“Abd al-Rashid Ibrahim, seorang ulama asal Rusia, datang ke Jepang. Di sana dia bertemu dengan sejumlah orang Jepang, mulai dari menteri hingga petani. Berkat dakwah Islamnya, banyak intelektual muda, perwira, dan wartawan Jepang yang akhirnya memeluk Islam.”
–O–
Dua tahun setelah peristiwa badai yang menyebabkan kematian 550 orang awak kapal Al Togrul, mengikuti Shotaro Noda, pada tahun 1892, Yamada Torajirō datang ke Istanbul. Torajirō adalah seorang pria muda yang berpendidikan, dia telah mengorganisir kampanye penggalangan dana di kota-kota besar di Jepang untuk mengumpulkan uang bagi keluarga para awak kapal Al Togrul. Respon masyarakat Jepang pada waktu itu sangat luar biasa, dari hasil pengumpulan dana tersebut, Torajirō berhasil mengumpulkan uang yang apabila dibandingkan dengan masa kini jumlahnya setara dengan USD $ 100 juta.[1]
Pemerintah Jepang kemudian meminta Torajirō secara pribadi mengantarkan uang tersebut ke Istanbul. Setelah menyelesaikan tugasnya, Torajirō memutuskan untuk menetap di sana selama 20 tahun ke depan, melakukan berbagai macam hal yang dapat dia lakukan untuk menjaga hubungan baik antara Jepang dan Ottoman, baik dalam hal politik maupun kebudayaan.[2] Torajirō juga diketahui telah memeluk agama Islam dan mengubah namanya menjadi Khalil atau Abdul Khalil. Dengan demikian, Torajirō adalah orang Jepang kedua yang telah memeluk agama Islam.[3] Torajirō juga kemungkinan telah melaksanakan ibadah naik haji ke Mekah.[4] Yamada Torajirō kemudian kembali ke Jepang dan meninggal di sana.[5]
Orang Jepang ketiga yang masuk Islam adalah Bumpachiro Ariga. Ariga adalah seorang pedagang, pada tahun 1900 dia pergi ke Bombay, India untuk berdagang. Di sana dia melihat sebuah masjid, karena terpesona akan keindahannya dia tertarik untuk masuk ke dalam masjid. Kemudian, atas pengaruh orang-orang Muslim di sana, suatu hari dia memutuskan untuk masuk Islam dan mengubah namanya menjadi Ahmad Ariga. Masih di periode yang sama, sejumlah pedagang Muslim India datang ke Jepang dan tinggal di Tokyo, Yokohama, dan Kobe, mereka dianggap sebagai komunitas Muslim pertama di Jepang.[6] [7]
Kekaguman Dunia Islam terhadap Jepang
Sementara itu, dunia Muslim terpesona kepada Kaisar Meiji, terutama setelah tahun 1905, ketika Jepang, sebuah negara yang kecil dan kurang dikenal, berhasil mempermalukan raksasa Rusia dalam perang Rusia-Jepang. Para pengamat Muslim menyaksikan dengan penuh kekaguman karena Jepang telah berhasil mengalahkan Rusia yang selama beberapa generasi membuat kekacauan di wilayah Asia Tengah.[8]
‘Abd al-Amīn Sāmī, seorang ulama fiqh di Bukhara, menyebarkan berita bahwa Meiji (“pādshāh-e Chāpun”) telah secara diam-diam memeluk Islam, bahwa dia adalah keturunan Arab Qahtani, dan bahwa kemenangannya atas Rusia bermakna Hari Pengadilan sudah dekat. Penyair Ottoman, Mehmet Akif dan sejarawan Abdurreid Ibrahim mengungkapkan kekaguman mereka atas prestasi Jepang; di Iran, Adib Pishāvari, menulis sebuah puisi epik berjudul Mukado-nāmeh yang isinya merupakan pujian untuk Meiji.[9]
Mereka yang Datang ke Jepang
Lain halnya dengan tokoh-tokoh cendekia di atas yang membicarakan tentang Jepang dari kejauhan, beberapa orang justru mengambil inisiatif untuk benar-benar pergi ke Jepang. Ahmad Fadhli, seorang perwira militer Mesir, pada tahun 1905 dia masuk akademi militer di Tokyo, bahkan diapun menikahi salah seorang wanita jepang.[10]
Pada tahun 1906, seorang ulama Mesir lulusan al-Azhar yang bernama Ali Jaljawi mengklaim telah mengunjungi Jepang dan menghadiri konferensi tentang agama-agama dunia yang diadakan pada saat itu di Tokyo. Setelahnya Ali Jaljawi menulis sebuah buku yang berjudul Perjalanan ke Jepang. Ali Jaljawi, kemudian bersama dengan Sulaiman dari China, Mukhlis Mahmoud dari Rusia dan Hussein Abdul Munim dari India, mendirikan sebuah komunitas Islam di Tokyo. Melalui dakwah, konon mereka berhasil mengislamkan sebanyak 12.000 orang Jepang.[11] [12]
Tahun berikutnya, Maulvi Barkatullah tiba dari India, dia ditunjuk untuk menjadi guru di Sekolah Bahasa Asing Tokyo, di tempat itu dia mengajar selama lima tahun. Pada tahun 1909, Abd al-Rashid Ibrahim, seorang Tatar yang lahir di wilayah Kekaisaran Rusia, melarikan diri ke Jepang untuk mencari perlindungan dari otoritas Rusia, yang mengejarnya karena perjuangannya untuk kemerdekaan Tatar. Abd al-Rashid Ibrahim adalah seorang pria saleh, ia menjadi pengkhotbah Muslim pertama di Jepang, dan banyak penduduk asli Jepang yang memeluk Islam karena dakwah-dakwahnya.[13]
Abd al-Rashid Ibrahim tinggal di Jepang selama enam bulan, di sana dia bertemu dengan sejumlah orang Jepang, mulai dari menteri hingga petani. Berkat dakwah Islamnya, banyak intelektual muda, perwira, dan wartawan Jepang yang akhirnya memeluk Islam. Dia juga mengunjungi Cina, Korea, India, dan Hijaz, Arab Saudi, dan menulis buku setebal seribu halaman dalam bahasa Ottoman.[14]
Adapun tentang Ali Jaljawi, terlepas dari bukunya tentang Jepang, Abd al-Rashid Ibrahim menyangkal klaimnya yang menyatakan bahwa dia pernah pergi ke Jepang dan mengislamkan banyak orang. Menurut Abd al-Rashid Ibrahim, tidak ada bukti yang cukup kuat bahwa Ali Jaljawi pernah berangkat ke Jepang. Selain Abd al-Rashid Ibrahim, seorang intelektual dari India yang bernama Muhammad Barakatullah, yang tinggal di Jepang selama lima tahun (1909-1914) juga meragukan klaim Ali Jaljawi.[15] (PH)
Bersambung….
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Hassam Munir, “At World’s End: Islam’s Long Journey to Japan”, dari laman http://www.ihistory.co/history-japan-islam/, diakses 6 April 2018.
[2] Ibid.
[3] Salih Mahdi S. Al Samarrai, Islam In Japan: History, Spread, and Institutions In The Country, (Jurnal Islamic Center-Japan: 2009), dari laman https://www.islamcenter.or.jp/history-of-islam-in-japan/, diakses 6 April 2018.
[4] Nabil Bin Mohammed El-Maghrabi, Mohamed Ahmed Soliman, dan Mehmet Arif Adli, “History of Islam in Japan”, dari laman http://www.islamawareness.net/Asia/Japan/history.html, diakses 6 April 2018.
[5] Salih Mahdi S. Al Samarrai, Ibid.
[6] Ibid.
[7] Suharyo Widagdo, Menjadi Muslim di Jepang, (Ernest: Kendal, 2017), hlm 100.
[8] Hassam Munir, Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Salih Mahdi S. Al Samarrai, Ibid.
[13] Hassam Munir, Ibid.
[14] Salih Mahdi S. Al Samarrai, Ibid.
[15] Ibid.