Safiyyah Binti Huyayy (5)

in Tokoh

“Lalu Safiyyah menjawab, sebelum perang Khaybar ia mengalami sebuah mimpi, bahwa bulan jatuh ke pangkuannya.”

Sumber foto: shutterstock

Pasca peperangan Khaybar, dan sebelum pernikahan berlangsung, Safiyyah Ra sudah merasakan kebaikan juga kebijaksanaan Nabi Muhammad Saw terhadapnya. Alih-alih memperlakukan Safiyyah semena-mena, justru Rasulullah begitu lembut dan baik hati.

Pernikahan dengan Rasulullah

Safiyyah Ra ikut bersama Nabi Muhammad menuju ke Madinah pasca peperangan usai. Saat jarak masih dekat dengan Khaybar, Rasulullah mengutarakan pada Safiyyah untuk melaksanakan pernikahan. Namun, Safiyyah menolak permintaan tersebut. Rasulullah tidak mengatakan apa pun, akan penolakan Safiyyah.

Begitu mencapai Sadul Sahbaa’—sekitar 9 km dari Khaybar, Safiyyah menyetujui pernikahan dilangsungkan. Rasulullah bertanya pada Safiyyah, “Kenapa kau menolak (pernikahan) di peristirahatan pertama?” Lalu Safiyyah menjawab, “Ya Rasulullah, aku takut akan keselamatanmu. Karena di sana terlalu dekat dengan (wilayah) para Yahudi.” Rasulullah menghargai dan menghormati keputusan Safiyyah atas alasannya tersebut.[1]

Selama di Sadul Sahbaa’, Rasulullah tinggal di sana selama tiga malam. Ummu Sulaimra mempersiapkan Safiyyah, dengan persetujuan dan kebahagiaannya, untuk melaksanakan pernikahan dan walimahan.

Menurut adat istiadat pada masa itu, aturan cadar bagi budak perempuan tidak terlalu ketat. Namun, untuk para istri nabi jauh berbeda (lebih tertutup). Rasulullah pun meminta Safiyyah untuk mengenakan cadar seperti yang dilakukan oleh istri-istrinya. Tindakan ini telah dianggap cukup sebagai sebuah pengumuman untuk pernikahan.[2]

Pernikahan Nabi Muhammad Saw dan Safiyyah, tertuang dalam hadis. Anas bin Malik meriwayatkan, “Rasulullah tinggal selama tiga hari di sebuah tempat di antara Khaybar dan Madinah, dan di sana beliau melangsungkan pernikahannya dengan Safiyyah binti Huyayy.

“Aku mengundang kaum Muslimin ke sebuah perjamuan yang tidak termasuk daging dan roti. Rasulullah memerintahkan untuk menghamparkan lembaran-lembaran kulit, lalu kurma, yogurt kering, dan mentega disediakan di atasnya, dan itulah Walimah (perjamuan) Nabi.

“Kaum Muslimin bertanya apakah Safiyyah akan dianggap sebagai istrinya atau sebagai budak wanita yang dimiliki oleh tangan kanannya. Kemudian mereka berkata, ‘Jika Rasulullah memisahkannya dari orang-orang, maka dia adalah istri Rasulullah, tetapi jika dia tidak memisahkan, maka dia adalah seorang budak wanita’.

“Maka ketika Rasulullah melanjutkan perjalanan, beliau menyediakan tempat baginya (di atas unta) di belakangnya dan memisahkannya dari orang-orang.” (HR. Bukhari)

Pandangan Safiyyah terhadap Nabi dan Huyayy

Ada satu waktu sebelum berangkat ke Madinah, Safiyyah mendatangi Rasulullah di tendanya. Di saat itu Rasulullah melihat memar di mata Safiyyah, dan bertanya apa yang menyebabkannya.

Lalu Safiyyah menjawab, sebelum perang Khaybar ia mengalami sebuah mimpi, bahwa bulan jatuh ke pangkuannya. Safiyyah menceritakan mimpinya pada Kinanah—suaminya (beberapa sumber lain mengatakan, Safiyyah menceritakan kepada sang ayah). Lalu Kinanah menampar Safiyyah, karena berharap menikahi Rasulullah.

Mimpi Safiyyah dianggap bahwa ia akan memiliki hubungan dengan Nabi. Bahkan kabilah Bani an-Nadhir menyebut Nabi sebagai Raja Yatsrib, karena tidak mau mengakui kenabian Rasulullah. Begitu bencinya, sehingga mimpi Safiyyah dianggap sebagai sebuah pertanda buruk. Karena mimpi yang berkaitan dengan bulan, mereka identikkan dengan Raja Yatsrib.

Ibnu Umar menjelaskan mengenai perihal ini. Ia meriwayatkan, “Ada bekas luka berwarna hijau di mata Safiyyah. Rasulullah bertanya kepadanya, ‘Bekas luka apa ini di matamu?’

“Dia berkata, ‘Aku menceritakan mimpiku kepada suamiku bahwa bulan jatuh ke pangkuanku, lalu dia menamparku dan berkata, ‘Apakah engkau merindukan Raja Yatsrib (Rasulullah)?’

“Ia berkata, ‘Tidak ada orang yang yang lebih aku benci selain Rasulullah karena ia memerintahkan membunuh ayah dan suamiku’ (pada Kinanah). Namun, Rasulullah terus menjelaskan, ‘Safiyyah! Ayahmu menghasut orang-orang Arab untuk memusuhiku dan melakukan ini dan itu. Beliau terus melakukan hal itu hingga semua perasaan benciku kepadanya lenyap’.”[3]

Saffiyah menyatakan kebenciannya, karena ia belum bertemu dengan Nabi Muhammad. Seolah-olah bahwa Nabi yang hendak ‘menyerang’ keluarganya. Namun, justru Huyayy yang berkhianat.

Safiyyah mengatakan bahwa sang ayah mendapatkan hasil dari perbuatannya sendiri. Ia menyadari bahwa Rasulullah bukanlah orang yang harus dibenci, melainkan dicintai dan diikuti. Safiyyah yang berpikiran adil dan terbuka membuktikan bahwa ia tak hanya beruntung, tetapi ia pun mendapatkan bukti dari kebenaran.

Sumber lain mengatakan, setelah Nabi Muhammad Saw dan Safiyyah Ra menikah, barulah perihal mimpi itu dikemukakan. Di mana Rasulullah bisa melihat dengan jelas wajah Safiyyah, dan melihat ada memar di wajahnya. Setelah Safiyyah menceritakan perihal mimpinya tersebut, Rasulullah pun bersabda, “Rupanya engkau dianugerahi kerajaan yang ada di Madinah.”[4]

Bersambung …

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Islamweb, Safiyyah bint Huyayy: Descendants of Prophets, pada laman https://www.islamweb.net/en/article/177531/safiyyah-bint-huyayy-descendant-of-prophets diakses pada 12 Juni 2023

[2] Waqaar Akbar Cheema, Two Issues Around Prophet Muhammad’s Marriage With Safiyya, pada laman https://www.icraa.org/two-issues-around-prophet-muhammads-marriage-with-safiyya/#_ftn11 diakses pada 12 Juni 2023

[3] Waqaar Akbar Cheema, Two Issues Around Prophet Muhammad’s Marriage With Safiyya, pada laman https://www.icraa.org/two-issues-around-prophet-muhammads-marriage-with-safiyya/#_ftn11 diakses pada 12 Juni 2023

[4] Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Makhtum, Bahtsun Fis-Sirah An-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shalati Was-Salam, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi, Sirah Nabawiyah (Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 494

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*