Mozaik Peradaban Islam

Ilusi Identitas Arab: Sebuah Pengalaman dan Klarifikasi (4): Kontestasi Identitas Arab (3)

in Studi Islam

Last updated on June 3rd, 2021 01:01 pm

Jika kita melancong ke 22 negeri Arab yang berhimpun dalam Liga Arab, lalu coba-coba berbahasa Arab fasih seperti bahasa Alquran atau hadis Nabi, maka kemungkinan besar kita akan ditertawakan.

Majelis warga Uni Emirat Arab. Foto: Abu Dhabi Culture

Oleh Musa Kazhim al-Habsyi | Penerjemah dan Koresponden TV Arab

Sekali waktu saya pernah diminta duta besar (dubes) salah satu negara Arab Teluk Persia di Singapura untuk meliput jamuan makannya. Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negerinya sedang berkunjung ke sana.

Saya datang tepat waktu bersama juru kamera. Kami menunggu di luar cukup lama. Kami sudah mulai kelaparan dan tetap saja acara belum bubar. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang.

Setiba di hotel, dubes itu menelpon dan langsung ngegas. Kita pun berbantah. Begitu dia memaki, saya pun langsung menutup telpon. Dia tidak terima dan mulailah menelpon saya berkali-kali. Begitu saya angkat kontan saya disergap sumpah serapah dari mulutnya. Mengancam memecat saya. Saya bilang saya tidak bekerja untuk Anda. Dan dia makin menjadi-jadi.

Jelas ini sikap kasar dan perilaku Jahiliah. Kalau saya boleh jujur, satu-satunya ciri kearaban dubes itu adalah postur fisiknya. Tapi esensi identitas kearabannya sebagai penutur bahasa yang fasih tidak ada padanya. Tentu saja orang ini lebih tepat disebut a’raby dan bukan ‘araby.

Jadi identitas Arab ini generik. Sampai hari ini kita bisa mengamati dengan jelas bahwa identitas Arab itu lebih mirip nama umum yang mencakupi bermacam-macam kelompok etnik, wilayah geografis, pemeluk agama, karakter dan budaya, suku-suku bangsa, dan bahasa-bahasa daerah.

Dengan modifikasi di sana-sini, tiap kelompok bisa mengklaim sebagai Arab, padahal bahasa Arabnya belepotan dan ‘ajam. Watak dan perilakunya lebih cocok disebut a’rab ketimbang ‘araby. Tapi sialnya masing-masing kelompok itu suka mengklaim lebih Arab dibandingkan dengan kelompok lain. Dan saking elastisnya bahasa yang mereka gunakan sampai-sampai kerap di antara mereka pun tak sepenuhnya saling memahami.

Nah, jika kita melancong ke 22 negeri Arab yang berhimpun dalam Liga Arab, lalu coba-coba berbahasa Arab fasih seperti bahasa Alquran atau hadis Nabi, maka kemungkinan besar kita akan ditertawakan.

Boleh jadi mereka juga tidak paham apa yang ingin kita sampaikan—kecuali mungkin kalangan pelajar agama. Mereka lebih suka berbahasa Arab daerah, yang kebanyakannya jauh dari keelokan dan kefasihan yang menjadi ciri bahasa Arab yang sebenarnya.

Kalimat-kalimat yang mereka gunakan bercampur-baur dengan kata-kata serapan bahasa-bahasa lokal semisal Berber, Inggris, Perancis, Farsi, Turki, dan lain sebagainya. Malah sejak era media sosial, kebanyakan warga negara Arab Teluk Persia seperti Uni Emirat, Qatar, dan Bahrain lebih percaya diri dan bangga berbahasa Inggris.

Sebagai koresponden media Arab saya sering diajak berbahasa Inggris oleh orang Arab yang bertampang Arab tulen. Mereka seperti lebih mudah memahami saya berbahasa Inggris ketimbang berbahasa Arab standar yang lazim saya pakai melaporkan berita.

Malah, tanpa menyebut nama, duta-duta besar Arab di Asia Tenggara tidak jarang meminta komentarnya ditulis dalam bahasa Arab yang benar dan meminta saya “menerjemahkannya”. Orang-orang Arab itu tidak bisa berbahasa Arab fasih (fushha), dan hanya bisa berbahasa Arab ‘amiyyah (daerah) atau darijah (informal).

Di antara yang juga aneh, munculnya bahasa gaul orang-orang Arab di Saudi, Emirat, Qatar, dan Bahrain yang banyak menampung tenaga kerja asing. Arab hasil campuran dengan non-Arab ini terdengar begitu janggal dan kagok.

Saya yang belajar bahasa Arab formal atau standar sering terpingkal-pingkal mendengarnya. Barangkali di negeri kita yang baru mengenal bahasa Indonesia sekitar 100 tahun silam sudah tidak ada orang berbahasa sejanggal dan serusak itu.

Ala kulli hal, sebutan Arab memang sejak dulu memiliki cakupan luas dan longgar. Di dalamnya ada komponen bahasa, geografi, budaya, afiliasi politik, etnisitas, ras, dan agama yang mencakup kelompok manusia yang berbeda-beda. Mirip dengan konsep Timur dan Barat.

Tapi, berbeda dengan dua konsep itu, Arab secara primer merujuk pada bahasa Alquran sebagai wahyu Ilahi. Dalam bagian lain tulisan ini, saya akan merujuk pada penggunaan Arab dalam Alquran beserta segenap derivatnya guna menjernihkan dan mendudukkan masalah secara lebih benar dan otentik.[]

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*