Masyarakat Madinah
Kota Yatsrib yang kini dikenal dengan nama Madinah (berarti ‘Kota’), pada masa Nabi dihuni oleh dua suku utama bangsa Arab, Aws dan Khazraj. Kedua suku ini mempunyai sejarah yang panjang dalam perang berdarah yang telah melemahkan kekuatan mereka masing-masing. Pertempuran terakhir yang bernama Bu’ath berlangsung selama dua tahun persis sebelum peristiwa yang akan diriwayatkan di bawah ini.
Suatu kelompok besar masyarakat Yahudi tinggal di Madinah selama lebih dari seabad. Seluruh buku sejarah sepakat bahwa kaum Yahudi berperan mengadu domba dua suku Arab ini, Aws dan Khazraj. Para sejarahwan juga meriwayatkan bahwa umat Yahudi datang ke Madinah karena kitab suci mereka menyebutkannya sebagai tempat di mana Rasul Tuhan yang terakhir akan menegakkan sebuah negara.
Seperti bangsa Arab lainnya, Aws dan Khazraj adalah penyembah berhala. Sama dengan semua suku Arab, mereka juga memuja Ka’bah dan melakukan ibadah haji. Dalam sebuah musim haji setelah Nabi mengadopsi strateginya menyeru berbagai suku Arab dan mencari perlindungan dari mereka dalam menjalankan tugasnya, sekelompok orang yang terdiri dari enam anggota suku Khazraj sedang melakukan ibadah haji. Nabi berjumpa dengan mereka di suatu tempat yang disebut Aqabah, di Mina, tempat para jemaah haji berkemah selama tiga hari. Setelah memperkenalkan diri kepada Nabi dan yakin bahwa mereka adalah tetangga kaum Yahudi, dia sedang berdoa yang jaraknya tidak jauh dari tempatku mencari jalan untuk menjelaskan risalahnya kepada mereka. Mereka bersedia untuk mendengarkan apa yang beliau katakan.
Secara garis besar, Nabi menguraikan kepada mereka tentang dasar risalahnya dan membacakan sebuah ayat dari al-Qur’an. Beliau memohon kepada mereka untuk beriman kepada Allah Yang Esa sebagai satu-satunya Tuhan yang layak disembah. Seseorang di antara mereka berkata kepada kawannya: ‘Kalian mungkin yakin bahwa dia adalah Nabi yang dipakai oleh kaum Yahudi untuk mengancam kalian. Jangan biarkan mereka jadi orang pertama yang mengikutinya.’
Hal itu kelihatannya menyentuh syaraf peka mereka. Masyarakat Arab di Madinah selalu menaruh rasa hormat pada agama Yahudi. Mereka menyadari bahwa kepercayaan mereka pada penyembahan berhala tak sebanding dengan agama Yahudi yang monoteistik, yang dikenal memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang Tuhan dan manusia. Setiap kali masyarakat Arab Madinah bertikai dengan kaum Yahudi, yang belakangan akan berkata: ‘Tak akan lama lagi seorang Utusan Tuhan yang baru akan diturunkan. Kita akan mengikutinya dan akan membunuh kalian semua dengan cara yang sama seperti orang-orang Ad dan Iram dibunuh.’
Keenam orang Khazraji ini tidak ragu untuk menerima apa yang Nabi katakan. Mereka adalah As’ad bin Zurarah, Awf bin al-Harits, Rafi’ bin Malik, Qutbah bin Amir bin Zaid dan Jabir bin Abdullah bin Ri’ab. Mereka mengumumkan keimanan mereka kepada Allah dan risalah Muhammad. Mereka juga berkata kepada Nabi: ‘Kami telah meninggalkan kaum kami dalam keadaan saling bermusuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Semoga Allah menjadikanmu pemersatu mereka. Kita akan menyeru mereka untuk mengikutimu dan menjelaskan kepada mereka risalahmu yang telah kami terima. Seandainya Allah mempersatukan mereka karena telah mengikuti kamu, maka kau akan menikmati bersama mereka suatu posisi bergengsi yang paling tinggi.’
Dengan demikian, Nabi memiliki enam orang duta yang membawa pesannya kepada kaum mereka masing-masing. Rupanya, mereka adalah duta yang sangat aktif. Dalam waktu singkat, seluruh kota itu membicarakan Nabi dan ajarannya. Banyak yang telah menerima Islam akibat usaha keenam orang ini.7
Hal itu jelas menunjukkan bahwa Madinah adalah lingkungan paling subur untuk dakwah Islam. Pertama, tempat itu bebas dari rasa permusuhan sebagaimana yang tercipta di Mekah. Oleh karena itu, Islam dengan logikanya yang sederhana dan lugas, langsung mendapat sambutan akrab dari para penduduknya. Kedua, gagasan tentang Keesaan Tuhan telah dikenal akrab oleh masyarakat Arab Madinah, berkat rasa hormat mereka pada agama Yahudi. Beberapa sejarahwan melihat bahwa keangkuhan kaum Yahudi di Madinah merupakan satu-satunya penghalang yang telah mencegah populasi Arab untuk mengikuti agama Yahudi. Kaum Yahudi memiliki sikap meremehkan bangsa Arab dan menunjukkan bahwa ajaran Yahudi adalah agama kelompok terkemuka saja. Lebih lagi, peperangan yang tak habis-habisnya di kalangan Arab Madinah membuat mereka merindukan suatu kedamaian. Sangat sulit bagi suku Aws dan Khazraj untuk mencapai perdamaian yang kekal tanpa katalisator yang kuat. Adalah wajar dari pernyataan keenam orang itu kepada Nabi bahwa mereka sangat mengharapkan agar beliau bisa menjadi katalisator munculnya kedamaian dan persatuan.
Dengan kemajuan Islam yang begitu cepat di Madinah (atau Yatsrib), para pemeluk baru segera rindu untuk bertemu Nabi. Waktu yang tepat untuk pertemuan semacam itu adalah musim haji berikutnya ketika keenam orang yang pertama telah bergabung dengan keenam orang lainnya untuk bertemu Nabi di Aqabah.
Nabi sangat senang dengan antusiasme yang ditunjukkan oleh para duta ini terhadap Islam. Mereka sangat tekun mengamalkan agama baru mereka. Bagaimanapun, Nabi saat itu tidak meminta perlindungan kepada mereka seperti yang pernah beliau lakukan kepada suku-suku lainnya di masa lalu. Sebagai negarawan yang pintar, beliau menyadari bahwa sumpah kesetiaan seperti itu akan datang pada saat yang tepat, bahkan tanpa harus beliau minta. Tindakan yang harus segera dilakukan adalah mengokohkan pangkalan barunya di Madinah. Oleh karena itu, Nabi mengambil sumpah ke-12 orang tersebut, sepuluh dari Khazraj dan dua dari suku Aws. Butir sumpah itu mengikat ke-12 orang tersebut ‘untuk tidak menyembah apapun selain Allah, tidak mencuri, berzinah, membunuh anak-anak, tidak mengucapkan dusta dengan membuat-buat omongan mereka sendiri, dan tidak menentang Nabi dalam hal yang adil atau masuk akal.’ Selanjutnya, sumpah ini dikenal sebagai sumpah para wanita’, karena butir-butirnya hanya berlaku bagi kaum wanita. Sedangkan kaum lelaki harus menambahkan sumpah untuk bersedia berperang melawan musuh Islam.[1]
Sumpah pemberian dukungan ini adalah terobosan yang sangat penting dalam sejarah Islam. Butir-butir ini tidak meliputi bantuan militer, karena kebutuhan itu belum dianggap perlu. Untuk sementara waktu, Islam harus menancapkan akarnya di Madinah melalui perekrutan baru yang lebih banyak. Lagi pula, Islam tidak menyukai peperangan kecuali jika dianggap perlu. Walaupun Nabi menyadari bahwa kaum Quraisy tidak akan membiarkan Islam bergerak secara bebas di Arabia tanpa upaya untuk membungkamnya dengan segala cara dan mengakhirinya, namun konfrontasi seperti itu di saat itu belum akan terjadi. Oleh karena itu, sumpah itu meliputi apa yang bisa diistilahkan dengan ‘program damai Islam.’
Nabi mengirim Mus’ab bin Umair ke Madinah dengan para pengikut barunya. Misinya adalah untuk mendidik kaum Muslim Madinah dalam agama baru mereka, mengajarkan al-Qur’an dan semua yang mereka butuhkan untuk memahami Islam. Dia diperintahkan untuk menyeru orang agar memeluk Islam. Dia juga memimpin kaum Muslim Madinah dalam menunaikan salat.[2] Karena kenangan tentang pertempuran yang baru terjadi antara kedua suku, Aws dan Khazraj, masih segar dalam ingatan mereka, maka tak satupun dari kelompok itu bisa menemukan kemudahan untuk dipimpin salat oleh seseorang yang berasal dari suku lain. Mus’ab memang pilihan yang tepat. Dia juga mempunyai tugas tambahan, yaitu: mempelajari situasi Madinah dari dekat dan membuat penilaian langsung ihwal reaksi yang paling mungkin terjadi. Dengan demikian, Nabi bisa langsung membuat keputusan berdasarkan informasi tangan-pertama tersebut.
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Ibn Hisyam, Op.Cit., hal. 73-77.
[2] Ibid. hal. 76. lihat juga, Ibn Sayyid al-Nas, Op.Cit., hal. 265.