“Sangat mungkin periode kedua masukanya Islam ke Nusantara ini dilatari oleh satu rangkaian narasi sejarah yang sama. Hanya persoalannya, kita tidak bisa melacak lebih jauh kiprah masyarakat Islam pada periode ini secara akurat, mengingat minimnya sumber informasi yang mendukung upaya tersebut.”
—Ο—
Masih dalam satu rentang periodesasi yang sama, fase kedua arus kedatangan Islam ke Nusantara bukan hanya datang langsung dari Arab, di antara mereka ada arus lain kelompok masyarakat Arab yang masuk dari Asia Timur.
Menurut Prof. MDYA DR. Wan Hussein Azmi, pada abad ke-8 M saudagar-saudagar Arab Muslim sudah menguasai perniagaan di selatan India (Malabar) dan menetap di wilayah tersebut. Dan di akhir abad ke-8 mereka sudah berhimpun di Kadrang/Phan Rang, Selatan Champa (Vietnam Selatan), sehingga pelabuhan ini disebut dengan “Kadrang Pelaut-pelaut Arab”. Di tempat yang tak jauh dari Champa, pada periode yang sama sudah juga terbentuk pemukiman masyarakat Persia di Pulau Hainan, China, yang disebut dengan Po-see (perkampungan Persia). [1]
Menurut catatan manuskrip Dinasti Tang, pada tahun 874 M, sekumpulan orang Arab dan Parsi tersebut meninggalkan wilayahnya dalam rangka menyelamatkan diri dari gonjang ganjing pemberontakan yang sedang terjadi di China. Menurut Mas’udi, jumlah orang Arab dan Persia yang ketika itu mengungsi mencapai 120.000 hingga 200.000 orang. Mereka berlayar ke sejumlah wilayah di Nusantara, mulai dari Kedah, Brunai, Palembang, Aceh, dan Patanni.[2] Dengan demikian, pada Abad 8 dan 9 M ini juga sebenarnya sudah tumbuh banyak komunitas Arab dan Islam di Nusantara. Hanya memang kita tidak memiliki cukup informasi untuk menjelaskan lebih jauh kiprah mereka di Nusantara.
Selain dari Asia timur, gelombang masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke 8 dan 9 M tercatat juga masuk langsung dari Persia. Menurut Prof. Wan Hussein Azmi, pada sekitar awal abad kesembilan Masehi, setidaknya, ada tiga keluarga Persia yang datang ke berbagai wilayah di Indonesia dan membentuk klan di tanah Air.[3]
Pertama, keluarga Lor atau Lur, yang tinggal di Jawa Timur. Mereka mendirikan permukiman Lor yang dikenal dengan nama Lorin, Loran atau Leran yang berarti orang-orang Lor. Mereka diperkirakan tiba di era kerajaan Nasiruddin Ibn Badr yang memerintah wilayah Lor, Iran sekitar tahun 912 Masehi atau 300 Hijriah.
Kedua, keluarga Jawani yang tinggal di Pasai, Aceh. Keluarga inilah yang menyusun khat Jawi yang artinya tulisan Jawi yang dinisbatkan kepada Jawani. Mereka pernah memerintah di Iran sekitar tahun tahun 913 Masehi atau 301 Hijriah.
Ketiga, keluarga Syiah yang mendirikan perkampungan yang dikenal dengan nama “Siak”, lalu berkembang menjadi Nagari Siak, yang diberi nama “Siak Seri Inderapura”. Diperkirakan mereka datang di era pemerintahan Ruknuddaulah Ibn Hasan Ibn Buwaih Al-Dailami sekitar tahun 969 Masehi.
Bila kita korelasikan informasi tentang arus kedatangan orang-orang Persia ke Nusantara dengan konstruksi sejarah yang sedang terjadi di peradaban Islam kala itu, agak mengherankan memang. Karena abad ke-8 sampai ke-9 Masehi adalah abad keemasan Dinasti Abbasiyah yang beribukota di Baghdad, Irak. Masa dimana arus mobilitas manusia seharusnya masuk ke Bahgdad, bukan sebaliknya.
Bila kita korelasikan arus kedatangan tersebut dengan bukti arkeologis yang ada di Nusantara, agak memiliki kaitan yang cukup erat dengan keberadaan situs makam di nisan di dusun Leran, Desa Pesucian, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik. Dari sejumlah makam kaum Muslimin yang ada di Pulau Jawa, inilah yang tertua, yang inskripsinya menunjukkan kronogram 475 H atau 1082 M. bukti arkelogis ini kemudian dikenal sebagai Batu Nisan Leren.[4] Inskripsi di nisan tersebut menyebutkan bahwa yang terbaring di situ adalah jasad seorang wanita yang bernama Fatimah binti Maimun. Catatan yang tertera di atas nisan tersebut terdiri atas tujuh baris, ditulis dengan huruf Arab dengan gaya Kufi, yang merupakan model penulisan paling tua di antara semua gaya kaligrafi yang ada.[5]
Terkait dengan situs nisan Leran tersebut, Agus Sunyoto dalam karyanya mengutip Hasan Muarif Ambary, “Petikan ayat Al-Qur’an tersebut memiliki korelasi kuat dengan aliran pembawa agama Islam awal di Indonesia. Dari kajian epigrafis terhadap makam Fatimah binti Maimun, dapat ditelusuri jenis huruf kufi yang ditulis dan bahan batu nisan, memiliki kesamaan dengan sebuah makam kuno di Pandurangga (Panh-Rang) di wilayah Champa di Vietnam bagian selatan. Kedua batu nisan bertuliskan kufi itu merupakan bukti arkeologis tertua kehadiran Islam di Asia Tenggara pada abad ke-5 H/ ke-11 H”.[6]
Dengan demikian, sangat mungkin periode kedua masukanya Islam ke Nusantara ini dilatari oleh satu rangkaian narasi sejarah yang sama. Hanya persoalannya, kita tidak bisa melacak lebih jauh kiprah masyarakat Islam pada periode ini secara akurat, mengingat minimnya sumber informasi yang mendukung upaya tersebut. (AL)
Bersambung…
Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (4)
Sebelumnya:
Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (2)
Catatan kaki:
[1] Lihat, Prof. MDYA DR. Wan Hussein Azmi, Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI, dalam Prof. A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Medan, PT. Al Ma’arif, 1993, hal. 184
[2] Lihat, Farid Mat Zain & Nurulwahidah Fauzi, Ulama Arab di Tanah Melayu; Satu Analisa Pasa Awal Abad ke-20, Religi, Vol. X, No. 2, Juli 2014, hal. 184
[3] Lihat, Prof. Madya DR. Wan Hussein Azmi, Op Cit, Hal. 185
[4] Lihat, Agus Sunyoto, Atlas Walisongo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, Jakarta, Pustaka IIMaN, 2016, hal. 56
[5] Orang pertama yang menemukan dan membaca inskripsi Batu Nisan Leran adalah peneliti asal Belanda bernama JP Moquette pada 1911. Ia berhasil membaca tulisan yang tertera di Batu Nisan Leren yang terdiri dari 7 baris dan tersusun dengan struktur sangat baik. Bahkan dicantumkan pula dua ayat dalam Al Quran Surat Ar Rahman. Hasil pembacaan Moquette kemudian diterjemahkan oleh Muh. Yamin. Berikut ini hasil pembacaan Moquette:
Bismillahirrahmanirrahim, kullu man ‘alaiha fanin wa yabqa wajhu rabbika dzul jalali wal ikram. Hadza qabru syahidah Fatimah binti Maimin bin Hibatallah, tuwuffiyat fi yaumi al-Jumah…. min Rajab wa fi sanati khamsatin wa tis’ina wa arba’ati min ‘atin ila rahmat (sebagian orang membaca “wa tis’ina” dengan “wa sab’ina”) Allah… shadaqallah al-azhim wa rasulihi al-karim.
Menurut Muh. Yamin terjemahan atas inkripsi batu nisan Fatimah binti Maimun adalah sebagai berikut:
Atas nama Tuhan Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah, Tiap-tiap makhluk yang hidup di atas bumi itu adalah bersifat fana; Tetapi wajah Tuhan-mu yang bersemarak dan gemilang itu tetap kekal adanya; Inilah kuburan wanita yang menjadi kurban syahid bernama Fatimah binti Maimun; Putera Hibatu’llah yang berpulang pada hari Jumat ketika tujuh; Sudah berlewat bulan Rajab dan pada tahun 495 H. (sebagian ada yang membacanya 475 H); Yang menjadi kemurahan Tuhan Allah Yang Maha Tinggi beserta Rasulnya yang Mulia.
Informasi lebih jauh terkait makam Fatimah binti Maimun sudah ditulis oleh redaksi Ganaislamika.com, dan bisa diakses pada link berikut: https://ganaislamika.com/fatimah-binti-maimun-jejak-islam-pertama-di-pulau-jawa-1/
[6] Lihat, Agus Sunyoto, Op Cit, hal. 58