Mozaik Peradaban Islam

Ilusi Identitas Arab: Sebuah Pengalaman dan Klarifikasi (3): Kontestasi Identitas Arab (2)

in Studi Islam

Last updated on June 2nd, 2021 12:07 pm

Suasana keramahan nyaris tidak akan Anda temukan saat pergi berhaji atau umroh. Bukan karena banyak orang non-Arab di sana, tapi lebih karena karakter kapitalis telah mewabah di dua kota suci itu beberapa dekade lampau.

Lukisan karya Reem Nazir tentang suasana berhaji di masa lalu. Foto: The Middle East Magazine

Oleh Musa Kazhim al-Habsyi | Penerjemah dan Koresponden TV Arab

Bagi pengamat Timur Tengah, perebutan identitas Arab bakal terlihat terang sekali. Arab Saudi—yang nama resminya adalah Kerajaan Arab Saudi—menghimpun koalisi negara Arab, termasuk Uni Emirat Arab, untuk menyerang Yaman.

Meski tidak memakai embel-embel Arab, Yaman adalah asal-usul orang bernama Ya’rub bin Qahthan. Ya’rub ini konon merupakan orang pertama yang berbahasa Arab atau nenek moyang orang Arab. Setidaknya begitulah hasil riset sebagian peneliti Barat.

Kalau kita mau melihat ambiguitas identitas Arab lebih jauh, maka kita cukup melihat betapa luasnya cakupan negara yang terhimpun dalam Liga Arab. Di sini ada negara-negara yang sejatinya berada di benua Afrika seperti Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, Sudan, Djibouti, Somalia, Komoro, Libya, dan Mauritania.

Meski mengaku Arab, jelas asal-usul mereka bermacam-macam. Dan anehnya, tidak sedikit sekelompok orang yang mengaku Arab tidak mau diasosiasikan dengan kelompok orang Arab lain. Ini belum ditambah proses Arabisasi yang melanda sebagian Eropa dan melahirkan legenda bernama Andalusia. Tapi agaknya bukan tempatnya kita melebar kesana, karena bakal kian jauh dari maksud tulisan ini.

Orang Mesir—sekalipun bangga sekali sebagai Arab—umumnya tidak senang disamakan dengan orang-orang Arab di negara-negara Teluk. Mereka merasa lebih melek aksara dibanding dengan kebanyakan Arab lainnya. Sampai-sampai ada anekdot yang menyatakan bahwa orang Arab Mesir yang mengarang, orang Arab Lebanon yang mencetak, dan orang Arab Irak yang membaca. Tampaknya Mesir memang bisa dibilang menyetir pemikiran dan cara-pandang Arab—dan Islam dalam derajat lebih rendah—paling tidak selama satu abad terakhir.

Begitu pula dengan orang Arab Syam. Penduduk negeri-negeri Syam umumnya merasa memegang Arabisme (‘urubah) yang lebih kuat dibandingkan dengan orang-orang di Jazirah Arab. Tapi mereka pun merasa beda kelas dan budaya. Mereka memang kerap menjadi basis nasionalisme Arab atau Pan Arabisme di era perjuangan kemerdekaan melawan Dinasti Utsmani dan kolonialisme Barat.

Tidak aneh bila nama resmi negara Mesir dan Suriah sama-sama memakai atribut Arab. Padahal, menurut para ahli, suku-suku bangsa kedua negara itu menjadi Arab akibat asimilasi dan arabisasi di era Dinasti Umayyah.

Yang juga menarik kita amati adalah nama resmi Irak yang tidak memakai embel-embel Arab—Republik Irak. Padahal, setingkat di bawah Yaman, barangkali Irak dapat dianggap paling Arab di antara yang lain-lain.

Kebanyakan penduduk wilayah ini berasal dari suku-suku Arab asli Jazirah Arabia. Mereka sudah tinggal di sana sejak ribuan tahun lampau. Dan lacurnya orang-orang Arab Irak juga tidak mau disamakan dengan orang-orang Arab di negeri-negeri Teluk Persia, meski umumnya mereka senang dengan orang Arab Yaman. Bagi mereka, penduduk Yaman adalah representasi Arab sejati.

Seperti Yaman, Irak cukup percaya diri tidak memakai Arab sebagai nama resmi negaranya, lantaran mungkin mereka berpikir jika mereka tidak dianggap Arab lalu siapakah Arab itu?

Irak juga punya kedudukan istimewa dalam kaitannya dengan melestarikan kearaban. Di periode awal Islam, Imam Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abul Aswad al-Duali untuk meletakkan dasar-dasar ilmu tatabahasa Arab.

Imam Ali mula-mula membagi bahasa Arab jadi tiga kategori dasar: ism (kata benda), fi’il (kata kerja), dan hurf (huruf). Lalu beliau membagi huruf menjadi vokal dan konsonan serta memberi diakritiknya.

Dari tangan al-Duali lahirlah para ilmuwan bahasa Arab dan pusat bahasa Arab Basra yang tidak bisa ditandingi kecuali oleh pusat bahasa Arab di Kufah. Dari kedua kota Irak itulah ilmu-ilmu bahasa Arab menyebar ke seluruh dunia dan mencapai tingkat pedantisme yang menakjubkan.

Jika Anda pernah ke Irak di musim Arbain Imam Husein bin Ali, Anda akan melihat keramahan yang tidak terbayangkan bisa Anda temukan dari orang-orang Arab di Teluk Persia. Dengan penuh cinta, keramahan dan penghargaan, mereka melayani semua pendatang yang menziarahi pusara-pusara para imam mereka. Tanpa kenal lelah dan pamrih, apalagi upah. Dengan riang gembira mereka menyajikan apa saja yang mereka miliki.

Suasana seperti itu nyaris tidak Anda temukan saat pergi berhaji atau umroh. Bukan karena banyak orang non-Arab di Saudi saat musim haji dan umroh, tapi lebih karena karakter kapitalis telah mewabah di dua kota suci itu beberapa dekade lampau. Padahal, seharusnya orang Arab dikenal suka menghormati tamu. Bahkan inilah salah satu akhlak Arab yang hendak dilestarikan oleh Islam.

Begitulah, karakter orang Arab Saudi dan negara-negara Arab di Teluk pada umumnya memang berbeda. Mereka lebih berjiwa sebagai saudagar yang terikat dengan kepentingan dan bukan dengan persaudaraan. Dan karakter inilah yang kemudian menjadikan mereka lebih layak disebut a’rab dan bukan ‘araby.

Sejarah dan pengalaman banyak orang menemukan perbedaan karakter penduduk Madinah dengan penduduk Mekkah, Jeddah, atau Riyadh. Jadi memang gejala ini bukan baru terjadi belakangan tapi sudah lama direkam para peneliti.

Seperti sudah saya sebutkan di atas, sebagai kuli tinta, saya sering berhubungan langsung dengan orang-orang Arab. Ada yang bisa disebut Arab dan ada yang lebih tepat disebut A’rab. Perbedan keduanya nanti saya jelaskan di bagian lain tulisan ini.[]

Bersambung ke:

Sebelumnya:

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*