“Dari awal sampai akhirnya, Shajarat al-Durr adalah kisah tentang wanita” (“a woman’s story from first to last”)
—Ο—
Tak lama setelah Shajarat al-Durr diangkat menjadi Sultan Mesir, tantangan pertamapun datang, yaitu budaya patriarki itu sendiri. Tidak sedikit yang mengecam keputusan yang menempatkan Shajarat al-Durr sebagai “Khilafah” dan memerintah satu areal kekuasaan yang cukup luas pada masanya. Kecaman ini tidak hanya datang dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri.
Salah satu kritik atau kecaman serius datang dari Abbasiyah, dimana Khalifah al-Musta’sim dikatakan telah menyatakan: “Kami telah mendengar bahwa anda diperintah oleh seorang wanita sekarang. Jika anda kehabisan orang di Mesir, beri tahu kami supaya kami dapat mengirimi anda seorang pria untuk memerintah anda.”
Akhirnya, untuk meredam situasi yang kurang kondusif ini, Shajarat al-Durr kemudian menikahi seorang prajurit rendahan bernama Izz al-Din Aybek dari Mamluk, dan memberikan mahkota kepadanya. Sejarah mencatat, Shajarat al-Durr praktis hanya memerintah selama 80 hari sebagai Sultan Mesir secara de facto maupun de jure, sebelum akhirnya mahkota berpindah ke Izz al-Din Aybek.
Meski begitu, siapapun tau bahwa Aybek hanya dalih. Secara de facto, kekuasaan di Mesir tetap dipegang sepenuhnya oleh Shajarat al-Durr. Secara de facto, pemerintahan Shajarat al-Durr di Mesir berlangsung selama 7 tahun. Dikatakan oleh para sejarawan, bahwa ia memiliki tipe kepemimpinan yang sangat kuat, serta berhasil menegakkan keadilan dan menyejahterakan masyarakatnya. Sehingga rezim pertama Mamluk – yang sebenarnya orang asing di Mesir – mendapat legitimasti dan dukungan yang luas dari masyarakat setempat.
Shajarat al-Durr meninggal dunia pada tahun 1257 masehi. Hanya saja, kisah akhir kehidupan Shajarat al-Durr sangat tragis. Iapun mungkin tidak pernah menyadari bahwa keputusannya 7 tahun yang lalu, ketika ia menikahi Aybek akan berbuah pahit.
Ceritanya, pada saat Aybek dinikahi Shajarat al-Durr, ia sudah memiliki seorang istri yang bernama Ummu Ali, dan memiliki juga seorang putra. Karena pernikahannya, Aybek akhirnya menelantarkan anak dan istrinya. Namun lama kelamaan, Aybek pun mulai bosan dengan peran yang dimainkannya. Ia pun akhirnya melancarkan pemberontakan kepada Shajarat al-Durr pada tahun 1254. Namun pemberontakan ini berhasil dipadamkan oleh Shajarat al-Durr.
Pada tahun 1257 Aybek mengambil keputusan yang fatal. Untuk meningkatkan kekuatannya, ia kemudian meminang seorang istri dari salah satu kerajaan yang cukup kuat pada masa itu. Mendengar rencana ini, Shajarat al-Durr menimbangnya secara strategis. Rencana jangka panjang Aybek terbaca jelas, ia bermaksud menggandakan kekuatannya dengan menikahi seorang putri. Dan ini bagi Shajarat al-Durr adalah sebuah rencana pengkhianatan yang besar. Aybek pun akhirnya menjadi tahan rumah. Ia di tempatkan di paviliun belakang istana. Tapi keputusan ini ternyata tidak disukai oleh banyak orang-orang Mamluk. Seorang Sultan ditahan di dalam Istana oleh istrinya, adalah sebuah hal yang aneh pada masa itu.
Melihat keputusannya yang kurang populis, akhirnya Aybek dibebaskan oleh Shajarat al-Durr hanya beberapa bulan kemudian. Tapi tak lama setelah bebas, berita duka pun datang. Aybek dikabarkan meninggal. Shajarat al-Durr menceritakan bahwa ia meninggal wajar di tempat tidurnya. Namun alibi ini ditolak oleh orang-orang Mamluk. Dukungan orang-orang Mamluk kepada Shajarat al-Durr-pun dicabut. Ia pun kemudian dihukum.
Adalah Al-Mansur Ali, putra Aybek yang ditelantarkan, dari perkawinannya dengan Ummu Ali, kemudian didaulat menjadi Sultan menggantikannya. Vonis terhadap Shajarat al-Durr pun dijatuhkan oleh Al-Mansur Ali. Kabarnya, kaki Shajarat al-Durr di seret lalu tubuhnya kemudian dijatuhkan dari atas Benteng Kairo. Ia kemudian dimakamkan di tempat yang memang sudah dipersiapkan olehnya semasa hidupnya. Makam itu menjadi salah satu makam paling indah di Kairo.
Hari ini, sejarah lebih mengenal Aybek dan Al Mansur Ali sebagai pendiri dinasti Mamluk, dan nyaris tidak menyebut peran besar Shajarat al-Durr, selain kemenangannya pada Perang Salib. Putra Aybek, Al Mansur Ali, pada saat naik tahta masih berusia sangat belia, sekitar 15 tahun. Figurnya ternyata tidak cukup kuat bertahan di atas singgasana. Hanya 2 tahun memerintah, hingga akhirnya pada 1259, ia mengundurkan diri dan menyerahkan tahta kepada wazirnya, al-Muzhafar Saifuddin Qutuz.
Qutuz-lah nanti yang berhasil mengalahkan pasukan Mongol yang sudah berhasil menyapu bersih hampir seluruh daratan Asia. Kemenangan Qutuz ini begitu monumental. Sebab baru kali ini, sejak Jengis Khan mendirikan imperium Mongolia, pasukan Mongol dapat dikalahkan.[1] Bagi Qutuz, kemenangan ini merupakan modal legitimasi yang tak terbantahkan oleh para pesaingnya atas tahta yang dimilikinya. Dari dialah nanti Sultan-Sultan Mamluk yang memerintah Mesir dilahirkan.
Dinasti Mamluk tercatat berhasil mempertahankan kekuasaanya di Mesir hingga awal abad ke 19 masehi. Dan nama serta jasa Shajarat al-Durr menguap begitu saja. Tapi sejarah seperti memeram cerita awalnya. Pada tanggal 1 Maret 1811 M, orang-orang Mamluk ini kemudian dibantai oleh Muhammad Ali Pasha di Benteng Kairo, tempat yang sama dimana Shajarat al-Durr dieksekusi.[2] Kisah pembantai ini mengakhiri masa pemerintahan dinasti Mamluk di Mesir hingga sekarang.
Sampai hari ini nama Shajarat al-Durr menjadi salah satu tokoh sejarah paling populer di Mesir. Tapi bagi sejarawan Barat dalam Perang Salib, dia hanya “sosok kebetulan”. Tapi bagi penulis sejarah Muslim abad pertengahan, dia begitu dihormati sebagai seorang penguasa terhormat yang dengan cerdik menegosiasikan sebuah akhir dari Perang Salib Ketujuh dan memperantarai transisi dua dinasti besar – akhir dari Ayyubiyah dan permulaan Mamluk.
Sedangkan sebagai sosok seorang perempuan, Shajarat al-Durr adalah figur yang kompleks dan menginsiprasi. Ilmuwan American University of Cairo, Susan J. Staffa berpendapat tentang kisah hiduap Shajarat al-Durr. Menurutnya, “Dari awal sampai akhirnya, Shajarat al-Durr adalah kisah tentang wanita” (“a woman’s story from first to last”). (AL)
Selesai
Sebelumnya:
Catatan: Artikel ini adalah adaptasi dan diterjemahkan secara bebas dari artikel Tom Verde berjudul “Malika III: Shajarat Al-Durr”, http://www.aramcoworld.com/en-US/Compilations/2017/Malika/Malika-III-Shajarat-al-Durr, diakses 22 Desember 2017. Adapun beberapa infomasi lainnya, kami tulisakan di catatan kaki.
Catatan kaki:
[1] Tentang kisah kemenangan Qutuz menghadapi pasukan Mongol, simak cerita selengkapnya di: https://ganaislamika.com/invasi-mongol-ke-baghdad-1258-m-3/
[2] Terkait kisah pembantaian di bentang Kairo ini, selangkapnya dapat dibaca artikel https://ganaislamika.com/pembantaian-di-benteng-kairo-titik-nol-sejarah-mesir-modern/