Sejarah Islam di Jepang (6): Ryoichi Mita, Samurai yang Memeluk Islam (4)

in Sejarah

“Umar Mita secara garis keturunan merupakan seorang Samurai, namun dia lahir di saat kasta Samurai sedang dilucuti oleh penguasa. Namun tampaknya nilai-nilai pribadi Samurai masih dilestarikan di dalam lingkungan keluarganya.”

–O–

Setelah pulang ke Jepang, Haji Umar Mita melanjutkan perawatan pasca kecelakaan yang dia alami di Arab Saudi, dan pada saat yang sama, dia melanjutkan pekerjaan menerjemahkannya. Selama periode ini, kadang-kadang dia tinggal di Miyazaki di Kyushu dan kadang-kadang di kota Enzan di Prefektur Yamanashi, untuk tujuan memulihkan kesehatan serta melakukan pekerjaannya dalam suasana damai dan jauh dari hiruk-pikuk kota besar.

Ketika di Enzan, dia bertemu dengan Abu Bakr Morimoto, pendukung lain dari Muslim Jepang, pada tahun 1965. Ini adalah saat-saat yang membahagiakan bagi Haji Umar Mita, karena kecemasannya selama ini tentang nasib terjemahannya terjawab sudah. Abu Bakar Morimoto adalah seorang muslim Jepang yang ahli di dalam dunia percetakkan dan dia bersedia bekerja sama untuk menerbitkan terjemahan Haji Umar Mita kelak apabila sudah selesai.

Pada tahun 1968, penerjemahan al-Quran telah selesai dan revisi pertama dilakukan oleh komite revisi dan peninjauan yang ditunjuk oleh Asosiasi Muslim Jepang, setelah melakukan penelitian dan peninjauan berkelanjutan selama sekitar satu setengah tahun. Pada bulan Juni 1970, Haji Umar Mita bersama Hussain Khan, sahabat dari Pakistan, pergi ke Mekah membawa naskah terjemahan yang telah direvisi.

Di Mekah, naskah itu sekali lagi direvisi oleh komite ulama yang ditunjuk oleh Rabita-al-Alam-al-Islami. Setelah sekitar enam bulan mengulas dengan saksama, terjemahan itu akhirnya siap untuk dicetak. Haji Umar Mita kemudian kembali ke Jepang dan naskahnya dikirim ke percetakan Takumi Kobo Printing Hiroshima yang dimiliki oleh seorang Muslim Jepang lainnya.

Haji Umar Mita melakukan presentasi salinan terjemahan al-Quran bahasa Jepang kepada Duta Besar Dejani dari Arab Saudi. Dari kiri: Usman Uenoya (Pemilik Percetakan), Abu Bakr Morimoto, Haji Umar Mita, Duta Besar Dejani dan Hideji Tamura (mantan duta besar Jepang untuk Arab Saudi). Photo: islamjp.com

Akhirnya, pada 10 Juni 1972, proses pencetakan terjemahan al-Quran berbahasa Jepang telah selesai. Terjemahan al-Quran edisi pertama ini diterbitkan atas jerih payah dan kerja keras Haji Umar Mita selama 12 tahun, pada saat itu usianya sudah mencapai 80 tahun. Bahkan setelah penerbitan pertama itu, Haji Umar Mita terus melanjutkan pekerjaannya menulis catatan kaki untuk terjemahan tersebut.

Terjemahan al-Quran berbahasa Jepang karya Haji Umar Mita. Photo: islamjp.com

 

Keseharian Sebagai Muslim

Meskipun sibuk sepanjang waktu dalam pekerjaan besarnya menerjemahkan al-Quran, Haji Umar Mita tidak pernah melupakan tugas lainnya sebagai Muslim. Saat melakukan tugas kesehariannya, dia merelakan waktunya untuk membimbing kegiatan-kegiatan Asosiasi Muslim Jepang di mana dia berperan sebagai penasehat. Bahkan ketika usianya mencapai 81 tahun, dia masih mau untuk bolak-balik dari rumahnya yang berada di pinggiran kota ke Masjid Tokyo dan sekretariat Asosiasi yang memakan waktu selama dua jam untuk sekali jarak tempuh.

Pengabdian Haji Umar Mita merupakan contoh yang sangat baik bagi generasi muda Islam di Jepang. Pada Maret 1974, dia sekali lagi mengunjungi Mekah dan pada bulan November di tahun yang sama, dia menghadiri konferensi Islam yang diadakan di New Delhi, India. Haji Umar Mita wafat pada tahun 1976 pada usia 82 tahun. Semoga Allah SWT memberkatinya.[1]

 

Sekilas Tentang Samurai

Pada masa era Shogun di Jepang (1185-1868) masyarakat Jepang dibagi ke dalam kasta-kasta, yaitu: samurai, petani, pengrajin, dan pedagang. Perkawinan antar kasta dilarang. Samurai adalah kasta tertinggi, dan di antara semua kasta itu, hanya Samurai yang diizinkan untuk membawa pedang (senjata).[2]

Namun ketika masuk era Meiji, Kaisar Jepang membuat sebuah perubahan besar dengan restorasi Meiji (1868), periode feodalisme di Jepang diakhiri, dan samurai dilarang untuk membawa pedang lagi. Bagi Samurai, pedang adalah sesuatu yang sakral, mereka percaya bahwa pedang adalah tempat bersemayamnya jiwa mereka. Dengan dilarangnya pedang, maka kekuatan dan nilai-nilai spiritual seorang Samurai akan turut menghilang pula.[3]

Pemerintah Meiji melarang gaya rambut tradisional dan ikatan kepala khas Samurai ditampilkan di hadapan umum. Selain itu, Meiji juga mendorong para Samurai untuk mengenakan pakaian ala Barat di semua fungsi resmi pemerintahan. Dekrit itu, dengan demikian, tidak hanya berusaha untuk menghilangkan tampilan samurai dari mata publik dalam upaya untuk menyesuaikan dirinya dengan masyarakat Meiji yang baru berdasarkan standar Barat, tetapi secara efektif melucuti spiritualitas dan jiwa Samurai.[4]

Photo seorang Samurai tahun 1877. Photo: Universal History Archive/UIG/Getty images

Umar Mita sendiri secara garis keturunan merupakan seorang Samurai, namun dia lahir di saat kasta Samurai sedang dilucuti oleh penguasa. Namun tampaknya nilai-nilai pribadi Samurai masih dilestarikan di dalam lingkungan keluarganya, sehingga beliau masih mewarisi sifat-sifat seorang Samurai. Dr. Musa Muhammad Umar, salah seorang pendiri Masjid Tokyo, merangkum beberapa sifat Samurai:

  • Mereka tidak kufur nikmat.
  • Mereka menjauhkan diri dari alkohol, wanita, dan makan berlebihan.
  • Mereka menghormati dan mematuhi orang tua mereka, dan tidak pernah merasa keberatan terhadap apapun yang dilakukan orang tuanya terhadap mereka.
  • Mereka mencuci tangan dan kaki mereka di pagi hari dan di malam hari. Mereka juga mandi air hangat dan ingin menjaga tubuh dan penampilan mereka agar selalu baik dan bersih.
  • Mereka tidak pernah menyibukkan diri dengan hal-hal yang bukan urusan mereka atau bahkan membicarakannya.
  • Mereka menaruh minat pada disiplin dan pelatihan militer.
  • Mereka merasa berkewajiban untuk terlibat dalam perbuatan baik dan tindakan yang dapat diterima dan menghindari tindakan yang salah atau tidak dapat diterima.
  • Mereka dapat dipercaya bukan karena ditakuti oleh orang-orang, dan mereka takut apabila terlihat melakukan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip mereka.
  • Mereka diwajibkan untuk belajar dan mencari pengetahuan, dan tidak pernah membuang waktu mereka.
  • Mereka menjalani kehidupan yang bermartabat, tidak merugikan orang lain, atau bergantung pada orang lain.
  • Mereka tidak ingin masuk ke dalam komunitas orang-orang yang berperilaku buruk.[5] (PH)

Bersambung…

Sebelumnya:

Sejarah Islam di Jepang (5): Ryoichi Mita, Samurai yang Memeluk Islam (3)

Catatan:

Artikel ini merupakan adapatasi dan terjemahan bebas dari “Introducing a Japanese Muslim-1: Haji Umar Mita”, dari laman http://islamjp.com/library/icf2p10.htm, diakses 9 April 2018. Adapun informasi lain yang bukan didapat dari artikel ini, dicantumkan di dalam catatan kaki.

Catatan Kaki:

[1] Abu Tariq Hijazi, “Umar Mita: Japanese translator of Qur’an”, dari laman http://www.arabnews.com/node/411894, diakses 9 April 2018.

[2] “Japan’s Samurai, Before and After Meiji Restoration: Rules and Laws”, dari laman http://www.virtualmuseum.ca/edu/ViewLoitDa.do;jsessionid=70E792678B5E60BF45A47A2759445754?method=preview&lang=EN&id=13027, diakses 9 April 2018.

[3] “Japan’s Samurai, Before and After Meiji Restoration: Meiji Period and Samurai Class”, dari laman http://www.virtualmuseum.ca/edu/ViewLoitDa.do;jsessionid=70E792678B5E60BF45A47A2759445754?method=preview&lang=EN&id=13030, diakses 9 April 2018.

[4] Ibid.

[5] Salih Mahdi S. Al Samarrai, Islam In Japan: History, Spread, and Institutions In The Country, (Jurnal Islamic Center-Japan: 2009), dari laman https://www.islamcenter.or.jp/history-of-islam-in-japan/, diakses 9 April 2018.

 

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*