“Pada awalnya, dia hanya mengenali kebenaran, kemudian mencicipi cita rasanya, lalu membuat keputusan; saat ini Salman sudah masuk pada tahap mencintai rasa ingin taunya. Hukuman yang diberikan ayahnya, hanya menjadi jedah waktu yang mematangkan rasa cinta tersebut. Dan ketika waktu yang ditunggu telah tiba, maka bergegaslah ia menjemput takdirnya.”
—Ο—
Tidak ada yang bisa menyampaikan kisah hidup Salman Al Farisi lebih tepat sebagaimana beliau sendiri menyampaikannya. Kisah perjalan Salman mencari kebenaran tercatat rapih dalam riwayat hadist Imam Ahmad bin Hambal.[1] Tulisan ini selanjutnya akan mengacu pada riwayat tersebut.
Salman menceritakan kisahnya kepada salah seorang sahabat dan keluarga dekat Nabi Muhammad SAW yang bernama Abdullah bin Abbas, yang kemudian menceritakannya kembali kepada yang lainnya. Ibnu Abbas berkata: Salman berkata, “Aku seorang dari bangsa Persia yang berasal dari Isfahaan dari sebuah desa yang dikenal dengan nama Jayyun. Ayahku adalah kepala desa. Baginya, aku adalah mahluk Allah yang paling dicintainya. Cintanya kepadaku sampai pada batas dimana dia mempercayaiku untuk mengawasi api yang dia nyalakan. Dia tidak akan membiarkannya mati.”
Salman lahir dari keluarga ningrat di Persia. Putra seorang pendeta terhormat yang dipercaya menjaga api yang menjadi sembahan mereka, agar tidak padam. Kedudukan ini adalah yang paling mulia di kaumnya. Karena hanya orang-orang khusus saja yang bisa dipercaya untuk memastikan sembahan tersebut tidak akan padam. Dan Salman, sejak usia dini sudah dipercaya untuk melaksanakan tugas berat tersebut.
Salman lalu melanjutkan kisahnya:
“Ayahku memiliki areal tanah subur yang luas. Suatu hari, ketika dia sibuk dengan pekerjaannya, dia menyuruhku untuk pergi ke tanah itu dan memenuhi beberapa tugas yang dia inginkan. Dalam perjalanan ke tanah tersebut, saya melewati gereja Nasrani. Saya mendengarkan suara orang-orang shalat di dalamnya. Saya tidak mengetahui bagaimana orang-orang di luar hidup, karena ayahku membatasiku di dalam rumahnya! Maka ketika saya melewati orang-orang itu (di gereja) dan mendengarkan suara mereka, saya masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan.”
“Ketika saya melihat mereka, saya menyukai shalat mereka dan menjadi tertarik terhadapnya (yakni agama). Saya berkata (kepada diriku), ‘Sungguh, agama ini lebih baik daripada agama kami’”. “Saya tidak meninggalkan mereka sampai matahari terbenam. Saya tidak pergi ke tanah ayahku.”
Kita tentu tidak mungkin menerima dalil bagaimana seseorang terpikat pada kebenaran hanya melalui cara peribadatan dalam tataran fisik. Bisa dipastikan, ada satu konstruksi pemikiran yang hancur pada saat Salman menyaksikan cara peribadatan kaum Nasrani. Pada titik ini, keraguan mulai muncul di hati Salman atas agama nenek moyangnya. Kemudian ia memulai langkah pencariannya melalui segudang pertanyaan. Bisa jadi hal tersebut lahir dari akal yang terlatih untuk mencermati kebutuhan batin hingga objektifikasinya ke alam fisik. Ada sesuatu yang salah secara fundamental atas semua hal yang dilakukan oleh dia, ayahnya dan nenek moyangnya. Sebagai contoh, bagaimana mungkin seorang penyembah menjaga sembahannya agar tidak padam? Bukankah sesuatu disembah karena sifat PemeliharaanNya? Dan mungkin masih banyak lagi sederet pertanyaan kritis yang muncul di benak Salman sejak lama, lalu tiba-tiba menemukan antitesanya secara gamblang. Dari sinilah kegundahan itu muncul.
Beliau melanjutkan kisahnya:
“Saya bertanya (yakni kepada orang-orang di gereja), ‘Darimana asal agama ini?” Mereka menjawab: ‘Dari Syam’.
Pertanyaan ini sangat mungkin adalah pertanyaan terakhir, setelah puluhan bahkan mungkin ratusan pertanyaan sebelumnya yang tidak dikisahkan. Karena pertanyaan ini lebih mengisyaratkan sebuah tujuan, daripada hanya sekedar pemuas keingintahuan. Ada sebuah struktur pemahaman yang sudah teracik apik dalam dirinya yang kemudian menemukan pembuktiannya, sehingga melahirkan sebuah keputusan yang sangat mendasar. Bisa jadi sebagian konklusi-konklusi tersebut sudah ditemukan sejak lama dalam dirinya, hasil sebuah kedisiplinan tinggi menjaga nalar, hingga mampu mencicipi cita rasa kebenaran yang membuatnya berani mengambil keputusan besar.
Kemudian saya kembali kepada Ayahku yang sedang khawatir dan mengirim (seseorang) untuk mencariku. Ketika saya tiba dia bertanya. “Wahai anakku! Dari mana engkau? Bukankah aku mempercayakanmu untuk sebuah tugas?” Saya berkata, “Wahai ayah, saya melewati orang-orang yang sedang shalat dalam gereja mereka dan saya menyukai agama mereka. Saya tinggal bersama mereka sampai matahari terbenam.”
“Ayahku berkata, ‘Wahai anakku! Tidak ada kebaikan pada agama itu, agamamu dan agama ayahmu dan agama nenek moyangmu lebih baik.’”
“Saya berkata, ‘Tidak, demi Allah, ini lebih baik dari agama kita.’”
Salman berkata, “Dia mengancamku, merantai kedua kakiku dan memenjarakanku di rumahnya.”
Ia berkata, “Saya mengirimkan pesan kepada kaum Nasrani tersebut meminta mereka memberi kabar akan kedatangan para pedagang Nasrani dari Syam. Rombongan pedagang tiba dan mereka mengabariku, maka kukatakan (kepada orang-orang Nasrani tersebut) untuk memberi tahu kapan rombongan pedagang itu menyelesaikan urusannya dan bergerak kembali ke negerinya. (Lalu) saya dikabari (oleh mereka) ketika orang-orang Syam telah menyelesaikan perdagangan mereka dan bersiap-siap untuk kembali ke negerinya, maka saya lepaskan rantai dari kakiku dan mengikuti rombongan itu sampai tiba di Syam.”
Rasa cinta pada kebenaran sepertinya sudah demikian merasuk pada diri Salman. Dari sebelumnya dia hanya mengenali kebenaran, kemudian mencicipinya, lalu membuat keputusan; saat ini Salman sudah masuk pada tahap mencintai rasa ingin taunya. Hukuman yang diberikan ayahnya, hanya menjadi jedah waktu yang mematangkan rasa cinta tersebut. Dan ketika waktu yang ditunggu telah tiba, maka bergegaslah ia menjemput takdirnya. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Secara lengkap dapat merujuk pada Hadits Ahmad No.22620. Hadist ini berisi pengisahan Salman secara lengkap tentang asal usulnya.