Masa kebersamaan Husein kecil bersama ayahnya hanya berlangsung sekitar enam bulan dari sejak dia dilahirkan. Sebab tak berapa lama setelah menetap di Jawa Barat, ayahnya wafat dan dikuburkan di Garut.
Menjadi Anak Yatim
Pada awal artikel telah disebutkan bahwa Husein al-Habsyi adalah keturunan Arab asal Hadhramaut, Yaman Selatan. Berdasarkan data yang dihimpun oleh sejarawan J.M. Van Der Kroef, memang koloni-koloni Arab di kota-kota pesisir Jawa dan wilayah Indonesia lainnya mengalami perkembangan yang pesat mulai pada abad ke-19.
Sejak tahun 1869, pelayaran dengan kapal uap dari Eropa menuju ke Arab mengalami perkembangan pesat karena dibukanya Terusan Suez. Selanjutnya kapal-kapal Eropa itu bertolak menuju ke India dan Asia Tenggara, khususnya ke Nusantara (Aceh dan Singapura).
Akibat dibukanya jalur baru tersebut, pelayaran menjadi ramai dan banyak orang-orang Arab yang berlayar ke Indonesia. Pada tahun 1920 orang-orang Arab yang ada di Indonesia tercatat mencapai sekitar 45.000 orang, dan pada tahun 1930 bertambah lagi menjadi sekitar 71.335.
Pada masa itu orang-orang Arab tengah melakukan migrasi ke Indonesia untuk mencari penghidupan dan tanah air yang baru. Mereka yang melakukan migrasi tersebut sebagian besar berasal dari Hadhramaut. Demikianlah menurut J.M. Van Der Kroef.[1]
Tidak diketahui secara pasti tahun berapa Abu Bakar bin Syaikh al-Habsyi datang ke Surabaya. Yang jelas ayah dari Husein al-Habsyi ini datang ke Surabaya dari Seywun, Hadhramaut. Di tempat asalnya dia telah menikah dan memiliki satu putri bernama Bakriyyah. Kelak kakak tertua Husein ini datang ke Indonesia dan meninggal di Jakarta dan dimakamkan di Kuburan Karet.
Abu Bakar sendiri adalah keponakan dari Habib Ali Alhabsyi, pengarang karya sastra sirah Nabi yang berjudul Simthu Durar. Sirah ini lazim disenandungkan dalam acara maulid di seantero dunia Islam.
Di Surabaya Abu Bakar kemudian menikah dengan Syifa binti Salim Baraja. Pasangan ini lalu mendapatkan dua anak, Ali yang lahir 1920 dan Husein yang lahir tahun 1921. Dengan demikian kedua anak ini bisa dikatakan merupakan generasi kedua dari pendatang yang berasal dari Hadhramaut.
Di era 1921 itu, daerah Sunan Ampel Surabaya, tempat Husein lahir, besar, dan tinggal, adalah lingkungan yang memiliki suasana keagamaan – tepatnya Islam – yang begitu kental. Di lingkungan itulah terdapat makam Sunan Ampel yang mashyur, tempat tinggal para ulama, dan para santri yang hilir mudik. Daerah ini pun dikenal sebagai pusat Pendidikan Islam pra Kemerdekaan.[2]
Sementara itu, Indonesia sebagai sebuah bangsa pada tahun 1920-an masih belum juga ada karena wilayah ini masih berada dalam cengkeraman penjajah Belanda. Namun dunia pada saat itu sedang mengalami pergolakan besar, yakni terbangunnya kesadaran dari masyarakat yang tertindas bahwa penjajahan di muka bumi harus dilawan.
Menurut Takashi Shiraishi, penulis buku Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, semua elemen masyarakat di wilayah yang kelak akan bernama Indonesia ini, kompak melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Masyarakat Indonesia yang beragam, yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, dan ras, memerlukan identitas untuk melakukan perlawanan. Namun karena sistem kategori pembagian masyarakat berdasarkan rasial berasal dari penjajah, maka konsep ini harus ditolak. Dengan demikian, sejak pertengahan dekade 1920-an muncul sebuah konsep baru yang telah diterima secara umum dalam wacana perpolitikan di Indonesia, yakni berdasarkan organisasi dan ideologi.
Dalam perkembangannya, klasifikasi masyarakat berdasarkan organisasi dan ideologi ini terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu Nasionalisme, Islam, dan Komunisme. Demikianlah penjelasan dari Takashi Shiraishi.[3]
Di kemudian hari, Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno di dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi seringkali menggunakan terminologi semacam ini dengan sedikit istilah yang berbeda, yaitu Nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis. Menurutnya nyawa pergerakan rakyat Indonesia berada di dalam tiga golongan itu, namun dengan tujuan yang sama.[4]
Menurut pemaparan dari pihak keluarga keturunan Husein al-Habsyi pada masa kini, jelas, bahwa lingkungan Kampung Arab di Ampel, Surabaya pada masa pergolakan menuju kemerdekaan Indonesia pada waktu itu, berada di dalam gerbong Islam.[5] Latar belakang sejarah inilah yang kemudian akan mewarnai corak berpikir Husein al-Habsyi dalam dunia politik Indonesia setelah masa kemerdekaan nanti.
Masa kebersamaan Husein kecil bersama ayahnya hanya berlangsung sekitar enam bulan dari sejak dia dilahirkan. Sebab tak berapa lama setelah menetap di Jawa Barat, ayahnya wafat dan dikuburkan di Garut.
Sejak ditinggal ayahnya, dia langsung diasuh, dididik, dan dibina oleh pamannya yang alim dan wara, yakni Muhammad bin Salim Baraja. Dari sosok inilah kemudian dia banyak menimba ilmu, wawasan, karakter, dan kepribadiannya. Paman dari jalur ibunya itu kelak dia kenang sebagai seorang pecinta ilmu yang hidup sederhana dan memiliki disiplin yang tinggi.
Menurut putra Muhammad, Abdullah Baraja, ayahnya mendorong Husein dan sepupu-sepupunya untuk selalu berdiskusi soal ilmu dalam Bahasa Arab. Mereka didorong untuk senantiasa mendiskusikan karya-karya para ulama dalam Bahasa Arab dengan cara membaca teks dan menelaahnya.[6] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] J.M. Van Der Kroef, Indonesia in the Modern World. vol. 1. (Bandung: Masa Baru, 1954), hlm 67, sebagaimana dikutip dalam La Ode Rabani dan Artono, Komunitas Arab: Kontinuitas dan Perubahannya di Kota Surabaya 1900-1942 (Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 7 No. 2, 2005), hlm 117.
[2] “Jamiat Kheir”, dari laman https://en.wikipedia.org/wiki/Jamiat_Kheir, diakses 22 April 2021.
[3] Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (PT Pustaka Utama Grafiti: Jakarta, 1997), hlm xiii.
[4] Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi: Jilid 1 (Banana Books: Jakarta, 2016), hlm 3.
[5] Lihat wawancara Musa al-Kazhim al-Habsyi, salah satu putra Husein al-Habsyi, di dalam Kupas Channel, “PODCAST INDONESIA: Satu Abad Ustadz Husein bin Abu Bakar Alhabsyi #1”, dari laman https://www.youtube.com/watch?v=YM0bUqdgXDc, diakses 22 April 2021.
[6] Wawancara dengan putra Almarhum Muhammad Baraja, Abdullah Baraja, pada 8 Maret, 2021.