Situs-situs Bersejarah Islam di Kota Mekkah (2); Darun Nadwah, Bangunan Kedua di Mekah (2)

in Monumental

Last updated on March 3rd, 2019 08:35 am

Pada masa dakwah pertama Islam, tempat ini menjadi saksi bagaimana kaum kafir Mekkah merancang strategi perlawanan terhadap dakwah Rasulullah SAW. Di tempat inilah mereka bersepakat untuk mengembargo Bani Hasyim, karena sudah melindungi Rasulullah SAW. Dan salah satu momen paling bersejarah di tempat ini, ketika kaum kafir Mekkah mengadakan rapat akbar hingga akhirnya bersepakat bulat untuk membunuh Rasulullah SAW.

—Ο—

Sejak dibangun oleh Qushay bin Kilab, Darun Nadwah menjadi saksi perkembangan sistem sosial dan politik masyarakat Mekkah. Sistem ini, pada masa selanjutnya, membentuk semacam karakter pemikiran politik masyarakat Mekkah.

Salah satu era paling penting dalam sejarah perkembangan politik di Mekkah, terjadi pada masa pemerintahan Abdul Muthalib, cicit dari Qushay bin Kilab. Kisah bermula ketika Abdul Muthalib berhasil menggali sumur zamzam bersama kesepuluh putranya. Sumur ini dalam waktu singkat menjadi asset penting bagi masyarakat Mekkah. Di tengah gurun pasir yang tandus tersebut, nilainya menjadi tak terhingga. Oleh sebab itu, agar tidak terjadi sengketa di kemudian hari, setelah sumur Zamzam selesai digali, Abdul Muthalib merekonstruksi sistem pemerintahan di Mekkah.

Ketika itu, pemerintahan kota Mekkah berada di tangan sebuah oligarki yang terdiri dari anggota terkemuka anak keturunan Qushay bin Kilab. Setiap keluarga merasa berhak atas mengelolaan kota. Untuk itu, setelah melakukan musyawarah panjang di Darun Nadwah, Abdul Muthalib akhirnya membentuk badan pemerintahan yang diisi oleh 10 orang perwakilan yang disebut Sharif. Kesepuluh orang itu akan menduduki tempat tertinggi dalam Negara dan memegang sebuah jabatan yang akan mereka warisi secara turun temurun. Kesepuluh jabatan itu antara lain:[1]

  1. Hijaba, pemangku Ka’bah, jabatan keagamaan yang amat penting. Jabatan ini diberikan kepada keluarga Abd Al Dar, dan ketika penduduk Mekkah masuk Islam, jabatan itu dipegang oleh Utsman bin Thalha.
  2. Sikaya, atau pengawas sumur suci Zamzam dan semua mata air yang diperuntukkan bagi jamaah haji. Jabatan ini dipegang oleh keluarga Hasyim. Ketika Mekkah ditaklukkan, jabatan ini dipegang oleh Abbas, paman Nabi Muhammad SAW.
  3. Diyat, kekuasaan kehakiman di bidang perdata maupun pidana. Posisi ini dipegang oleh keluarga Taym ibn Murra Dan. Ketika masa Islam, jabatan ini dipegang oleh Abdullah ibn Kuhafa, yang dipanggil Abu Bakr.
  4. Sifarah, atau kedutaan. Orang yang memegang jabatan ini adalah duta besar yang memiliki kekuasaan penuh dari masyarakat Mekkah untuk mewakili mereka dalam melakukan musyawarah, perundingan dan perjanjian dengan suku-suku lain di sekitar Mekkah. Jabatan ini dipegang oleh Umar Bin Khattab.
  5. Liwa, atau penjaga panji-panji peperangan. Kepala panji-panji itu secara otomatis menjabat sebagai panglima perang angkatan bersenjata Mekkah. Posisi ini dipegang oleh keluarga Umayyah, dan sosok yang menjadi pemanggu jabatan ini Abu Sufyan bin Harb. Kelak dengan jabatannya ini, Abu Sufyan memobilisasi kaum kafir Mekkah untuk melawan dakwah Nabi Muhammad SAW.
  6. Rifada, yang bertugas memungut pajak untuk diberikan kepada fakir miskin. Jabatan ini sudah ada sejak zaman Qushai bin Kilab. Uang hasil pajak ini selain digunakan untuk merawat kaum duafah di Kota Mekkah, juga digunakan untuk melayani kebutuhan para peziarah dari luar Mekkah. Jabatan ini dipegang oleh Abdul Muthalib. Setelah itu, jabatan ini meralih ke Abu Thalib, dan setelah Islam menaklukkan Mekkah, dipegang oleh Harist bin Amr.
  7. Nadwa, ketua badan legislatif. Pemegang jabatan ini merupakan penasehat utama Negara. Berdasarkan nasehat darinyalah semua keputusan publik ditetapkan. Pada masa Islam, jabatan ini dipegang oleh Asad, dari keluarga ‘Abd Al ‘Uzza bin Qushay.
  8. Khaimmah, atau pengurus Rumah Majelis. Kedudukan ini memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk memanggil semua anggota majelis tinggi untuk bermusyawarah, termasuk juga memanggil pasukan militer. Jabatan ini dipegang oleh Khalid bin Walid dari keluarga Yakhzum bin Marra.
  9. Khazina, atau pengurus keuangan negara. Jabatan ini dipegang oleh Harist bin Kais dari keluarga Hasan bin Ka’ab.
  10. Azlam, yang tugasnya mengurus panah dewa. Ini semacam jabatan spiritual tertinggi di kota ini. Pemangku jabatan ini adalah orang yang dipercaya mengerti kehendak-kehendak para dewa. Panah-panah yang dimaksud adalah untuk mengundi satu keputusan, yang hasilnya akan dianggap sebagai keputusan dewa dewi. Jabatan ini dipegang oleh Safwan, saudara Abu Sufyan.

Pada masa dakwah pertama Islam, tempat ini menjadi saksi bagaimana kaum kafir Mekkah merancang strategi perlawanan terhadap dakwah Rasulullah SAW. Di tempat inilah mereka bersepakat untuk mengembargo Bani Hasyim, karena dianggap sudah melindungi Rasulullah SAW. Dan salah satu momen paling bersejarah di tempat ini, ketika kaum kafir Mekkah mengadakan rapat akbar hingga akhirnya bersepakat bulat untuk membunuh Rasulullah SAW dengan rencana yang sangat biadab. Allah merekam kejahatan mereka dalam Al Quran:

Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya. (QS al-Anfal [8]: 30).

Rencana ini bermula ketika orang-orang kafir Mekkah panik, karena secara tiba-tiba lembah atau Syi’ib Abu Thalib kosong.[2] Lembah ini adalah tempat “dikurungnya” klan Bani Hasyim yang dipimpin  Abu Thalib oleh kaum kafir  Mekkah. Ketika datang perintah berhijrah, maka satu persatu kaum muslimin meninggalkan Mekkah menuju Madinah. Mereka mengendap keluar dari kota pada waktu malam atau siang hari secara berkelompok maupun sendiri-sendiri. Hingga kaum muslimin yang tersisa di kota itu tinggal Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan putri-putri Nabi SAW, Ummu Kultsum dan Fatimah Az Zahra.

Kegentingan ini membuat mereka melakukan rapat darurat di Darun Nadwah. Semua pemuka klan di Mekkah hadir, termasuk dari klan Bani Hasyim yang diwakili oleh Abu Lahab. Menurut Tabari, tokoh-tokoh Quraisy yang hadir pada waktu itu 40 orang. Mereka mencari strategi pamungkas untuk mengakhiri dakwah Muhammad SAW selamanya.

Beragam usulan muncul, mulai dari hukuman seumur hidup, pengusiran dari kota Mekah, hingga usulan untuk membunuh Nabi SAW. Khusus untuk usulan terakhir ini, beberapa dari mereka tidak sepakat, karena apabila Nabi SAW di bunuh, maka otomatis klan Bani Hasyim akan menuntut membalas, dan ini akan mengakibatkan perang saudara. Sampai akhirnya, dari semua usulan yang muncul, mereka sepakat untuk memakai usulan Abu Jahal.[3]

Dalam sejarah suku Quraisy, usulan Abu Jahal ini tidak pernah digunakan pada siapapun. Dan mungkin juga tidak pernah terpikirkan oleh siapapun di masa itu. Ia mengusulkan agar setiap klan mengutus perwakilannya untuk bersama-sama membunuh Nabi Muhammad SAW. Setiap perwakilan klan harus menebaskan pedangnya ke tubuh Beliau SAW hingga tewas. Dengan demikian, tidak ada satupun dari kalangan Bani Hasyim yang akan menuntut balas atas kematiannya. Usulan ini akhirnya disepakati secara aklamasi oleh semua yang hadir.

Tapi rencana Allah SWT yang akhirnya berlaku. Pada 11 September 622 Masehi, atau 29 Safar 1 Hijriah, langkah suci Sang Nabi dengan tenang meninggalkan rumah yang sudah dikepung oleh kaum kafir Quraisy. Beliau berjalan keluar kota Mekah pada malam hari, dan selamat tanpa kurang satu apapun di Madinah. Peristiwa monumental ini yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Hijrah.

Adapun terkait Darun Nadwah, sejak pemerintahan Islam berdiri di Madinah, tetap difungsikan sebagai balai pertemuan masyarakat. Pada musim haji, tempat ini menjadi pemondokan bagi para khalifah dan petinggi Islam. Pada tahun 274 H (897 M) pemerintah Abbasiyah melebarkan Masjidil Haram dan sekaligus memasukkan bangunan ini menjadi bagian dari Masjid. Sekarang perkiraan lokasinya berada di bagian barat laut, dan di situ ada pintu bernama Bab An-Nahwah. (AL)

Perkiraan letak Darun Nadwah sekarang. Sumber gambar: islamiclandmarks.com

Bersambung…

Situs-situs Bersejarah Islam di Kota Mekkah (3); Rumah Tempat Rasulullah dilahirkan

Sebelumnya:

Situs-situs Bersejarah Islam di Kota Mekkah (2); Darun Nadwah, Bangunan Kedua di Mekah (1)

Catatan kaki:

[1] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Yogyakarta, Navila, 2008, Hal. 8-9

[2] Lihat, O. Hashem, Muhammad Sang Nabi; Penelusuran Sejarah Nabi secara Detail, Jakarta, Ufuk Press, 2004, hal. 97-98

[3] Menurut Ibn Hisham, nama sebenarnya Abu Jahal adalah ‘Amr, dan karena kecerdikannya, oleh orang-orang kafir Quraisy dia dinamakan Abu’l Hikam (Bapak yang Bijak). Tapi dihadapan wajah kenabian, dia tak bisa menyembunyikan diri. Kepicikannya, kebodohannya dan perilakukan yang begitu kejam kepada Nabi Muhammad SAW, tidak bisa melestarikan julukan Abu’l Hikam. Hingga hari ini, julukan Abu’l Hikam tak pernah lagi diingat orang. Sejarah hingga kini mengenalnya dengan sebutan Abu Jahl (Bapak Kebodohan). Lihat, Syed Ameer Ali, Op Cit, Hal 54

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*