Mozaik Peradaban Islam

Shirathal Mustaqim dalam Pandangan Ibnu Arabi (2): Semua Memiliki Jalan menuju Allah (1)

in Studi Islam

Last updated on June 25th, 2020 02:29 pm

Allah menurunkan apa yang sesuai dengan keunikan lokus manifestasi ilahi yang berbeda-beda. Allah berfirman, “Untuk tiap-tiap umat di antara kalian Kami berikan aturan (syariat) dan jalan yang terang (minhaj).”

Foto ilustrasi: LinkedIn

Salah satu metode Ibnu Arabi yang lazim kita saksikan dalam melihat perbedaan pendapat adalah mensitesiskan semuanya. Meski pendekatan ini bisa dikaitkan dengan kaidah umum di kalangan ulama Ushul yang berbunyi Al-Jam’ mahma amkana awla min al-tharh (sintesis berbagai dalil lebih diutamakan daripada membuangnya), tapi kalangan ahli makrifat seperti Ibnu Arabi mungkin menggunakan pendekatan sintetis dalam tataran yang lebih jauh sesuai dengan prinsip Wahdutul Wujud yang mereka yakini. Pendekatan sintetis itu dapat kita lihat dalam banyak uraiannya tentang beragam topik ilmu keislaman, mulai dari tafsir, fiqih sampai ontologi.

Dalam bagian ini Ibnu Arabi kembali memperjelas perbedaan Shirathal Mustaqim Wujudi dan Suluki. Dia memulai lagi dengan membedakan mana Shirathal Mustaqim Wujudi dan mana Shirathal Mustaqim Suluki dengan mengacu pada sejumlah ayat Alquran.

Pertama-tama Allah mengabarkan kepada kita tentang perkataan Nabi yang tertera dalam ayat 56 surah Hud:

إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Sesungguhnya Tuhanku di atas Shirathal Mustaqim.” (QS Hud [11]: 56)

Nabi menyebut Allah di atas Shirathal Mustaqim setelah beliau menegaskan “Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya…” Artinya beliau memastikan tidak ada yang keluar dari Shirathal Mustaqim Wujudi, karena Dia memegang dan mengendalikan semua makhluk. Shirathal Mustaqim ini bersifat majbur. Dan inilah makna istiqamah Wujudi.

Kemudian Allah menurunkan apa yang sesuai dengan keunikan lokus manifestasi ilahi yang berbeda-beda. Allah berfirman, “Untuk tiap-tiap umat di antara kalian Kami berikan aturan (syariat) dan jalan yang terang (minhaj).”

Minhaj adalah aturan-aturan suatu jalan yang sudah Allah tentukan. Siapa saja yang berjalan di luar jalan yang telah Dia tentukan maka dia telah melenceng dari sawa’ al-sabil (jalan lurus QS 2: 108; QS 5:12; 28: 22; dan 60: 1) yang telah ditetapkan untuknya.

Untuk itu, Nabi membuat beberapa garis di kedua sisi garis lurus untuk menandai syariat dan minhaj umatnya dan umat-umat lainnya. Setelah itu datang perintah kepada beliau, “Katakan kepada umatmu untuk berjalan di atasnya dan jangan menyimpang darinya.”

Beragam garis di sisi kanan-kiri garis lurus itu adalah syariat para nabi dan namus (kearifan lokal) yang sudah ada. Lantas beliau meletakkan tangannya di atas garis lurus yang di tengah dan berkata:

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan bahwa sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (subul) yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalannya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kalian bertakwa.” (QS al-An’am [6]: 153).

Beliau menisbahkan “jalanku” (shirathi) kepada dirinya dan tidak menyebut Shirat Allah dan menyifatinya dengan istiqamah dan tidak menyinggung garis-garis yang lain. Beliau tidak berbicara tentang lain-lainnya. Artinya, di sini beliau sedang berbicara tentang Shirathal Mustaqim Suluki yang beliau bawa, bukan yang Wujudi.

Ini jalan pilihan untuk mendekat kepada Allah, jalan naik tangga-tangga kesempurnaan. Maka itu, beliau berkata, “maka ikutilah ia” dan kata ganti “ia” di sini kembali kepada “shirat beliau”. Selanjutnya beliau berkata “dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (subul) yang lain”, yakni jangan ikuti berbagai syariat dan minhaj yang lampau.

Mengapa? Karena itu adalah syariat-syariat mereka, bukan syariatku dan kalian. Andaipun ada hukum mereka yang sesuai dengan syariat Nabi maka boleh diikuti sebagai syariat kita bukan sebagai syariat mereka. Jika tidak demikian, maka “jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalannya”.

Larangan ikut banyak syariat agar umat tidak bercerai-berai dari jalan Nabi Muhammad, bukan dari jalan Allah secara umum, karena jelas semua jalan adalah jalan Allah (sabilullah) dan Dia adalah tujuan semuanya. 

Ayat lanjutannya, “Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kalian bertakwa,” yakni jalan itu adalah penjagaan bagi kalian agar tidak berjalan di luar jalan Nabi. Perintah mengikuti satu jalan itu bertujuan agar dapat meraih ketakwaan.

Kemudian Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

“Sesunggunya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka beristiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: Janganlah kalian takut dan janganlah kalian merasa sedih; gembirakanlah mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian.” (QS Fussilat [41]: 30).

Yakni, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:”, dari syariat manapun mereka asalkan sesuai waktu dan momennya “‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka beristiqamah” di jalan yang telah Allah syariatkan bagi mereka untuk berjalan di atasnya. Maka “malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: Janganlah kalian takut dan janganlah kalian merasa sedih” karena kalian telah beristiqamah.

Lalu para malaikat itu akan berkata:

نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ

“Kamilah pelindung-pelindung kalian di dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh di dalamnya apa yang kalian minta.” (QS Fussilat [41]: 31).

Tafsirnya, “Kamilah pelindung-pelindung kalian di dalam kehidupan dunia”, yakni kami yang menolong kalian di dalam kehidupan dunia ketika setan hendak menggusur kalian dari jalan yang telah disyariatkan buat kalian untuk berjalan di atasnya dan meneguhkan kalian saat kalian bimbang untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukannya. Kami (para malaikat) itulah yang mengukuhkan kalian manakala musuh menggoyahkan kalian. Dan di dalam kehidupan “akhirat” dengan memberikan kesaksian untuk kalian bahwa kalian telah berpegang pada masukan kami ketika setan melontarkan bisikannya.

Namun demikian, semua punya karakter istiqamahnya masing-masing, sesuai dengan hikmah ilahi yang berlaku pada segala sesuatu. Karena itu Allah membenarkan ucapan Nabi Musa AS:

قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَىٰ كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَىٰ

“Musa berkata: Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberi kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya dan kemudian memberinya petunjuk.” (QS Ta Ha [20]: 50).

Maka segalanya beristiqamah dengan caranya masing-masing. Istiqamahnya tanaman adalah dengan tumbuh merunduk, sedangkan istiqamahnya hewan ialah dengan tumbuh tegak. Jika tidak demikian, maka keduanya takkan bisa dimanfaatkan. Jika tanaman tidak bergerak ke bawah agar dapat meminum air dengan akar-akarnya, maka ia tidak akan bisa memberi manfaat, karena ia tidak memiliki daya.

Begitu pula hewan jika tidak tegak, maka ia tidak akan bisa berguna sebagai pemikul barang atau tunggangan manusia. Maka istiqamahnya adalah dengan mengikuti bentuk penciptaannya. Bahkan, bengkoknya busur adalah istiqamahnya, karena begitulah semestinya suatu busur. (MK)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan:

Artikel ini dirangkum dan disadur dari Ibnu Arabi, Al-Futuhat Al-Makkiyyah, bab 132 tentang Istiqamah.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*