Sultan al-Muzhafar Saifuddin Qutuz: Sosok yang Membelokkan Takdir Sejarah (1)

in Tokoh

Last updated on May 25th, 2018 04:14 pm

“Bila anda menolak tunduk, anda akan menderita malapetaka yang paling mengerikan. Kami akan menghancurkan masjid anda dan mengungkapkan kelemahan Tuhan anda, dan kemudian kami akan membunuh anak-anak anda dan orang tua anda bersama-sama. Saat ini anda adalah satu-satunya musuh yang harus kami datangi.”

—Ο—

 

Tahun 1253 masehi. Möngke Khan, Raja kekaisaran Monggol yang juga cucu dari Genghis Khan menggelar ekspedisi akbar untuk menaklukan seluruh dunia. Ia mengirim ratusan ribu pasukan dibawah pimpinan adiknya bernama Kubilai Khan ke wilayah timur untuk menaklukkan China hingga Asia Tenggara. Adapun ke wilayah barat, ia mengirimkan adiknya yang lain bernama Hulagu Khan. Ia memimpin 150 ribu pasukan lengkap, menyisiri satu persatu kawasan dan menantang semua imperium yang mereka lewati.

Sejak didirikan oleh Genghis Khan pada 1206 M, kekaisaran Mongol tak pernah sekalipun mengalami kekalahan. Tradisi kemenangan ini terus berlanjut hingga ke era cucunya. Möngke Khan, menjabat sebagai Khan Agung bangsa Mongol ketika kekuatan mereka berada di puncak kejayaannya. Kepercayaan diri, kesombongan, dan kerakusan yang luar biasa menyelimuti pasukan mereka. Tapi bagi bangsa-bangsa yang ditaklukkannya, mereka tak ubahnya seperti wabah. Datang hanya untuk menjarah, lalu pergi meninggalkan jejak kehancuran yang tak terobati selamanya.

Hulagu Khan, yang mungkin paling terkenal di antara semuanya. Ia memimpin pasukan raksasa, untuk menantang pusat-pusat peradaban dunia di kawasan barat. Namanya kian menakutkan ketika ia dan pasukannya berhasil mengepung benteng kota Baghdad pada tahun 1258 M. Mereka menjarah kekayaan kota tersebut, membunuh masyarakatnya, serta melenyapkan Dinasti Abbasiyah dari arus waktu, yang sudah berdiri sejak tahun 132 H atau 750 M. Dan yang paling disesalkan, pasukan ini juga membantai lebih dari separuh penduduk Baghdad. Termasuk menenggelamkan ratusan ribu manuskrip ilmu pengetahuan yang sudah dikumpulkan selama lebih dari 500 tahun ke dalam api unggun dan sungai Eufrat.

Selama berhari-hari air sungai Eufrat menghitam. Asap yang bercampur bau bangkai manusia mengepul ke segala penjuru. Demikian pekatnya polusi udara di kota Baghdad, hingga pasukan Hulagu harus berjalan keluar dari kota itu sambil melawan arah angin, untuk menghindari aroma busuk yang menyengat. Sejak ditinggalkan oleh Hulagu, Baghdad tidak pernah lagi mampu bangkit menjadi adidaya dunia hingga sekarang.

Metamorfosa Kekaisaran Mongol. Sumber gambar: wikipedia.org

 

Ekspedisi militer yang dilakukan oleh para pangeran Mongol ini juga merupakan tahap ujian bagi mereka, tentang siapa yang kelak paling layak menggantikan kaisar untuk menjadi Khan Agung. Oleh sebab itu, ekspedisi ini juga berarti kampanye militer untuk mencari pengakuan dunia atas supremasi Kaisar Mongol selanjutnya.

Selepas dari Bahgdad, pasukan Hulagu terus merangsek ke bagian barat. Target misi nya adalah menjadi penguasa tunggal di dunia. Setelah berhasil menaklukkan satu persatu imperium di kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah, pasukan ini terus melaju ke utara. Pada Januari 1260, Aleppo di Syiria mengalami nasib yang sama seperti Baghdad. Pada bulan Maret, Damaskus membuka pintu-pintu gerbangnya bagi orang Mongol dan menyerah. Tak lama setelah itu, orang Mongol merebut kota-kota di Palestina, yaitu Nablus (dekat situs kuno Syikhem) dan Gaza.[1]

Dari tempat ini, Hulagu sudah menatap Laut Mediterania. Salah satu kakinya sudah berada di Eropa, dan kaki lainnya sudah hampir menginjak Afrika. Namanya sudah membuat cemas raja-raja di Eropa. Tapi tampaknya ia lebih memilih target penaklukkan selanjutnya ke Afrika. Karena ini adalah satu rangkaian imperium Islam di dunia. Dan pintu masuk ke kawasan Afrika ini adalah Mesir, yang ketika itu sedang berada di bawah pemerintahan “Dinasti Budak” kaum Ayyubiyah yang dikenal dengan sebutan Mamluk.

Ketika itu Dinasti Mamluk baru saja lahir. Mereka masih berbenah, setelah proses transisi yang cukup melelahkan. Hingga akhirnya, ketika Hulagu berhasil menunduki Damaskus dan Palestina, Mamluk berada di bawah kendali Sultan al-Muzhafar Saifuddin Qutuz, seorang bekas budak kaum Ayyubiyah yang berhasil berkarir di militer hingga mencapai puncak kekuasaan pada tahun 1259 M.

Jangankan Hulagu Khan dengan segenap kepercayaan diri dan keperkasaannya, bahkan di internal mereka sendiri, Mamluk belum selesai membangun identitas imperiumnya. Terlebih setelah Hulagu berhasil menghancurkan imperium “para tuan” mereka di Baghdad hingga Damaskus, Mamluk semakin kehilangan identitasnya.  Dengan segenap kepercayaan diri, Hulagu mengirimkan surat kepada Qutuz, yang isinya tidak sama sekali seperti surat resmi seorang kepala Negara kepada kepala Negara lainnya. Isi surat tersebut berbunyi sebagai berikut:[2]

“Dari Raja Raja-raja di Timur dan Barat, Khan Agung. Untuk Qutuz si Mamluk, yang melarikan diri demi menghindar dari pedang-pedang kami.

Anda harus memikirkan apa yang terjadi pada negara lain… dan tunduk kepada kami. Anda telah mendengar bagaimana kami telah menaklukkan kerajaan besar dan telah memurnikan bumi dari gangguan yang mencemarkannya. Kami telah menaklukkan wilayah yang luas, membantai semua orang. Anda tidak dapat melarikan diri dari teror tentara kami.

Di mana Anda bisa melarikan diri? Jalan apa yang akan kamu gunakan untuk melarikan diri dari kami? Kuda-kuda kami cepat, panah kami tajam, pedang kami seperti petir, hati kami sekeras gunung, tentara kami sebanyak pasir. Benteng tidak akan menahan kami, atau senjata menghentikan kami. Doa Anda kepada Tuhan tidak akan berguna bagi kami. Kami tidak tergerak oleh air mata atau tersentuh oleh ratapan. Hanya mereka yang memohon perlindungan kami yang akan aman.

Bawalah surat balasan Anda sebelum api perang dinyalakan…. Bila menolak tunduk, anda akan menderita malapetaka yang paling mengerikan. Kami akan menghancurkan masjid anda dan mengungkapkan kelemahan Tuhan anda, dan kemudian kami akan membunuh anak-anak anda dan orang tua anda bersama-sama. Saat ini anda adalah satu-satunya musuh yang harus kami datangi.” (AL)

Bersambung…

Sultan al-Muzhafar Saifuddin Qutuz: Sosok yang Membelokkan Takdir Sejarah (2)

Catatan kaki:

[1] Lihat, https://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/102012085, diakses 20 Mei 2018

[2] Lihat, David W. Tschanz, “History’s Hinge Ain Jalut”, http://archive.aramcoworld.com/issue/200704/history.s.hinge.ain.jalut.htm, diakses 20 Mei 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*