhir abad ke 15, sebuah pasukan gabungan tentara Salib berhasil menaklukkan wilayah ini sekaligus mengusir kaum Muslimin dari Semenanjung Iberia.

 

Peta wilayah taklukan kaum Muslimin di Afrika Utara dan Semenanjung Iberia pada abad ke 7-8 M. Sumber gambar: attwiw.com

 

Jatuhnya kota Granada, merupakan salah satu titik balik sejarah Islam terpenting. Peristiwa tersebut menandai hilangnya dominasi kekuasaan Islam dari Andalusia, setelah hampir 800 tahun berkuasa. Meski begitu, asimilasi kebudayaan Muslim-Hispanik selama berabad-abad lamanya, telah melahirkan satu unit kultural yang khas di daratan Eropa, atau yang kita kenal sekarang Spanyol dan Portugal. Hasil asimilasi tersebut hingga kini masih bisa dirasakan baik dalam bentuk tradisi, bentuk bangunan, hingga nalar kreatif masyarakatnya.

Tulisan singkat ini, akan membahas mengenai latar belakang jatuhnya kota Granada. Hingga situasi terakhir yang dihadapi penguasa muslim terakhir di Granada – Sultan Muhammad XII atau dikenal oleh sejarawan barat sebagai Boabdil – sebelum akhirnya dia menyerah secara elegan pada serangan umum pasukan Katholik yang dipimpin oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabela.

Andalusia dan The Reconquista

Kota Granada terletak di kawasan Andalusia, di tepian semenanjung paling selatan benua Eropa.  Sebagaimana pernah diurai oleh salah satu artikel di ganaislamika.com berjudul “Penaklukkan Andalusia”, bahwa wilayah semenanjung ini dikenal dengan berbagai nama. Sebelum abad ke 5 M, wilayah ini disebut dengan Iberia (atau Les Iberes) yang diambil dari nama bangsa Iberia (penduduk tertua di wilayah tersebut). Ketika berada di bawah kekuasaan Romawi wilayah ini dikenal dengan nama Asbania. Pada abad ke 5 Andalusia dikuasai oleh bangsa Vandal yang berasal dari wilayah ini. Sejak saat itu wilayah ini disebut Vandalusia oleh umat Islam yang akhirnya disebut ‘Andalusia’.[1]

Invasi kaum Muslimin ke Semenanjung Iberia atau Andalusia terjadi pada tahun 711. Dengan armada pasukan sekitar 1.700 personil, yang umumnya terdiri dari suku Berber dari Afrika Utara, mereka berhasil dengan cepat melintasi Selat Gibraltar dan mendirikan pangkalan militer sederhana di tepi dataran Iberia. Ketepatan taktik tersebut, memberikan mereka keuntungan lebih dari pasukan Kristen yang pada masa itu sedang terpecah belah oleh persaingan di antara mereka.[2] Hanya sejarak satu dekade selanjutnya, pasukan yang dikomandani oleh Thariq bin Ziyad ini telah berhasil tumbuh pesat menjadi sekitar 50.000 orang, dan berhasil menaklukkan satu persatu wilayah Eropa hingga ke wilayah Perancis modern.

Akan tetapi, seiring dengan gemilangnya penaklukkan kaum Muslimin di Semenanjung Iberia, dalam waktu yang nyaris bersamaan, kesadaran kolektif umat Katholik dan raja-raja lokal di Eropa pun tumbuh. Mereka mulai kembali bersatu dan menyusun barisan untuk merebut kembali tanah mereka yang sudah di rebut. The Reconquista (“penaklukan kembali”), demikianlah mereka menyebut gerakan ini. Dua abad kemudian, atau pada tahun 1099 M, ketika Paus Urban II membakar semangat umat Kristiani untuk merebut kembali tanah suci Yerusalem, istilah ini bertransformasi menjadi “Perang Salib” (Crusade).[3]

Sebagai sebuah ide gerakan, The Reconquista dimulai pada awal 718 atau 722 M, atau hanya sekitar sekitar satu dekade atau kurang setelah invasi awal kaum Muslimin. Tapi sebagai sebuah gerakan nyata, proses The Reconquista memakan waktu hampir 800 tahun, atau hingga jatuhnya kota Granada pada akhir tahun 1491.

 

Panorama Kota Granada dengan ikon terkenalnya Istana Alhambra, terletak di puncak bukit La Sabica. Sumber gambar: Nazari Viajes

 

Kala itu, Granada berada di bawah kekuasaan Daulah Bani Ahmar atau dikenal juga sebagai Bani Nasr. Mereka mendirikan kekuasaan di Kota ini pada tahun 1242 M, oleh rajanya yang pertama bernama Sultan Muhammad bin Al-Ahmar yang masih keturunan Sa’id bin Ubaidah, seorang sahabat Rasulullah saw dari suku Khazraj di Madinah. Sejak pertama kali didirikan, Daulah Bani Ahmar merupakan pemerintahan kaum Muslimin satu-satunya yang tersisa waktu itu di daratan Iberia, dan demikian seterusnya sampai ditaklukkan oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella 250 tahun kemudian.

Menurut Eammon Gaeron, salah satu alasan mengapa Reconquista yang dilakukan para elit Kristen harus memakan waktu selama itu, adalah karena mereka tidak secara intens berusaha menaklukkan imperium-imperuium Islam yang timbul tenggelam berkuasa di wilayah tersebut. Gaeron melanjutkan, terdapat setidaknya dua alasan mengapa itu terjadi: [4]

Pertama, elit-elit Kristen terpecah dalam sejumlah kerajaan-kerajaan kecil. Secara ideologis, mereka memiliki semangat persatuan untuk merebut kembali tanah air mereka. Namun ketika terjadi peningkatan pengaruh salah satu kerajaan, maka itu berarti sedang terjadi penurunan pengaruh di kerajaan lain. Yang mana hal tersebut tentu akan memecah belah barisan mereka. Dengan demikian, untuk menjaga perdamaian dan persatuan tetap berlangsung, mereka lebih memilih untuk menahan diri daripada bergerak sendiri-sendiri dan keluar dari barisan.

Kedua, setelah jatuhnya kekhalifahan Umayyah II di Cordoba pada 1031 M, lebih dari sepertiga wilayah kekuasaannya di Semenanjung Iberia terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil. Ini sebenarnya momentum langka yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan progresifitas gerakan Reconquista. Tapi lagi-lagi, menurut Eammon Gaeron, mereka lebih memilih menerima keuntungan finansial dari adanya kerajaan-kerajaan kecil tersebut, daripada menghancurkannya. (AL)

 

Bersambung…

Runtuhnya Kesultanan Granada: Sebuah Titik Balik Sejarah Islam (2)

Catatan kaki:

[1] Lihat, Serial tulisan berjudul “Penaklukan Andalusia” di ganaislamika.com melalui link berikut: https://ganaislamika.com/penaklukan-andalusia-1/

[2] Lihat, Serial tulisan berjudul “Penaklukan Andalusia” di ganaislamika.com melalui link berikut: https://ganaislamika.com/penaklukan-andalusia-5-perang-melawan-raja-visigoth/

[3] Joseph F. O’Callaghan, Reconquest and Crusade in Medieval Spain, University of Pennsylvania Press, 2003, hal. 3

[4] Lihat, Eamonn Gearon, Turning Points in Middle Eastern History; Course Guidebook, United States of America, The Teaching Company, 2016, Hal. 185

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*