Semua Agama itu Islam (2)

in Studi Islam

Allah menciptakan segala sesuatu secara sedemikian teratur dan sempurnanya sehingga tampak begitu misterius, tak teratur, chaotic. Misteri dan chaos inilah yang menggetarkan hati dan meluruhkan jiwa manusia, membuatnya terdiam dan terkesima, sehingga ia menjadi tertunduk diam dan tersungkur malu di hadapan Allah.

—Ο—

 

Menjawab tujuan penciptaan manusia dan jin, Allah berfirman,

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS Adz-Dzariyaat: 56).

Penyembahan dan ibadah yang tercantum dalam ayat di atas tentunya mempunyai makna yang bertingkat-tingkat, dan setiap orang boleh memaknainya sesuai dengan tingkat pengetahuan dan pengalamannya. Dalam bahasa saintis, ibadah ini berarti kegiatan berevolusi secara alamiah. Mengikuti pandangan ini, penyembahan berarti gerak evolusioner manusia dari ketakteraturan (chaos) dan potensialitas murni menuju kepada Tuhan sebagai Perancang aturan dan Penyampai informasi.[1] Neils Gregersen menunjukkan bahwa pandangan semacam ini konsisten dengan perintah Tuhan dalam Kitab Kejadian (Genesis):

“Hendaklan air mengeluarkan sekawanan makhluk hidup…Hendaklah bumi mengeluarkan segala jenis makhluk yang hidup, ternak dan binatang melata, dan segala jenis binatang liar…Beranak cuculah dan bertambah banyaklah.”[2]

Seperti dengan mudah dapat kita lihat, ketidakteraturan atau potensi tidak-terukur merupakan penggerak seluruh makhluk berpegang dan bergelayut kepada Sang Pencipta. Betapapun makhluk atau hamba tidak akan mampu mendekat, tetapi fitrah semua makhluk ialah untuk tergerak mendekati Allah. Segala sesuatu, dengan caranya sendiri-sendiri, akan menghampiri Pusat Wujud agar senantiasa dapat terhubungkan dengan-Nya.

Nemun demikian, hamba harus selalu sadar akan keterbatasan dirinya. Dalam menempuh lika-liku jalan menuju Pusat, hamba harus selalu menghayati sifat-hakikinya sebagai hamba, dan tidak lupa akan hakikat itu. Begitulah maksud kata-kata Imam Ali berikut:

“Siapa saja yang, dengan cara apa pun, memusatkan seluruh perhatiannya dan memutar otaknya, untuk mengetahui bagaimana cara-Mu menegakkan ‘arsy-Mu, bagaimana Kauciptakan segala ciptaan-Mu, bagaimana Kaubentangkan bumi-Mu di atas gelombang air…, siapa saja yang berusaha mengetahui itu semua, pandangannya pasti akan kembali dengan kegagalan, dalam keadaan letih lesu, akalnya tercengang terpesona, pendengarannya kebingungan dan pikirannya terheran-heran.”[3]

Kata-kata Imam Ali tentang pandangan yang kembali dalam kepayahan dan keletihan ini sesungguhnya merujuk pada ayat berikut:

Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.” (QS Al-Mulk: 4).

Ayat di atas hendak menunjukkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu secara sedemikian teratur dan sempurnanya sehingga tampak begitu misterius, tak teratur, chaotic. Misteri dan chaos inilah yang menggetarkan hati dan meluruhkan jiwa manusia, membuatnya terdiam dan terkesima, sehingga ia menjadi tertunduk diam dan tersungkur malu di hadapan Allah. Dalam keadaan seperti itu, manusia akan terus berupaya meneguhkan jati dirinya sebagai hamba, ‘abd, yang papa, lemah, bodoh dan sebagainya.

Artikel terkait:

Tafsir Tematik – Islam, Nama Generik Semua Agama Samawi (2)

Ibn Arabi: Hidup Ini Hanyalah Mimpi

Menurut para sufi, dalam menapaki jalan menuju Allah, manusia akan menemukan Sifat-sifat Jalaliyyah (Keagungan) dan Jamaliyyah (Keindahan) Allah. Kedua kategori Sifat Ilahi ini akan melahirkan keseimbangan antara ketakjuban dan keakraban, ketakutan dan harapan sang hamba kepada Allah. Ini berimplikasi bahwa hamba harus selalu membangun hubungannya dengan Allah secara seimbang. Hamba harus takut kepada Allah, tetapi tidak berputus-asa kepada-Nya.

Demikianlah, puncak tasawuf sebenarnya adalah realisasi (tahaqquq) dan penghayatan terhadap kehambaan kepada Allah. Dalam mencapai kehambaan itu, sebagian sufi (seperti Al-Ghazali) menekankan ketakutan, sementara sebagian lain (seperti Jalaluddin Rumi) menekankan kecintaan. Penekanan ini, lagi-lagi, sangat terkait dengan tingkat pemahaman dan pengalaman kita menuju kepada Allah. Oleh sebab itu, tasawuf Islam mengajarkan kepasrahan (islam) kepada Allah. Dan dalam keadaan pasrah inilah hamba akan merasa damai (salam) ketika menemukan sisi menakutkan dan sisi yang melahirkan cinta kepada Allah. Kepasrahan adalah syarat mutlak bagi manusia untuk dapat mempertahankan perilaku baik di dunia dan hati damai (qalbun salim) saat berjumpa dengan Allah (QS Asy-Syu’araa: 89). Itulah sebabnya Al-Quran menyebut Islam (kepasrahan dan penyerahan) sebagai agama yang dianut semua nabi. Allah berfirman:

Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kalian sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh (muslim) kepada-Nya.’”

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

Sesungguhnya agama di sisi Allah (hanyalah) Islam.” (QS Ali Imran: 19)

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Ali Imran: 85).

Islam tidak saja berarti kepasrahan (taslim), melainkan juga berarti kedamaian (salam), sebagaimana keimanan (iman) mengandung arti rasa aman dan tenteram (amn). Dengan demikian, kepasrahan dalam Islam tidak hanya akan melahirkan ketundukan dan kepasifan dalam diri seseorang, tetapi juga akan melahirkan keimanan yang menenteramkan dan menyejahterakan.[4] (MK)

Selesai

Sebelumnya:

Semua Agama itu Islam (1)

Catatan kaki:

[1] Lebih jauh, lihat Ian Barbour, Juru Bicara Tuhan, Mizan, 2002, Bab 6.

[2] Ibid

[3] Imam Ali, Mutiara Nahjul Balaghah, Mizan, 1993, hal. 26

[4] Untuk lebih jauh mengenai buah dan pengaruh keyakinan agama pada seseorang, lihat Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, (Lentera, 2002), khususnya pada Bab 3.

1 Comment

  1. Ya, kalau secara matematik, a = b; b = c. Jadi a = b = c. Jadi memang tidak sepantasnya saling mengkafirkan. Beribadahlah sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Leave a Reply to Sukarman Ardi Cancel reply

Your email address will not be published.

*