Siapa Nabi Ilyas As? (2): Pandangan Ibn Arabi

in Studi Islam

Last updated on March 6th, 2019 06:08 am

Menurut Ibn Arabi, Allah meletakkan Nabi Idris As di tempat yang teramat tinggi dan menamainya Idris di ketinggian itu. Lantas sosok yang sama ini diturunkan kembali untuk membimbing penduduk Baalbek. Dan di sana dia diberi nama Ilyas.

—Ο—

Informasi lain tentang Nabi Ilyas As, diurai secara lebih bermakna (mistis) oleh Ibn Arabi, seorang arif dari Andalusia. Penjelasannya terkait hal ini diurai oleh Toshihiko Isutzu, dalam bukunya “Sufisme: Samudra Makrifat Ibn Arabi”, terbitan Mizan, Bandung, 2015. Menurut Ibn Arabi, Ilyas (Elias) dan Idris As (Enoch) adalah dua nama untuk satu nabi yang sama dalam dua keadaan berbeda.

Idris As adalah nabi sebelum Nuh As.[1] Sama seperti Ilyas, kisah Idris di dalam Al Quran amat sedikit, bahkan hanya dua ayat saja. Yaitu pada surat Mariam ayat 56-57. Allah SWT berfirman: “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang rasul. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (QS. Maryam: 56-57)

Ayat ini nyata sekali menyebutkan bahwa Nabi Idris adalah seorang yang memiliki martabat yang begitu tinggi. Kita tidak mengetahui kapan Nabi Idris hidup dan kepada kaum siapa dia diutus dan bagaimana Allah SWT mengangkat derajatnya pada kedudukan yang tinggi. Memang cukup banyak legenda tentang diri beliau yang diceritakan oleh banyak bangsa. Bangsa Mesir kuno mengenalnya dengan nama Uzairis, salah seorang pahlawan besar. Karena kehebatan dan kemuliaannya yang begitu tinggi, sampai-sampai beliau dianggap sebagai Tuhan berhala oleh masyarakat tersebut. Dalam bahasa Yunani, Idris dikenal dengan nama Aramis. Nama ini diarabkan menjadi Harmas. Sedangkan, dalam bahasa Ibrani, Idris dikenal dengan nama Khunnukh.[2]

Namun yang umum diketahui, bahwa beliau adalah Nabi kedua setelah Nabi Adam As, dan kakek moyang dari Nabi Nuh As. Yang jelas Al-Qur’an al-Karim tidak menyingkap kesamaran yang berhubungan dengan Nabi Idris. Melalui ayat suci Al Quran kita hanya bisa mengetahui bahwa beliau adalah seorang yang jujur, yang terpercaya, dan seorang Nabi. Allah SWT mengangkatnya ke derajat yang tinggi di sisi-Nya.

Tapi diantara banyak informasi tentang Nabi Idris As, salah satu yang sangat menarik perhatian adalah informasi yang dituturkan oleh Ibn Arabi. Menurut Ibn Arabi, Allah meletakkan Nabi Idris As di tempat yang teramat tinggi dan menamainya Idris di ketinggian itu. Lantas sosok yang sama ini diturunkan kembali untuk membimbing penduduk Baalbek. Dan di sana dia diberi nama Ilyas. Ilyas yang diutus dengan cara ini ke bumi dari sfera langit yang tinggi tidak tanggung-tanggung, tapi berlaku ‘membumi’ secara total. Dia menyorong “wujud elemental” bumi ke titik paling ekstremnya. Ini menyimbolkan manusia yang alih-alih mengerahkan nalarnya setengah hati sebagaimana yang diperbuat oleh mayoritas orang, membiarkan dirinya secara penuh dan utuh dalam kehidupan elemental alam sampai pada tingkat menjadi di bawah manusia.[3]

Artikel terkait:

Perjumpaan dengan Sang Arif; Hagiografi dan Pemikiran Ibn Arabi (4)

Ibn Arabi: Hidup Ini Hanyalah Mimpi

Dalam buku Toshihiko Isutzu dijelaskan, bahwa ini adalah salah satu metode yang diajukan oleh Ibn Arabi untuk menumbuhkan apa yang disebut sebagai “mata-pandang spiritual” (‘ayn al-bashirah). Menurutnya inilah jalan yang memungkinkan manusia mengalami transformasi batin. Transformasi  batin itu dalam rangka peralihan dari “keadaan wujud duniawi” (al-nasy’ah ad-dunyawiyyah) menuju “keadaan wujud ukhrawi” (al-nasy’ah al-ukhrawiyyah). “Keadaan wujud duniawi” adalah jalan mayoritas manusia secara alamiah. Persoalannya pada saat manusia dalam keadaan alamiah, ia sepenuhnya berada di bawah ayunan tubuhnya, dan bahwa aktivitas benaknya dirintangi oleh susunan fisik organ-organ jasmaninya. Dalam kondisi ini, sekalipun ia berupaya memahami sesuatu dan menangkap hakikatnya, objek itu tidak akan bisa tampak pada benak kecuali dalam deformasi yang dahsyat. Inilah keadaan ketika manusia seutuhnya dihijab dari hakikat esensial tertentu.[4]

Untuk membongkar keadaan tersebut, menurut Ibn Arabi, manusia mesti menghidupkan kembali pelbagai pengalaman Ilyas-Idris tersebut, dan melakonkan kembali drama spiritual transformasi batin yang disimbolkan oleh kedua nama ini. Dengan sepenuhnya merealisasikan tingkat “kebinatangan” yang tersimpan di dasar setiap manusia. Manusia ini akan “terbebas dari segala ayunan nalar dan membiarkan dirinya dalam hasrat-hasrat alamiahnya. Dia menjadi binatang murni dan sederhana”.[5]

Kembali pada pengalaman Ilyas AS, menurut Ibn Arabi, dalam keadaan ia sudah berada di kondisi elemental alam tersebut, suatu ketika Ilyas As melihat visi aneh: sebuah gunung bernama Lubnan terbelah dan seekor kuda api menyeruak dengan kekang yang juga terbuat dari api. Mengamati hal ini, Ilyas As langsung menungganginya, dan syahwat-syahwat jasmaninya pun runtuh. Lalu dia menjadi intelek murni, tanpa syahwat. Kini dia telah terbebas total dari segala yang berhubungan dengan diri jasmaninya. Hanya dalam keadaan inilah Ilyas dapat melihat Realitas sebagaimana adanya.[6]

Namun demikian, menurut Ibn Arabi, ‘makrifat Allah’ semulia yang telah digapai oleh Ilyas ini pun tidaklah sempurna. ‘Karena dalam makrifat ini, Realitas dalam transendensi/kesucian murni (munazzah). Dan itu barulah separuh dari makrifat Allah (yang sempurna). Jelasnya, intelek murni yang telah membebaskan dirinya secara total dari segala yang jasmani dan material dengan sendirinya tidak bisa melihat Tuhan kecuali dalam transendensi-Nya (tanzîh). Padahal, transendensi hanyalah salah satu aspek dasar dari Sang Mutlak. Aspek lain-Nya adalah imanensi/keserupaan (tasybîh). Semua makrifat Allah yang tidak menyatukan transendensi dan imanensi pastilah bersifat satu sisi, karena Allah adalah transenden dan imanen sekaligus. Lalu, siapakah yang sebenarnya mampu menyatukan kedua aspek makrifat Allah ini? dialah Nabi Muhammad SAW. Tidak seorang pun selain beliau yang mampu menyatukan kedua aspek tersebut, sekalipun dia adalah Ilyas As.[7]

Selesai

Sebelumnya:

Siapa Nabi Ilyas As? (1)

Catatan kaki:

[1] Terkait tentang Ibn Arabi dan ulasannya tentang Nabi Ilyas As, lihat juga tulisan berseri Musa Kazhim di ganaislamika.com, yang berjudul “Perjumpaan dengan Sang Arif; Hagiografi dan Pemikiran Ibn Arabi (4)”, pada link berikut: https://ganaislamika.com/perjumpaan-dengan-sang-arif-hagiografi-dan-pemikiran-ibn-arabi-4/

[2] https://www.barnesandnoble.com/w/kisah-hikayat-nabi-idris-as-muhammad-xenohikari/1124925485?type=eBook

[3] Lihat, Toshihiko Isutzu, “Sufisme: Samudra Makrifat Ibn Arabi”, Bandung, Mizan, 2015, Hal. 15

[4] Ibid, Hal. 16

[5] Ibid, Hal. 15

[6] Ibid, Hal. 14

[7] Ibid, Hal. 16

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*