Safiyyah Binti Huyayy (4)

in Tokoh

“Safiyyah Ra telah diambil sebagai budak setelah penaklukan, dan suaminya tewas dibunuh. Bahkan jika Kinana lolos dari kematian dan penawanan, pernikahannya dengan Safiyyah Ra pun dianggap batal di bawah hukum Islam.”

Sumber gambar: kalam.sindonews.com

Ada kritik mengenai pernikahan Nabi Muhammad Saw dengan Safiyyah Ra, yang menyebutkan bahwa dalam kasus Safiyyah ia dinikahi nabi segera setelah kematian suaminya. Para pengkritik menyatakan bahwa sementara dalam Al-Qur’an masa iddah adalah empat bulan sepuluh hari bagi perempuan yang suaminya meninggal. Mereka berpendapat, peraturan tentang masa iddah tidak ditaati oleh Rasulullah Saw.

Penjelasan yang akan dipaparkan setelah ini, akan meluruskan pelbagai kritik yang meragukan mengenai sah tidaknya pernikahan Nabi Muhammad Saw dengan Safiyyah Ra.

Status Safiyyah, Istibra atau Iddah?

Ada beberapa sumber yang menyatakan bahwa status pernikahan Safiyyah dengan Nabi Muhammad Saw tetap sah dan sesuai dengan aturan Islam.

Salah satu sumber menyebutkan, bahwa aturan masa iddah tidak berlaku dalam kasus Safiyyah Ra. Kenapa begitu? Karena masa iddah adalah implikasi dari sebuah pernikahan yang sah di mata hukum Islam.

Safiyyah Ra telah diambil sebagai budak setelah penaklukan, dan suaminya tewas dibunuh. Bahkan jika Kinana lolos dari kematian dan penawanan, pernikahannya dengan Safiyyah Ra pun dianggap batal di bawah hukum Islam.

Jadi dalam kasus Safiyyah, yang relevan bukanlah iddah (masa tunggu) melainkan istibra (membebaskan). Yang artinya memastikan bahwa rahim seorang perempuan telah kosong. Kepastian ini dapat dicapai melalui satu kali haid.

Anas bin Malik meriwayatkan, “… Nabi memilihnya untuk dirinya sendiri, dan berangkat bersamanya, dan ketika kami tiba di sebuah tempat yang disebut Sadd al-Sahba’, Safiyyah telah menjadi halal (yaitu bersih dari haidh) dan Rasulullah menikahinya.”

Adapun riwayat lain dari Anas bin Malik, yakni ia meriwayatkan, “Rasulullah menghindari (berhubungan intim dengan) Safiyyah hingga ia terbebas dari haid.”[1]

Oleh karena itu, aturan masa iddah yang disebutkan dalam Al Quran tidak diterapkan pada kasus-kasus yang tidak menyangkut hubungan intim yang diakui secara formal.

Dari uraian al-Jassas, ia meriwayatkan sebagai berikut:

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ahli hukum daerah tentang kewajiban istibra bagi seorang tawanan, menurut apa yang telah kami sebutkan, kecuali bahwa al-Hasan bi Shalih mengatakan bahwa masa tunggu adalah dua siklus haid jika dia memiliki suami di wilayah Dar al-Harb (non Islam). Dan kesejahteraan dilimpahkan di antara mereka yang memiliki suami di antara mereka dan mereka yang tidak memiliki suami, karena masa tunggu hanya wajib di tempat tidur.

“Abi Saeed yang saya sebutkan, jika masa tunggu mereka berakhir, maka dia menjadikannya sebagai ‘iddah. Dikatakan kepadanya bahwa kata ini mungkin berasal dari kata-kata perawi sebagai interpretasi darinya tentang Istibra bahwa itu adalah ‘iddah’, dan mungkin saja ‘iddah, sejak asalnya adalah perkiraan kandungan, adalah nama ‘Iddah dulu berarti Istibra’ secara kiasan.”[2]

Sedangkan sumber lain mengatakan, bahwa masa iddah bagi perempuan yang bercerai (sesuai syariat Islam) adalah selama sembilan puluh hari. Akan tetapi, jika perempuan tersebut masih dalam kondisi produktif, masa iddah dihitung dari tiga kali periode haid. Karena, siklus datang bulan setiap perempuan itu berbeda-beda.

Lalu bagaimana jika perempuannya adalah seorang budak yang dinikahi, dan diceraikan? Masa iddah-nya adalah selama dua kali periode datang bulan. Hal ini pun berlaku untuk ‘kawin kontrak’ atau yang disebut muth’ah.

Sedangkan jika perempuan tersebut adalah budak yang dibeli dari pasar perbudakan (ini mengacu pada zaman sebelum dihapuskannya perbudakan) atau tawanan perang, maka bagi laki-laki yang ingin menikahinya harus menunggu selama satu periode datang bulan.[3]

Maka esensi dari masa iddah adalah pengukuhan atas pembebasan (bersihnya) rahim, bahkan bagi seorang perempuan yang tak diakui haknya secara resmi. Kata iddah dengan demikian dapat digunakan untuk pembebasan dari haid (dalam kasus seorang tawanan perempuan).

Beberapa sumber menyatakan bahwa pasca peperangan Khaybar, Safiyyah Ra sedang dalam masa siklus bulanannya.

Di mana sebelum pernikahan, Nabi Muhammad Saw mempercayakan Safiyyah Ra dalam asuhan Ummu Sulaimra (seorang wanita yang berasal dari keluarga Anshar). Sehingga ketika masa penantian haidnya berakhir, Ummu Sulaimra bisa mempersiapkan pernikahan Safiyyah Ra dengan Nabi Muhammad Saw.[4]

Dapat disimpulkan bahwa Safiyyah Ra tinggal bersama Ummu Sulaimra, hingga masa iddah selesai. Dengan kata lain, penggunaan kata iddah dalam arti kiasan yang longgar.

Bersambung …

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Waqaar Akbar Cheema, Two Issues Around Prophet Muhammad’s Marriage With Safiyya, pada laman https://www.icraa.org/two-issues-around-prophet-muhammads-marriage-with-safiyya/#_ftn11 diakses pada 12 Juni 2023

[2] Ibid.

[3] Thaqlain, Safiyya bint Huyayy’s Jewish Background & Her Love for the Prophet, pada laman https://www.youtube.com/watch?v=Ku-fTviowfs&list=PLOXzVYnjThorUIEtu2YYLNRMq6CBgUOu3&index=25 diakses pada 10 Mei 2023

[4] The Review of Religion, The Noble Wives of The Holy Prophetsa – Hazrat Safiyyahra Part 1, pada laman https://www.reviewofreligions.org/9733/the-noble-wives-of-the-holy-prophetsa-hazrat-safiyyahra-part-1/ diakses pada 12 Juni 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*