Mozaik Peradaban Islam

Satu Abad Pejuang Toleransi Ustadz Husein al-Habsyi (4): Mengembara ke Malaysia, Menikah, dan Pecahnya Perang Dunia II

in Tokoh

Last updated on May 25th, 2021 02:20 pm

Tentara Jepang mengebom Malaysia. Akibat trauma perang yang terjadi kala itu, putra sulung Husein, Muhammad, meninggal dunia sebelum berusia 2 tahun.

Tentara Jepang pada tahun 1940. Foto: Keystone, Hulton Archive/Getty Images

Setelah lulus dari Madrasah al-Khairiyah dengan usia yang masih sangat muda, Husein al-Habsyi bersama kakaknya, Ali al-Habsyi, diminta untuk mengajar di almamaternya tersebut. Ini adalah sebuah prestasi yang jarang ditemukan pada anak-anak semuda itu, baik pada masa itu maupun pada masa-masa yang mendatang.[1]

Tidak lama berselang, dua bersaudara ini atas restu dari ibu mereka bersama-sama mengembara ke Johor, Malaysia, untuk melanjutkan studi mereka. Waktu itu usia Husein baru sekitar 15 atau 16 tahun. Di sana mereka berguru kepada al-Habib Alwi bin Thahir al-Haddad.

Habib Alwi adalah seorang ulama besar yang terkenal dengan segudang wawasan Islamnya yang mendalam. Beliau juga dikenal menguasai studi-studi Islam dari jalur Thariqah Alawiyah. Karena keluasaan dan kedalaman ilmunya, Habib Alwi lantas diminta menjadi mufti kerajaan Johor, yang saat itu masih meliputi wilayah Singapura.

Setelah menimba ilmu dari Habib Alwi bin Thahir, Husein diminta mengajar di Madrasah al-Attas milik Habib Hasan al-Attas, Johor. Di sini dia dan kakaknya mengajar cukup lama, sehingga murid-muridnya kemudian menyebar ke berbagai daerah di Malaysia.

Tidak sedikit pula dari murid-murid itu yang kemudian menjadi dai dan tokoh penting di negeri jiran tersebut. Termasuk di antara mereka adalah Sayid Ja’far Albar, politisi yang sekaligus ayah dari mantan Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Dalam Negeri Malaysia, Hamid Albar. Di masa ini, Husein juga mengajar di komplek keluarga besar al-Kaff di Singapura.

Dengan demikian, jika kita melihat awal karir Husein di sini, dia berangkat dari seorang pendidik. Meskipun nantinya Husein menjalani berbagai profesi lainnya seperti aktivis pergerakan, politisi, dan anggota legislatif, namun pada hakikatnya dia memiliki kepribadian sebagai seorang pendidik, bahkan hingga akhir hayatnya.

Sesudah mengajar di Johor dan Singapura, Husein pindah ke Pulau Pinang, Malaysia, dan menikah dengan putri pamannya yang bernama Fatimah binti Abdurrahman al-Habsyi. Mereka pun menetap dan tinggal di sana untuk beberapa saat.

Dari pernikahannya dengan Fatimah, Husein kelak dikaruniai delapan orang anak. Yang pertama bernama Muhammad meninggal dunia dalam usia balita. Tujuh lainnya adalah Khadijah, Abu Bakar, Muhammad Nasir, Ruqaiyah, Ali Ridho, dan putra putri kembar Maryam dan Musa. Musa meninggal saat lahir.[2]

Pada masa-masa Husein sedang di Malaysia, dunia sedang bergejolak. Pada September 1940, Jepang menandatangani Pakta Tripartit dengan Nazi Jerman dan Fasis Italia, di mana mereka setuju untuk saling membantu jika ada di antara mereka yang diserang oleh negara yang belum terlibat dalam Perang Dunia II.

Pada 7 Desember 1941, pesawat Jepang membombardir pangkalan angkatan laut Amerika Serikat (AS) di Pearl Harbor dekat Honolulu, Hawaii. Mereka menghancurkan atau melumpuhkan 18 kapal dan menewaskan hampir 2.500 orang. AS mengumumkan perang satu hari kemudian.

Dalam tujuh bulan berikutnya perang terus berlanjut, Jepang menduduki Hindia Belanda, Singapura Britania, New Guinea, Filipina, dan sejumlah lokasi lain di Asia Tenggara dan Pasifik.[3]

Pada 11 Desember 1941, tentara Jepang mulai mengebom Pulau Pinang, tempat di mana Husein dan keluarganya tinggal. Pertempuran dahsyat pun meletus antara tentara negara-negara Persemakmuran yang terdiri atas Inggris, India, Australia, dan penduduk Melayu dari pasukan Negeri-negeri Melayu Bersekutu dengan tentara Kekaisaran Jepang. Akibatnya, Pinang menjadi ajang perang terbuka.[4]

Situasi ini menyebabkan keluarga Husein mengalami pelbagai kesulitan yang luarbiasa. Akibat trauma perang yang terjadi kala itu, putra sulungnya, Muhammad, meninggal dunia sebelum berusia 2 tahun.

Musibah ini menyebabkan keluarga Husein mengalami kesedihan yang berlarut. Apalagi tidak lama setelah itu, Husein pun jatuh sakit kronis. Diduga kuat saat itu dia dan kakaknya, Ali, mengalami infeksi paru-paru yang akut. Ada juga yang menduga kedua bersaudara itu terkena TBC yang kala itu melanda dunia. Dia pun meminta tentara Jepang untuk mengevakuasi dirinya dan keluarganya pulang ke kampung halamannya di Surabaya.[5] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] HM. Attamimy, Habib Husein al-Habsyi: Ihwal Hidup, Karya, dan Pemikiran (Grha Guru: Yogyakarta, 2009), hlm 15.

[2] Wawancara dengan Ali Ridho al-Habsyi, salah satu putra Husein al-Habsyi, pada 13 Oktober 2020.

[3] History, “Hirohito”, dari laman https://www.history.com/topics/world-war-ii/hirohito-1#section_3, diakses 25 April 2021.

[4] “The Japanese Occupation in Penang, 1941-1945”, dari laman http://www.penangstory.net.my/chines-content-paperdavidng.html, diakses 25 April 2021.

[5] Wawancara dengan Ali Ridho al-Habsyi, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*