Saat Husein dioperasi, tiba-tiba listrik padam. Para perawat dalam bahasa Belanda menyatakan bahwa kemungkinan besar dia takkan terselamatkan.
Dalam perjalanan pulang dari Penang Malaysia ke kampung halamannya di Surabaya, Husein al-Habsyi pergi bersama istri dan putrinya, Khadijah, yang baru bisa jalan merangkak. Husein dan istrinya mesti rela meninggalkan anak sulung mereka yang wafat akibat trauma peperangan.
Keluarga kecil ini berpindah-pindah dari satu penampungan ke penampungan lain. Mereka lantas singgah dan menetap di Palembang, di rumah Habib Abdullah Assegaf yang sekaligus kakak ipar Husein. Dalam perjalanan yang panjang dan melelahkan itu, sakit paru-parunya tak kunjung mereda, bahkan semakin parah.
Di Surabaya, ibu dan pamannya menunggu kepulangan Husein dan keluarga kecilnya dengan harap-harap cemas. Tersiar kabar buruk bahwa kapal yang mengangkut keluarga ini dibom tentara Jepang dan terbakar. Kontan keluarganya di Surabaya dirundung kegalauan luar biasa.
Pamannya yang juga menjadi pengasuhnya sejak kecil, Muhammad bin Salim Baraja, segera menemui Habib Alwi bin Ali di Solo. Sepupu Husein yang juga dikenal ahli ibadah itu pun menenangkan keluarga Husein yang jauh-jauh datang dari Surabaya itu.
Habib Alwi kemudian meminta pamannya itu untuk segera pulang dan menjemput keponakan dan keluarganya di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Dan benar saja, keluarga itu pun sampai di pelabuhan dengan selamat.
Operasi Paru-Paru
Dari usia yang masih sangat belia, Husein sudah terbiasa merokok. Ada yang mengatakan bahwa dia merokok dari sejak tingkat Sekolah Dasar, jika jenjang pendidikan pada masa itu dikonversi ke masa kini.[1]
Pada masa itu segala regulasi terkait rokok yang dikonsumsi anak-anak memang belum ada, dan jika pun sudah ada tentunya itu masih sangat longgar jika dibandingkan sekarang. Yang pasti, pada tahun 1930-an, industri rokok di Indonesia memang sedang berkembang pesat dan ngetren.
Industri ini adalah satu-satunya industri di Indonesia yang dimiliki oleh pribumi, yang dari hulu ke hilir seluruh bahan bakunya berasal dari orang-orang pribumi.[2] Mungkin karena faktor-faktor ini jugalah yang membuat Husein dari sejak belia sudah mulai merokok.
Hingga pada usia dewasanya, sebelum sakit dia terbiasa menghabiskan empat hingga lima bungkus rokok per harinya. Meski demikian, penyakit paru-paru yang diderita Husein tidak dapat dikonfirmasi apakah berasal dari rokok atau bukan, sebab pada masa itu penyakit TBC memang sedang melanda dunia, dan kakak beradik Ali dan Husein diduga terserang penyakit ini.[3]
Hingga setelah Husein tiba di Surabaya, dia langsung dipersiapkan untuk segera berobat. Beberapa orang menyarankannya untuk bergegas ke RS Sanatorium Batu, Malang, untuk memeriksa keadaan paru-parunya.
Sementara itu, Ali, kakak Husein, karena sudah lebih parah sakitnya dan sudah tidak bisa ke mana-mana lagi, dia dikondisikan untuk berobat di Surabaya. Sayangnya Ali sudah tidak tertolong lagi dan akhirnya meninggal di Surabaya.[4]
Sementara itu Husein tetap berangkat ke Malang dan akhirnya tiba di rumah sakit khusus paru-paru itu (kini Rumah Sakit Karsa Husada). Di sana, dokter Belanda mendiagnosis bahwa paru-paru Husein sudah dalam keadaan yang sangat buruk.
Beberapa bagian paru-paru Husein dikatakan telah memiliki rongga-rongga yang terlalu parah sehingga perlu diangkat dan digantikan dengan paru-paru orang lain atau alat bantu dari bahan plastik tertentu.
Husein setuju untuk dioperasi paru-parunya, namun dia menolak untuk ditransplantasi paru-paru orang lain atau jika nantinya dia mesti memakai alat bantu dari bahan plastik itu. Dokter memberinya peringatan, jika Husein tidak menyetujui cara ini maka paling lama usianya hanya dua tahun lagi.
Pada akhirnya operasi tetap dilaksanakan, dokter mengambil keputusan bahwa hanya sebagian dari paru-paru Husein yang sudah terlampau parah kerusakannya saja yang akan diangkat.
Saat operasi berlangsung, tiba-tiba listrik padam. Para perawat dalam bahasa Belanda menyatakan bahwa kemungkinan besar pasien yang sedang mengalami pendarahan serius itu takkan terselamatkan.[5] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Wawancara dengan Musa Kazhim al-Habsyi, salah satu putra Husein al-Habsyi, pada 7 Mei 2021.
[2] “Rokok Kretek, Penopang Ekonomi di Zaman Belanda”, dari laman https://finance.detik.com/industri/d-2539151/rokok-kretek-penopang-ekonomi-di-zaman-belanda, diakses 20 Mei 2021.
[3] Wawancara dengan Musa Kazhim al-Habsyi, Loc.Cit.
[4] Wawancara dengan Ali Ridho al-Habsyi, salah satu putra Husein al-Habsyi, pada 13 Oktober 2020.
[5] Wawancara dengan Wardah al-Kaff, istri ketiga Husein al-Habsyi, pada 11 Mei 2021.
Guruku orang tuaku, pelajaran yang luar biasa dan menjadi renungan, haramnya merokok, ini harapan beliau untuk melahirkan generasi yang sehat dan kuat, karena dari pengalaman kesehatan beliau, dan meharamkannya merokok dari pesan dawahnya, Allah berkah kan Usianya, terimakasih kepada sang penulis kisah satu Abad Guruku orang tuaku tercinta Habibuna Ustadz Husain Alhabsy, sangat berharga buat kami, pada masa hidup beliau saya merasakan kasih sayang dan masih terbayang diruang mata.