Sekolah Kaligrafi Islam (1): Jembatan Menuju Sukses

in Kaligrafi

Last updated on October 21st, 2017 07:24 am

“Ketika kau ingin tujuan dari perjuanganmu tercapai, jangan berbalik menjauh dari gurumu. Ajari anakmu menulis, dan ajari juga keluarga dan kerabatmu…., karena menulis akan membawamu kepada keberuntungan terbaik dan bangkit ke kedudukan tinggi bagi dia yang tidak memiliki kualifikasi: ini adalah keahlian, keahlian yang diberkahi di antara keahlian lainnya, dan dengan itu kelas bawah mampu untuk bangkit.”

~Ibnu ar-Rawandy, akhir abad ke-12~

Bagi bangsa Arab, silsilah adalah sesuatu yang penting. Silsilah kekeluargaan melekat dalam pribadi seseorang dan menjadi semacam alat identifikasi. Oleh karena itu dalam banyak kisah, bangsa Arab ketika sedang memperkenalkan dirinya seringkali memberikan keterangan bahwa dia adalah putra dari si fulan putra dari si fulan putra dari si fulan dan seterusnya yang kadang diucapkan sampai beberapa generasi jauh di atasnya. Sebut saja misalnya nama salah seorang sahabat Nabi, Saad bin Abu Waqqas Malik bin Uhayb bin Abdul Manaf bin Zuhrah dari Bani Zuhrah, salah satu klan dari suku Quraish. Saad bin Abu Waqqas memiliki silsilah yang jelas dan ujungnya dapat dilacak dia berasal dari klan mana. Namun, bagi seseorang yang silsilahnya tidak dapat dilacak dan berasal dari klan mana, maka sulit baginya untuk mendapat tempat dan mempunyai posisi tawar dalam lingkungan pergaulan bangsa Arab.[1]

Bagi bangsa Arab, silsilah akan menentukan status sosial bagi seseorang. Apabila dia keturunan para bangsawan, maka kebangsawanan tersebut akan terus melekat pada dirinya. Dengan lingkungan sosial yang seperti itu, maka bagi Ibnu ar-Rawandy kemampuan menulis adalah satu-satunya cara bagi golongan kelas bawah untuk dapat naik kelas ke kedudukan yang tinggi.

Tiga ratus tahun sebelum Ibnu ar-Rawandy, Ibnu al-Muqaffa melahirkan sebuah pepatah, “naskah, khatt,[2] adalah perhiasan bagi pangeran, kesempurnaan bagi orang kaya, dan kekayaan bagi orang miskin.” Pepatah tersebut memiliki kemiripan dengan kata-kata yang pernah diucapkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib, “ilmu adalah hiasan orang-orang kaya, dan kekayaan bagi orang-orang fakir miskin.”

Seni menulis adalah elemen terpenting dalam kebudayaan Islam, karena bagaimanapun Al-Quran sendiri dicatat dan disampaikan ulang dalam bentuk tulisan. Bahkan Nabi dan orang-orang suci pernah berkata bahwa pemilik rumah harus mengisi rumahnya dengan tulisan kaligrafi yang baik karena itu akan mendatangkan berkah.

Di peradaban lain, tulisan tangan (tanda tangan) digunakan sebagai sarana keabsahan dokumen di mata hukum, sebagaimana di Indonesia sendiri, tanda tangan dipergunakan di berbagai dokumen identitas. Fungsi lainnya, di dunia barat tulisan tangan dinilai untuk menilai latar belakang pendidikan dan budaya seseorang, dan tidak hanya di Barat, bahkan di daerah terpencil Afrika Barat pun tulisan tangan digunakan untuk  menilai latar belakang pendidikan dan budaya seseorang. Ada kisah populer dalam dunia kaligrafi, suatu saat seorang master kaligrafi asal Turki, Hafiz Osman, dalam perjalanan pulang dari Istambul ke Uskudar, beliau ketinggalan dompet, kemudian dia membayar tukang perahu yang buta huruf dengan kaligrafi bertuliskan ‘wau’ yang artistik. Kisah ini menggambarkan, bahkan seseorang yang buta huruf pun menghargai kaligrafi.

Pada umumnya, golongan kelas menengah ke atas keluarga muslim mendapat pendidikan dasar kaligrafi, namun untuk pendidikan lebih lanjut mereka akan memanggil khattat (kaligrafer) untuk mendidik anak-anaknya. Khattat yang akan dipanggil mesti memiliki kualifikasi khusus, pertama bagaimana latar belakang pendidikan kaligrafinya, dan kedua bagaimana latar belakang keluarganya.

Menjadi seorang khattat bukanlah sesuatu yang mudah, mereka mesti menempuh jenjang pendidikan yang panjang untuk mendapatkan ijazah dari seorang khattat. Di dalam ijazah nanti akan tercantum tandatangan master khattat yang menyatakan bahwa orang tersebut telah menempuh pendidikan kaligrafi di sekolahnya, dan dalam beberapa kasus, master khattat juga memberikan gelar tertentu bagi penerima ijazah. Meskipun tahu jalan untuk menuju khattat  sedemikian berat, namun bagi para pecinta kaligrafi yang mendambakan kesuksesan jalan tersebut akan tetap ditempuhnya, sehingga pada masa itu muncul sebuah kalimat yang sangat terkenal, “dengan berjalan di lembah kaligrafi, dia menjadi ternama dan terkenal.”

Ijazah untuk Kaligrafer Turki, Ali Ra’if Efendi, yang ditandatangani oleh dua orang master kaligrafer. Koleksi perpustaan Kongres Amerika Serikat, Washington DC.

Untuk mempelari kaligrafi, pada awalnya seorang calon khattat diwajibkan untuk mempelajari Sufisme yang di dalamnya di antaranya mengandung puisi dan musik. Pada waktu itu, atau pada masa abad pertengahan Islam, tradisi Sufisme memang sedang berkembang pesat. Di dalam sufisme, silsilah keguruan seseorang adalah suatu hal yang sangat penting, karena silsilah tersebut merupakan rantai penghubung menuju ikatan spiritual yang melekat pada generasi-generasi sebelumnya. Dengan silsilah, maka seorang khattat dapat dilacak dia berpusat ke aliran mana, atau bersumber dari pendiri aliran yang mana.

Kata-kata Pythagoras, kaligrafi oleh Yaqut Al-Musta’simi, dan lukisan oleh Mahmud b. Abi’l-Mahasin Al-Qashi, Irak, akhir abad ke-13. Koleksi Museum Aga Khan, Toronto, Kanada.

Berbicara aliran kaligrafi, terdapat dua aliran besar yang secara silsilah bisa dilacak ke pendiri aliran tersebut, yaitu Naskh dan Nasta’liq. Aliran Naskh pendirinya adalah Yaqut al-Musta’simi, seorang Muslim kelahiran Yunani, selain sebagai khattat, dia juga dikenal sebagai sekretaris terakhir dinasti Abbasiyah;[3] di Turki ada syaikh Hamdullah al-Amasia dan Hafiz Osman. Aliran Nasta’liq, atau gaya Persia, pendirinya adalah Mir Ali Tabriz (wafat 1420), Sultan Ali Mashhad (1442-1519), dan Mir Ali al-Katib (wafat 1556). Di kemudian hari Nasta’liq dikembangkan oleh Mir Imad (dibunuh tahun 1615).

Nasta’liq karya Mir Ali Tabriz. Koleksi milik Museum Louvre, Paris, Prancis.

Data-data mengenai kisah hidup para master kaligrafer tersebut sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Misalnya saja kisah hidup Yaqut, konon dia pernah mendapatkan penghargaan dari raja Delhi, Muhammad Thugluq (wafat 1351); selain itu master Sufi Abdul Qadir Jaelani (wafat 1166) juga dikatakan mengagumi karya-karya Yaqut. Jika informasi-informasi tersebut benar, mestilah usia Yaqut mencapai 200 tahun. Wallahualam. (PH)

Bersambung ke:

Sekolah Kaligrafi Islam (2): Disiplin Seorang Murid

Catatan:

Sebagian besar dari artikel ini adalah adaptasi dan terjemahan bebas dari buku: Annemarie Schimmel, Calligraphy and Islamic Culture, (London: I.B Tauris & Co Ltd, 1990). Adapun data-data lain yang didapat dari luar buku tersebut dicantumkan dalam catatan kaki.

Catatan kaki:

[1] Selengkapnya mengenai gambaran kondisi sosial budaya Arab dapat dibaca dalam buku: Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 45-68.

[2] Arti “Khatt” adalah kaligrafi Arab, baca: Julia Kaestle, “Arabic calligraphy as a typographic exercise”, dari laman: http://ilovetypography.com/2008/07/10/arabic-calligraphy-as-a-typographic-exercise/, diakses 17 Oktober 2017.

[3] “Yaqut al-Musta’simi”, dari laman: https://en.wikipedia.org/wiki/Yaqut_al-Musta%27simi, diakses 18 Oktober 2017.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*