Mozaik Peradaban Islam

Satu Abad Pejuang Toleransi Ustadz Husein al-Habsyi (3): Di Bawah Asuhan Guru-Guru Besar

in Tokoh

Last updated on April 29th, 2021 02:50 pm

Pada usia 12 tahun Husein al-Habsyi telah mampu membaca kitab Shahih Bukhori dan Ihya Ulumuddin karya Abu Hamid Al-Ghazali bersama para ulama termasyhur di Jawa Timur.

Setelah Husein kecil diambil oleh Muhammad bin Salim Baraja, yaitu paman dari pihak ibunya, dia memasukkan Husein ke Madrasah al-Khairiyah di Surabaya. Dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari rumahnya, Husein kecil setiap hari harus berjalan kaki ke sekolahnya.[1]

Keadaan pada masa itu serba sulit, namun Husein al-Habsyi pada usianya yang masih belia, yaitu 10 tahun, menunjukkan keinginan yang begitu kuat untuk berprestasi. Dia selalu mengikuti pengajian rutin yang berada di luar jam sekolah. Dia aktif mengikuti pengajian yang membahas masalah-masalah fiqih, tauhid, dan lainnya.[2]

Berkat kercerdasannya pula pada usia-usia ini Husein telah menguasai bahasa Arab, sehingga pada usia 12 tahun dia telah mampu membaca dan membahas literatur-literatur yang berbahasa Arab. Kepada pamannya, Muhammad bin Salim Baraja, Husein juga seringkali melakukan aktivitas sorogan.[3]

Sorogan berasal dari bahasa Jawa sorog yang artinya “menyodorkan”. Dalam pengajaran sorogan para santri satu persatu menghadap dan membacakan kitab di hadapan kiai atau ustadz. Kiai atau ustadz tersebut lalu langsung mengecek keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun bahasa.[4]

Menurut keterangan dari salah satu putra Husein al-Habsyi, suatu waktu ayahnya itu bercerita kepada anak-anaknya, bahwa ibunda Husein, yaitu Syifa binti Salim Baraja, juga memberikan pengaruh yang begitu kuat dalam pendidikannya.

Menurut Husein, ibunya adalah adalah orang yang keras dan penuh disiplin. Dia senantiasa mendidik anak-anaknya dari sejak kecil agar salat tepat waktu dan selalu rajin dalam mengerjakan segala sesuatu. Syifa binti Salim Baraja kemudian wafat pada tahun 1973.[5]

Syifa binti Salim Baraja waktu itu masih tinggal serumah dengan adiknya, Muhammad bin Salim Baraja, sehingga dia memiliki kesempatan untuk tetap dapat mendidik Husein meskipun pengasuhan inti berada di bawah adiknya itu. Anak-anak Muhammad bin Salim Baraja pun kelak ketika dewasa nanti menapak karir menjadi orang-orang yang sangat sukses di era kemerdekaan, meskipun tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengikuti jejak ayah mereka untuk menjadi seorang Ustadz.[6]

Selain kepada pamannya, Husein juga belajar membaca kitab-kitab berbahasa Arab kepada ulama-ulama besar pada masa itu, di antaranya adalah al-Habib Abdul Qadir Bilfaqih (seorang ulama besar dan ahli hadis), al-Habib Muhammad Ba’bud, Syaikh Muhammad Robah Hassuna (seorang ulama dari Qolqiliya, Tepi Barat, Palestina, yang berkhidmat mengajar di madrasah al-Khairiyah), dan Sayyid Muhammad Muntasir al-Kattani (ulama asal Maghrib, Maroko).[7]

Sedikit catatan mengenai al-Habib Abdul Qadir Bilfaqih, dia juga adalah guru dari mufasir kontemporer Indonesia Quraish Shihab, pengarang Kitab Tafsir al-Mishbah. Pada masa pendidikannya, Quraish Shihab sempat selama dua tahun nyantri di Pesantren Dar al-Hadits al-Faqihiyah Malang di bawah bimbingan langsung dari ahli hadis sekaligus pimpinan pesantren, al-Habib Abdul Qadir Bilfaqih.[8]

Salah satu guru Husein al-Habsyi, ulama besar pada masa itu, Habib Abdul Qadir Bilfaqih. Foto: gomuslim.co.id

Buah dari kerja keras Husein tersebut adalah, masih pada usia 12 tahun itu, dia telah mampu membaca kitab Sahih Bukhori dan Ihya Ulumuddin karya Abu Hamid al-Ghazali bersama para ulama termasyhur di Jawa Timur.

Para ulama di era itu lazim mengadakan kajian rutin membaca kitab-kitab kuning seperti Sahih Bukhori dan Ihya. Di majelis-majelis itu biasanya pelajar ilmu agama yang masih muda menguji kemampuan bahasa Arabnya dengan membaca di hadapan sang guru. Lalu guru itu akan mengoreksi bacaan, mengurai kaidah-kaidah tata bahasa dan memberikan syarah (komentar) seperlunya.

Terkadang di majelis-majelis itu pula seorang ulama menuturkan sanad versi lain dari hadis yang terkenal dan termaktub dalam kitab-kitab hadis sahih. Inilah tempat seorang pelajar agama muda, seperti Husein, memperoleh informasi-informasi unik dari seorang ulama yang telah ditransmisikan secara turun-temurun melalui jalur yang khas.[9]

Madarasah al-Khairiyah, tempat Husein sekolah itu, didirikan dari sejak tahun 1893 di Surabaya oleh Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor (1863-1926). Dia adalah seorang ulama kelahiran Desa Quwaireh Dau’an al-Ayman, Hadhramaut, Yaman.

Habib Muhammad al-Muhdhor yang juga menantu dari Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi ini memulai karir dakwahnya di Indonesia di kota Bondowoso, Jawa Timur. Semasa hidupnya dia dikenal sebagai seorang yang berakhlak, berilmu, dan berpengalaman tinggi, sehingga hal itulah yang kemudian mendorongnya untuk mendirikan Madarasah al-Khairiyah.[10]

Madarasah al-Khairiyah didirikan pada tahun 1893. Foto: Tangkapan layar saluran YouTube Yayasan al-Khairiyah

Madarasah al-Khairiyah, yang merupakan salah satu lembaga pendidikan diniah tertua di Surabaya, bagaimanapun turut mencetak alumni-alumni berkualitas pada masa itu, selain Husein al-Habsyi. Di antara lulusan-lulusannya yang memiliki nama besar adalah Abdurrahman Baswedan, atau lebih populer dengan nama A.R. Baswedan, yang telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia pada 8 November 2018 atas jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.[11] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] HM. Attamimy, Habib Husein al-Habsyi: Ihwal Hidup, Karya, dan Pemikiran (Grha Guru: Yogyakarta, 2009), hlm 14-15.

[2] Ibid., hlm 15.

[3] Wawancara dengan putra almarhum Muhammad bin Salim Baraja, Abdullah Baraja, pada 8 Maret, 2021.

[4] Dalam arti lain, sorogan artinya belajar secara individual di mana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, sehinga terjadi interaksi saling mengenal antara keduanya.Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dan penguasaan santri terhadap kitab tersebut.

Metode pengajaran sorogan menekankan pada pengajaran individual (individual learning), belajar tuntas (master learning), dan belajar berkelanjutan (continuous progress).

Lebih lengkap mengenai hal ini lihat Ala’i Nadjib dan Jamaluddin Muhammad, “Sorogan”, dalam Suwendi, Mahrus, Muh. Aziz Hakim, dan Zulfakhri Sofyan Pono (tim editor), Ensiklopedi Islam Nusantara: Edisi Budaya (Kementrian Agama RI: Jakarta, 2018), hlm 498.

[5] Wawancara dengan Musa al-Kazhim al-Habsyi, salah satu putra Husein al-Habsyi, pada 22 April 2021.

[6] Wawancara dengan putra almarhum Muhammad bin Salim Baraja, Loc.Cit.

[7] Wawancara dengan Ali Ridho al-Habsyi, salah satu putra Husein al-Habsyi, pada 13 Oktober 2020.

[8] Rachmadin Ismail, “Quraish Shihab, Sahabat yang Penuh Canda dan Fans Real Madrid”, dari laman https://news.detik.com/berita/d-2963241/quraish-shihab-sahabat-yang-penuh-canda-dan-fans-real-madrid, diakses 23 April 2021.

[9] Wawancara dengan Ali Ridho al-Habsyi, Loc.Cit.

[10] Saluran YouTube Yayasan al-Khairiyah, “Sejarah Yayasan Alkhairiyah Surabaya”, dari laman https://www.youtube.com/watch?v=gr52z3YjxHg, diakses 24 April 2021.

[11] “Abdurrahman Baswedan”, dari laman https://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Baswedan, diakses 23 April 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*