Mozaik Peradaban Islam

Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (4)

in Islam Nusantara

Last updated on August 18th, 2018 09:02 am

Dibanding periode kedatangan orang-orang Arab sebelumnya, generasi yang datang pada periode ketiga ini relatif lebih siap dan mapan, baik dalam bidang intelektual, maupun spiritual. Mereka umumnya para ulama yang menguasai khazanah ilmu keislaman yang bersambung hingga Rasulullah SAW. Sejarawan menyebut mereka sebagai kaum Alawiyin, atau sekarang biasa dikenal dengan sebutan “Habib”.

 —Ο—

 

Periode ketiga datangnya orang-orang Arab ke Nusantara besar kemungkinan dimulai pada sekitar abad ke 12 M. Gelombang ketiga ini bisa dikatakan berhasil menyebarkan Islam dengan sangat gemilang dan mencapai puncaknya pada abad ke 15 M (era Walisongo) hingga lahirnya Nusantara modern atau yang kita kenal sekarang dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dibanding periode kedatangan orang-orang Arab sebelumnya, generasi yang datang pada periode ketiga ini relatif lebih siap dan mapan, baik dalam bidang intelektual, maupun spiritual. Mereka umumnya para ulama yang nasabnya maupun khazanah ilmu keislamannya, bersambung hingga Rasulullah SAW. Dan yang terpenting, mereka meninggalkan jejak pengaruh keislaman, baik dalam bentuk nilai maupun material di semua tempat yang mereka singgahi.

Dengan demikian, cukup banyak informasi yang bisa kita gali tentang asal usulnya, konsep pengajaran Islam yang dibawanya, metodologi penyebaran Islam yang mereka lakukan, maupun kiprah mereka di Nusantara pada semua bidang kehidupan. Sejarawan menyebut mereka sebagai kaum Alawiyin, atau sekarang biasa dikenal dengan sebutan “Habib”.

Tentang asal usul Habib, ganaislamika.com pernah mengulasnya dalam serial artikel berjudul “Melacak Asal-Usul Habib di Indonesia (1): Siapakah Habib?[1] Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa “Habib” yang secara tekstual berarti “kekasih” adalah gelar kehormatan yang ditujukan kepada para keturunan Nabi Muhammad SAW yang tinggal di daerah Lembah Hadhramaut, Yaman; Asia Tenggara; dan Pesisir Swahili, Afrika Timur.[2] Jadi, pada era yang relative sama, kiprah Habib tersebut tidak hanya terasa di Nusantara, tapi hampir di seluruh pesisir kawasan Samudera Hindia.

Sebagaimana sudah kita ulas sebelumnya, bahwa ilmu navigasi kuno di kawasan Samudera Hindia telah berhasil menciptakan jalur perdagangan purba yang demikian kompleks. Sehingga sirkulasi perdagangan, informasi dan komunikasi antara masyarakat di kawasan ini sudah terjalin sangat intens sejak ribuan tahun sebelum datangnya Islam. Pada awalnya, masyarakat Yaman, khususnya Hadramaut adalah peluat-pelaut yang aktif di Samudera Hindia. Namun mereka sempat menghilang dari dunia martim cukup lama. [3] Baru sejak datangnya Islam, masyarakat Muslim di Yaman kembali ke laut dan menjadikannya sebagai sarana untuk mengembangkan Islam dengan metode pengajaran mereka yang khas.

Tapi sebelum lebih jauh membahas tentang gelombang masuknya kaum Alawiyin ke Nusantara, sekilas kita ulas terlebih dahulu asal mula kaum Alawiyin tiba di Hadramaut hingga akhirnya sampai ke Nusantara. Karena bagaimanapun, corak keislaman yang sekarang ada di Nusantara memiliki identitas dan kekhasan tersendiri – yang hal tersebut tidak bisa dipisahkan dari proses pembentukan narasi keilmuan yang lahir di Hadramaut lebih dari satu millennium yang lalu.

Lokasi wilayah administratif Hadramaut sekarang. Sumber gambar: maphill.com

 

Hadhramaut sendiri merupakan wilayah yang sangat luas, merentang dari Teluk Aden sampai perbatasan Dhofar di selatan Jarizah Arab. Di zaman modern, Hadhramaut merupakan provinsi terbesar Yaman karena meliputi 36% dari keseluruhan luas wilayah Republik Yaman.[4] Pada abad ke 8 dan 9 M, masyarakat Yaman umumnya sudah memeluk Islam. Namun disebabkan posisinya yang tidak terlalu krusial, tempat ini terbilang jauh dari hiruk pikuk dinamika politik Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad, Irak.

Atas dasar berpertimbangan tersebut, pada tahun 317 H, salah satu anak keturunan Rasulullah SAW bernama Ahmad bin ‘Isa bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memutuskan meninggalkan Basrah dan hijrah bersama keluarganya ke Hadramaut.

Musa Kazhim, dalam “Sekapur Sirih Sejarah ‘Alawiyin dan Perannya Dalam Dakwah Damai Di Nusantara: Sebuah Kompilasi Bahan”, mengisahkan awal masuknya kaum Alawiyin ke Hadramaut dan asal usul lahirnya nama “Alawiyin” sebagi berikut:[5]

Ratusan tahun setelah Nabi wafat, Ahmad bin ‘Isa lahir di Bashrah—kota pesisir terbesar di Irak. Sebagian ahli sejarah mencatat bahwa Imam Ahmad lahir pada tahun 241 H, sedangkan sebagian lain menyatakan tahun 260 H. Ayahnya, Sayid Isa, adalah keturunan Imam Ali Al-Uraidhi, putra keempat dari Imam Ja’far Ash-Shadiq yang merupakan generasi kelima dari keturunan Nabi Muhammad dari Siti Fathimah dan Imam Ali bin Abi Thalib.

Di masa hidupnya, Bashrah menyaksikan berbagai pergolakan dan pemberontakan oleh kelompok yang merasa ditindas oleh Dinasti Abbasiyah. Namun celakanya, rezim Abbasiyah menjadikan aksi-aksi protes dan pemberontakan itu sebagai dalih untuk semakin merepresi keturunan Nabi Muhammad yang tinggal damai di sana. Mudah diduga, rezim yang berkuasa melihat para keturunan Nabi ini sebagai rival serius kepemimpinan umat. Bukankah mereka adalah orang-orang yang dimuliakan oleh mayoritas umat Islam, dan bukankah terdapat tak kurang tradisi kenabian yang mendukung klaim kekhalifahan mereka? Satu demi satu, imam Ahlulbait dibunuh dengan kejam oleh penguasa Abbasiyah.

Kekejaman terhadap Ahlulbait ini memperdalam kemarahan rakyat atas Dinasti Abbasiyah dan menjatuhkan kredibilitasnya di mata rakyat. Puncaknya, Bashrah menyaksikan salah satu pemberontakan terbesar sepanjang sejarahnya yang dipimpin oleh seorang bernama Ali bin Muhammad yang lebih dikenal dengan julukan Shahib Az- Zinj. Akibatnya, kota pesisir itu pun bersimbah darah dan dirundung prahara yang memilukan.

Lantaran meluasnya aksi-aksi kekerasan yang mengancam hidup seluruh keturunan Nabi di Bashrah, maka Imam Ahmad bin ‘Isa pun memutuskan untuk pergi meninggalkannya pada tahun 317 H menuju ke Madinah. Rombongan berjumlah 70 orang itu mencakup putra beliau yang bernama Ubaidillah. Putra Ubaidillah yang lahir di Yaman bernama Alawi. Dari nama inilah, kemudian anak keturunan Imam Ahmad bin ‘Isa digelari ‘Alawiyin.

Pada tahun ke-2 hijrahnya atau pada tahun 319 H, beliau menunaikan ibadah haji beserta sebagian anggota rombongan. Setelah itu, beliau melanjutkan perjalanan hijrahnya menuju Hadhramaut. Menurut sebagian ahli sejarah, Hadhramaut dipilih karena pengaruh Dinasti Abbasiyah tidak sampai menjangkau ke sana.

Rombongan berhenti di beberapa tempat, seperti Wadi Douan, Hajrain, dan Jusyair, sebelum menetap di Husaisah—daerah yang berada di antara Tarim dan Seywun. Beliau pun lantas menetap di sana sampai menemui ajalnya pada tahun 345 H (965 M). Pusara beliau yang berbentuk kubah putih berdiri menawan di dataran wadi yang hingga hari ini terus menjadi pusat ziarah bagi para pengunjung lokal dan mancanegara. (AL)

Bersambung:

Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (5)

Sebelumnya:

Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara; Studi Kiprah Keturunan Arab Meracik NKRI (3)

Catatan kaki:

[1] Pembaca bisa mengakses artikel dimaksud pada link berikut: https://ganaislamika.com/melacak-asal-usul-habib-di-indonesia-1-siapakah-habib/

[2] Ismail Fajrie Alatas, Habaib in Southeast Asia, The Encyclopaedia Of Islam Three (Leiden: Brill, 2018), hlm 56.

[3] Natalie Mobini Kesheh menyebut orang-orang Hadramaut dikenal sebagai “orang Phoenicia dari Timur Tengah”. Karena mereka mirip dengan bangsa Phoenicia kuno (sekarang Lebanon dan Suriah). Perdagangan maritim mereka sudah mulai aktif sejak sekira lima abad sebelum masehi. Kiprah mereka sempat mengalami kemunduran, mereka bangkit kembali setelah masuknya agama Islam. Mereka berdagang sembari menyebarkan agama Islam. Lihat, https://historia.id/modern/articles/awal-mula-datangnya-orang-orang-arab-ke-nusantara-DnEMo, diakses 8 Agustus 2018

[4] Secara harfiah, Hadhramaut berarti “maut telah tiba”. Menurut salah satu pendapat, Hadhramaut diambil dari nama panggilan Amar bin Qahthan bin Abir bin Syalih bin Arfahsyad bin Sam bin Nuh. Sebab, tiap kali dia berperang, banyak korban jiwa yang melayang. Pendapat lain menyatakan bahwa setalah Allah menumpas kaum Tsamud, Nabi Saleh memindahkan 4000 kaumnya ke daerah ini dan di situlah “maut” menjemputnya sehingga orang menyebut kota itu dengan Hadhramaut (maut telah tiba). Pendapat lain lagi menyatakan bahwa Hadhramaut merupakan serapan bahasa Arab dari Hazarmaveth, nama putra Joktan, cucu Nabi Nuh yang termaktub dalam Perjanjian Baru Kitab Kejadian 10. Hadhramaut terdiri atas 30 kota, dengan ibu kota provinsi Mukalla. Syihr merupakan kota perdagangan penting yang berhubungan dengan pantai Afrika Timur, Laut Merah, Teluk Persia, India, dan pesisir Arab Selatan, terutama Muskat, Dhofar, dan Aden, serta benua Eropa. Syibam adalah kota kuno Hadhramaut yang dibangun menurut gaya tradisional. Di kota ini, terdapat lebih dari 500 buah rumah tanah liat yang dibangun rapat, bertingkat empat atau lima, berbanjar mirip seperti tetris. Orang Barat menjulukinya dengan “Manhattan of the Desert”. Lihat, Musa Kazhim, “Sekapur Sirih Sejarah ‘Alawiyin dan Perannya Dalam Dakwah Damai Di Nusantara: Sebuah Kompilasi Bahan”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hal. 5

[5] Ibid, hal. 4

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*