“Awalnya, untuk menghadapi gelombang pasukan Hulagu, Qutuz memilih strategis bertahan di Mesir. Tapi begitu mendengar Hulagu harus pergi meninggalkan pasukannya, Qutuz mengubah strateginya menjadi defensif. Ia memilih mendatangi langsung pasukan Mongol di luar Mesir.”
—Ο—
Dengan otoritas penuh di tangannya, Sultan al-Muzhafar Saifuddin Qutuz mulai mempersiapkan segala sesuatunya untuk menghalau gelombang serangan pasukan Mongol. Tak lama setelah menjabat, datanglah utusan Hulagu Khan membawa surat yang berisi ancaman terhadap bangsa Mesir.
Dengan tenang ia membaca surat dari Hulagu, dan tanpa gentar sedikitpun Qutuz merespon isi surat itu dengan cara memancung utusan tersebut, lalu memajang kepalanya di Bab Zuweila, salah satu gerbang utama Kairo. Tindakan ini sejelas sebuah deklarasi perang terhadap kekuatan raksasa dari Timur tersebut. Dari sekian respon mangsa-mangsa Hulagu, inilah respon paling berani dan menantang, dan dilakukan seorang sultan dari “kelas budak”.
Secara harfiah, kata “Mamluk” berarti “orang yang dimiliki” atau budak. Istilah ini awalnya digunakan sebagai sebutan untuk anak laki-laki dari suku Asia Tengah yang dibeli oleh khalifah Abbasiyah dan dibesarkan untuk menjadi tentara. Lama kelamaan istilah ini menjadi populer. Praktik yang sama terus diadopsi oleh Fatimiyyah, sebuah dinasti Ismailiyah yang berbasis di Tunisia yang menaklukkan Mesir pada tahun 969 dan mendirikan Kairo sebagai ibu kotanya.[1] Tapi di kalangan para budak, Mamluk tidak bisa disamakan, sebab mereka adalah kelompok elit. Mereka adalah prajurit terlatih. Hanya saja, di kalangan prajurit lainnya, mereka lebih menyerupai sebuah property kerajaan, layaknya budak. Inilah yang maksud sebagai “orang yang dimiliki”.
Fungsi mereka sebagai pasukan elit dalam kerajaan mencapai kemapanan pada masa pemerintahan Shalahuddin Al Ayyubi, sultan pertama Dinasti Ayyubiyah yang memilih pusat pemerintahannya di Mesir. Mamluk di Mesir mendapat perlakukan berbeda dengan di Abbasiyah. Di Mesir mereka mendapat perlakuan lebih dalam struktur keprajuritan. Mereka bisa memperoleh kedudukan, penghargaan yang tinggi, hingga menjadi penasehat Sultan. Sampai akhirnya Shajar al-Durr didaulat menjadi Sultana Mesir, kaum Mamluk merubah dirinya dari budak menjadi tuan.[2]
Ketika Hulagu Khan berhasil menaklukkan imperium-imperium Islam di Asia Barat hingga Asia Tengah, Mamluk masih melekat dengan stigma sebagai budak. Maka sangat wajar bila Hulagu memandang sebelah mata kekuataan mereka di Mesir. Bagi Hulagu, mereka tak ubahnya budak-budak yang baru saja kehilangan tuannya, lemah, tidak terorganisir, dan mengalami disorientasi. Dan memang demikianlah awalnya. Namun ketika mereka semua menyadari adanya satu ancaman yang sama, dan Qutuz adalah satu-satunya harapan mereka, kaum Mamluk ini bersatu untuk mempertahankan Mesir dari serangan bangsa Mongol.
Di Damaskus, tak berselang lama sejak kesuksesannya menundukkan Syam, Hulagu Khan mendapat kabar duka tentang kematian Möngke Khan, saudaranya yang juga Khan Agung kekaisaran Mongol. Sebagai orang yang merasa kompeten untuk duduk di puncak tahta Mongol menggantikan saudaranya, Hulagu memutuskan untuk kembali ke Mongolia dan meninggalkan sebagian pasukannya di Timur Tengah. Namun sebelum kembali ke Mongolia, Hulagu masih menitipkan pesan kepada pasukannya untuk tetap meneruskan ekspedisi ke Mesir.[3] Sepintas, dengan jumlah pasukan yang besar ditambah dengan moral pasukan yang sedang tinggi, ketidakhadiran Hulagu Khan sebenarnya bukan masalah besar bagi pasukan Mongol. Tapi tenyata, petaka mereka justru dimulai dari keputusan ini.
Di Mesir, Qutuz yang mendengar kabar tentang kepergian Hulagu ke Mongolia, melihat adanya satu kesempatan. Sebagai sosok yang sepanjang hidupnya ditempa dalam dunia keprajuritan, ia sangat memahami, bahwa pemimpin yang disegani adalah inti dari moral pasukan. Inilah sebabnya para raja, meskipun sudah sepuh, tetap dibutuhkan kehadirannya di medan perang. Setidaknya untuk menjaga moral prajurit, agar asa perlawanan mereka tetap menyala.
Seketika, Qutuz mengubah strateginya, dari sebelumnya difensif di Mesir, menjadi agresif. Ia berencana mendatangi dan menantang langsung tentara Mongol di luar Mesir. Setelah sebelumnya ia memancung kepala utusan Mongol, yang jelas memberikan dampak psikologis pada moral prajurit, sekarang ia memilih untuk mendatangi prajurit Mongol ketika pemimpin tertingginya sedang tidak ada. Dua pukulan psikologis ini akan membuat potensi kemenangan semakin besar di mata Qutuz.
Hanya saja ada satu kendala. Posisi tentara Mongol berada di Damaskus. Untuk mencapai ke sana, harus melewati kawasan Acre (Palestina sekarang), yang ketika itu sedang di kuasai oleh tentara Salib.
Tentara Salib ini sebenarnya sangat menyadari ancaman besar di halaman rumah mereka. Tapi mereka juga mengetahui, bahwa mereka bukanlah prioritas sasaran yang sedang dituju pasukan Mongol untuk saat ini. Meski di sisi lain, mereka juga memahami, bahwa setelah imperium Islam musnah seluruhnya, sasaran selanjutnya sudah pasti mereka. Untuk saat ini, mereka memilih diam, dan tidak melakukan tindakan mencurigakan apapun yang bisa menarik perhatian pasukan Mongol. Tapi mereka tidak menyangka adanya perubahan rencana dari Qutuz di Mesir.[4]
Qutuz mengirim utusannya ke Yerusalem, untuk meminta izin akses melintas, termasuk membeli perbekalan dan meminta suplai kebutuhan lainnya kepada Pasukan Salib. Mendengar permohonan ini, mereka awalnya enggan memenuhi. Namun mereka juga menimbang secara strategis, bahwa dari semua imperium yang tersisa di dunia saat itu, hanya Qutuz dan pasukannya saja yang benar-benar berani dan mempersiapkan diri melawan bangsa Mongol. Meski pun ketika itu Perang Salib secara keseluruh belum berakhir, tapi demi kepentingan nasional yang sama, akhirnya pasukan Salib menyetujui proposal Qutuz.[5]
Dengan demikian, jalan sudah diratakan. Pada 26 Juli 1260 M, Sultan al-Muzhafar Saifuddin Qutuz beserta bala tentaranya berderap keluar dari Mesir untuk menantang pasukan paling ditakuti di muka bumi kala itu. (AL)
Bersambung…
Sultan al-Muzhafar Saifuddin Qutuz: Sosok yang Membelokkan Takdir Sejarah (4)
Sebelumnya:
Sultan al-Muzhafar Saifuddin Qutuz: Sosok yang Membelokkan Takdir Sejarah (2)
Catatan kaki:
[1] Lihat, http://archive.aramcoworld.com/issue/200704/history.s.hinge.ain.jalut.htm, diakses 20 Mei 2018
[2] Ibid
[3] Lihat, Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), chapter 18
[4] Lihat, http://archive.aramcoworld.com/issue/200704/history.s.hinge.ain.jalut.htm, Op Cit
[5] Ibid