Setelah mempersiapkan pena dan tinta, hal lain yang mesti dipersiapkan oleh seorang khattat (kaligrafer) adalah kertas. Kertas adalah salah satu perlengkapan kaligrafi yang harus diperlakukan dengan spesial. Manufaktur kertas pertama kali diperkenalkan ke dunia Arab setelah tahun 751, dan kertas adalah salah satu alasan utama atas berkembangnya seni menulis tangan dengan ornamen lengkungan.
Pada awal perkembangannya, kertas yang datang dari Samarqand dan Syria dianggap sebagai yang terbaik, namun di kemudian hari ditemukan banyak sekali tempat yang memproduksi kertas, beberapa di antaranya berasal dari India (kertas dari Daulatabadi, Adilshahi, dan Nizamshahi tercatat dibuat pada abad ke-15). Sementara China memproduksi kertas dari bahan sutra, yang mana digunakan oleh Dinasti Timur untuk kepentingan dokumentasi kerajaan maupun untuk penyalinan Al-Quran. Tetapi, semua kertas, apapun kualitasnya semua terbuat dari kain perca. Khaqani, pada pertengahan abad ke-12, dengan elegan memberikan dua “bahan” terindah untuk kanselir kerajaan dalam bentuk syair pujian, untuk “Shah dari dua Irak”:
“Pagi adalah kertas Syria,
dan meteor adalah pena Mesir”
Setelah memilih kertas dengan kualitas terbaik, para khattat melaminasi kertas dengan ahar, yaitu campuran tepung beras, pati, biji quince (sejenis apel atau pir), putih telur, dan bahan-bahan lainnya. Campuran ini kemudian di-press sampai menyatu dengan kertasnya, sehingga permukaan kertas menjadi lembut dan mengkilat, yang mana nantinya dapat membuat pena meluncur dengan lancar. Kalim menyanyikan sebuah lagu tentang sebuah pedang yang tajam dengan kata-kata hyperbola:
“Ketika kertas menerima huruf dari penggambaran sebuah
pedang, kertas dan ahar hancur!”
Langkah selanjutnya adalah memanaskan kertas dengan segenggam batu yang telah dipanaskan—jenis batu akik adalah favorit—untuk menghilangkan permukaan yang tidak rata. Setelah itu, khattat akan menaruh mastar di antara dua kertas. Mastar adalah benang sutra yang dibentuk menjadi rangka dengan bagian dalamnya terdapat garis-garis pembatas. Mastar difungsikan sebagai penanda agar tulisan tidak keluar dari rangka dan baris. Satu mastar dapat digunakan untuk menandai dua halaman sekaligus sehingga akan muncul garis-garis samar yang halus.
Apabila seorang khattat ingin membuat sebuah kata dengan aransemen khusus yang disebut dengan bentuk tughra, sebelumnya dia harus menggambar dulu sebuah pola pada media lain, kemudian melekatkannya pada kertas menggunakan jarum, dan membuat titik-titik yang berurutan di atas abu batu bara, yang mana memang biasa digunakan untuk membuat garis luar pada sebuah gambar, setelah itu semua barulah keseluruhan kata/huruf dapat dituliskan. Proses yang sama juga dilakukan pada media yang lebih besar, yaitu desain arsitektur pada sebuah bangunan, yang mana terbukti dapat bertahan dalam jangka waktu yang amat lama.
Setelah pekerjaan pendahuluan ini selesai, maka seorang khattat dapat memulai menuliskan kalimat ayat suci atau puisi ke dalamnya. Namun sebelum ke tahap itu, dia harus mengisi halaman demi halaman atau papan demi papan kayu dengan mashq (latihan), yang mana harus dicuci terus menerus (tintanya dapat dilarutkan dengan air). Bagi seorang master khattat ternama, bahkan hasil karya latihannya pun dianggap bernilai seni tinggi, dan seringkali itu—walaupun itu hanya hasil karya latihan—disimpan, bukannya dihapus. Kegiatan mashq ini diabadikan dalam sebuah puisi dengan bentuk metafora karya Fani dari Kashmir yang berjudul “buku kehidupan”:
“’Air mata’ seorang anak melihat begitu banyak tulisan dan dihapus,
dan lalu, karena kebingungan, dia tidak menjadi bersahabat
dengan buku”
Pada level seorang murid pemula, dia hanya diperkenankan untuk membuat sawwadahu (sketsa), sementara bagi seorang murid tingkat lanjutan, baru lah dia diperkenankan untuk membuat mashaqahu (latihan). Paling tidak, itulah yang dipraktekkan di Turki.
Bahkan bagi seorang khattat yang sudah ternama pun, terkadang dia masih suka menyingkirkan halamannya apabila itu dinilai kurang sempurna. Dalam kasus Hafiz Osman, seorang master khattat dari Turki, dia mengambil halamannya yang kurang sempurna (disebut mukhraj, yang berarti “diambil keluar”) dan terkadang menyimpannya dalam satu album khusus.
Hal lainnya yang mesti diperhatikan seorang khattat selama proses berlatih adalah dia dilarang mengangkat beban yang terlalu berat, hal itu dilakukan demi melindungi tangannya. Namun ada sebuah fakta menarik terkait larangan tersebut, pada kenyataannya seorang master khattat yang bernama Shaykh Hamdullah (wafat 1519) selama hidupnya dikenal sebagai olahragawan yang handal. Dia diketahui suka berenang di selat Bosporus, sambil membawa beban berupa karya tulis dan segala perlengkapannya dengan cara digigit. Tidak hanya pandai berenang saja, dia pun juga diketahui menguasai ilmu memanah. Sebagaimana karya seni berkualitas tinggi lainnya yang selama proses pembuatannya membutuhkan konsentrasi tinggi, mungkin bagi Shaykh Hamdullah memanah adalah salah satu metode latihan spiritual untuk menajamkan mata dan pikirannya.
Berbicara mengenai konsentrasi tingkat tinggi, terdapat sebuah kisah, seorang khattat yang sedang duduk berkonsentrasi membuat huruf “wau” yang sempurna di dalam sebuah basement kecil, sama sekali tidak menyadari datangnya sebuah gempa yang besar di Tabriz karena saking berkonsentrasinya.
Setelah menyelesaikan pembuatan karya kaligrafi, seorang khattat akan menyimpan dokumennya dengan ditutup pasir secukupnya, yang mana hal tersebut diyakini dapat membuat karyanya menjadi awet dan bertahan lama. (PH)
Bersambung….
Sebelumnya:
Catatan:
Sebagian besar dari artikel ini adalah adaptasi dan terjemahan bebas dari buku: Annemarie Schimmel, Calligraphy and Islamic Culture, (London: I.B Tauris & Co Ltd, 1990). Adapun apabila ada data-data lain yang didapat dari luar buku tersebut, akan dicantumkan dalam catatan kaki.