Shirathal Mustaqim dalam Pandangan Ibnu Arabi (1): Suluki dan Wujudi

in Studi Islam

Last updated on June 21st, 2020 12:18 pm

Muhammad Nabi di Shirathal Mustaqim Suluki yang memiliki kembarannya sebagai Nur Muhammad di Shirathal Mustaqim Wujudi

Gambar ilustrasi. Sumber: islampos.com

Istilah Shirathal Mustaqim beberapa kali ditemukan di dalam Alquran. Di antaranya adalah di dalam Surah Hud ayat 63, yang berbunyi:

إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُم ۚ مَّا مِن دَابَّةٍ إِلَّا هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا ۚ إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus“. (Qs. Hud [11]:56)

Dalam ayat di atas Shirathal Mustaqim dijelaskan sebagai Jalan Ilahi yang mengendalikan ubun-ubun semua makhluk hidup. Tapi dalam Surah Al-Fatihah yang dibaca dalam tiap shalat wajib dan sunah Shirathal Mustaqim diungkapkan sebagai harapan puncak setiap kaum Muslimin ( اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ ). Semua kita diperintah untuk meminta petunjuk agar sampai ke Shirathal Mustaqim tersebut.

Maka itu, dalam khazanah Islam, muncul sejumlah pertanyaan mengenai konsep Shirathal Mustaqim ini. Apakah ia (Shiratahal Mustaqim) jalan Ilahi yang mencakup segala sesuatu ataukah ia merupakan jalan suluk yang diharapkan semua orang sampai kesana? Dalam penggunaannya, istilah Shiratahal Mustaqim selalu muncul dalam bentuk tunggal, bukan jamak. Apakah maksudnya inilah satu-satunya jalan? Lalu mengapa kaum urafa seperti Ibnu Arabi memunculkan istilah Shiratahal Mustaqim Wujudi dan Shiratahal Mustaqim Suluki? Apakah keduanya jalan yang sama maknanya tetapi berbeda derajatnya ataukah keduanya adalah jalan yang sama sekali berbeda?

Untuk menjawab sekilas sejumlah pertanyaan di atas, kita perlu merujuk pada rumusan Ibnu Arabi tentang istilah Shiratahal Mustaqim dan pembagiannya menjadi yang bersifat Wujudi dan Suluki. Dan untuk itu, pembaca perlu memahami sebuah pengantar ringkas tentang Kitab Wahyu dan Kitab Penciptaan yang diperkenalkan oleh para ahli makrifat seperti Ibnu Arabi.

Ibnu Arabi dan para pakar ahli makrifat memandang kitab Wahyu berjalan paralel dengan kitab penciptaan (kitab wujud). Keduanya saling mencerminkan satu sama lain sedemikian sehingga Ibnu Arabi menyebut alam penciptaan ini sebagai naskah (salinan) dari kitab Wahyu. Karenanya, tak ada huruf maupun kalimat yang sia-sia dalam Kitab Wahyu sebagaimana tak ada hal yang  sia-sia dalam Kitab Penciptaan.

Ibn Arabi memandang tiap huruf dan kata dalam Al-Qur’an bak  ilmuwan alam memandang tiap partikel di alam semesta: tak ada yang sia-sia dan tanpa tujuan. Tiap huruf dan kata itu memiliki makna yang berbeda-beda, bergantung pada ragam konteks dan waktu serta maqom pembacanya. Tiada kata yang sinonim, sebagaimana tiada pengulangan tajalli di alam wujud ini.

Kitab Wahyu memiliki keteraturan dalam keanekaragamannya sebagaimana sifat alam. Semuanya punya tempat yang bermakna dalam keseluruhan, dan punya makna yang khusus dalam konteksnya masing-masing. Sebagai implikasi pandangan itu, Ibnu Arabi bersikap sangat literalis dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi. Bahkan, keseluruhan korpus pemikirannya berjalin berkelindan tidak terpisahkan sama sekali dengan kerangka linguistik  bahasa Arab Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabawi.

Paralelisme Kitab Wahyu dan Kitab Penciptaan pada gilirannya menjadi pijakan banyak ahli makrifat dalam menjelaskan berbagai metafora dan menafsirkan aneka macam perumpamaan dalam Al-Qur’an. Contoh yang populer di antaranya adalah ketika mereka menafsirkan Ayat Cahaya dalam Surah An-Nur, ayat 35.

Secara kebahasaan, shirath berarti jalan besar, luas, lebar dan tinggi. Shirath dalam Al-Qur’an hampir selalu disandingkan dengan mustaqim (lurus), kecuali dalam sedikit kasus yang diantaranya disandingkan dengan sawiy yang artinya juga lurus, sekalipun berbeda nuansa makna dengan mustaqim. Penyandingan shirath dan mustaqim ini memang logis. Alasannya, jalan yang besar, luas, lebar dan tinggi juga harus lurus tidaklah mungkin sama dengan jalan-jalan kecil dan sempit yang berliku-liku dan berimpitan dengan jalan-jalan kecil dan sempit lain di sisi kanan dan kirinya.

Sebagai konsekuensi dari makna shirath yang seperti itu, maka dalam Al-Qur’an kata ini selalu digunakan dalam bentuk tunggal, bukan plural. ini membuktikan bahwa Al-Qur’an itu sangat presisi dalam penggunaan kata dan istilah, sebagai penjelas dan petunjuk bagi Kitab  Penciptaan yang juga tersusun secara presisi dan rapih.

Selanjutnya, seperti yang disampaikan oleh Ibnu Arabi, di dalam jalan shirath terdapat banyak sabil (subul) yang  bermakna jalan kecil yang boleh jadi juga berliku-liku, melingkar dan sebagainya. Dan karena itulah sabil di dalam Al-Qur’an digunakan dalam bentuk tunggal maupun jamak. Misalnya dalam akhir surah Al-Ankabut, Allah SWT berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al Ankabut:69)

Dalam pandangan Ibnu Arabi, lantaran sifat Shirathal Mustaqim yang seperti itu, maka ia kerap dikaitkan dengan Yang Ilahi. Dan dalam relasinya dengan Yang Ilahi itu, Shirathal Mustaqim terbagi secara paralel dalam dua aspek: Shirathal Mustaqim Wujudi dan Suluki. Shirathal Mustaqim Wujudi adalah pemberian Allah dan rahmat-Nya yang mencakup segala sesuatu sehingga tiap makhluk memiliki bentuk tertentu yang sesuai dengan kapasitasnya, tiap makhluk merasakan karunia dan pemberian-Nya, tanpa terkecuali.

Shiratal Mustaqim dalam dimensi ini adalah pemberian wujud terhadap segala sesuatu tanpa terkecuali, tanpa ikhtiar, tanpa usaha dan permintaan. Inilah Mabda Al-Faydh (Sumber Emanasi) yang melimpah kepada semua.  Sebagaimanan Sunnatullah dan hukum hukum alam yang bersifat takwini maka  Shirathal Mustaqim itu pun bersifat majbur, diberikan secara niscaya, bukan karena pilihan dan kehendak bebas kita.

Berdasar paralelisme di atas, maka Shirathal Mustaqim wujudi ini punya kembarannya, yakni Shirathal Mustaqim Suluki. Dimensi ini sepenuhnya bergantung pada ikhtiar dan upaya masing-masing makhluk. Oleh sebab itu, meskipun Allah dekat dengan segala sesuatu secara Wujudi dan segala sesuatu juga dekat dengan Allah secara Wujudi, namun yang dekat dengan Allah secara suluki hanyalah para wali Allah, yang mukhlish, muhsin, penuh cinta, dan lain-lain. Para wali meraih dimensi kedekatan Suluki ini dengan usaha yang sungguh-sungguh, ketat dan tekun.

Jadi, kedekatan Wujudi segala sesuatu dengan Allah tidak sama dengan perbedaan derajat kedekatan suluki para wali dengan Allah. Kesalahpahaman ini dapat merancukan pemahaman kita tentang konsep-konsep irfan lainnya, bahkan menjadikan ilmu ini tanpa makna sama sekali, karena segalanya sudah taken for granted.

Syariat Muhammad menurut Ibn Arabi adalah Shirathal Mustaqim Suluki. Jadi Syariat Muhammad ini diperlukan untuk mencapai kedekatan Suluki dengan Allah. Sifat Shirathal Mustaqim Suluki yang luas, lebar, lurus dan mencakup (muhaymin) atas semua syariat lainnya serupa dan paralel dengan sifat Shirathal Mustaqim Wujudi yang mencakup segala yang maujud.

Sesuai dengan paralelisme di atas, maka “Muhammad” Shirathal Mustaqim Suluki punya paralelnya dalam Shirathal Mustaqim Wujudi, yakni Nur atau Haqiqah Muhammadiyyah yang dapat menampung segenap apa yang memerlukan dan membutuhkan.

Pembahasan kita masih berada pada tataran penjelasan dimensi Shirathal Mustaqim dalam terminologi Ibnu Arabi dan urafa pada umumnya. Jadi belum sampai pada soal truth claim. Diskusi berikut akan membahas hakikat Shirathal Mustaqim itu dan siapa yang berada di sana: Apakah semua yang mengaku Muslim berada di Shirathal Mustaqim suluki atau tidak? Sebaliknya, apakah semua non Muslim keluar dari Shirathal Mustaqim suluki atau tidak?

Mengingat sifat Shirathal Mustaqim wujudi dan suluki itu saling mencerminkan dan menjelaskan satu sama lain, maka siapapun yang tidak sampai ke Shirathal Mustaqim suluki tetap akan mendapat karunia lantaran Shirathal Mustaqim suluki adalah tanazzul (derivasi) dari Shirathal Mustaqim wujudi dan merupakan salinan darinya.

Berdasar itu maka kita dapat memahami konsep tawasul (mediasi), syafaat (penggenapan atau pembulatan), yakni mereka yang belum sepenuhnya memiliki kemampuan suluki akan mendapat penggenapan dan mendapat penutupan atas retakan atau luka yang menganga (jabr) serta pengampunan dan lain-lain. Seluruh konsep ini ada dalam ajaran Al-Qur’an menurut tafsir Irfani. (MK)

Bersambung ke:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*