“Sebagian besar menganggap bahwa Qutuz adalah raja teragung Dinasti Mamluk. Meski hanya satu tahun memerintah, ia berhasil mementaskan sebuah lakon krusial di arus waktu dan membelokkan sejarah dunia. Ia berhasil menyelamatkan peradaban Islam dan Eropa sekaligus yang nyaris tenggelam disapu invasi bangsa Mongol.”
—Ο—
Sebagaimana yang sudah direncanakan sebelumnya, Sultan al-Muzhafar Saifuddin Qutuz singgah terlebih dahulu di Acre (Palestina sekarang) untuk mengisi perbekalannya dari Tentara Salib yang menguasa kawasan tersebut. Qutuz memerintahkan pasukannya untuk membangun tenda-tenda di pinggir Acre, agar tidak menarik perhatian penduduk. Meski begitu, banyaknya tenda yang didirikan tetap saja membuat cemas Pasukan Salib. Setelah mencukupi kebutuhannya, Qutuz menerima kabar bahwa Pasukan Mongol juga sedang bergerak ke selatan. Saat itu, mereka telah mengitari Danau Tiberias, dan mulai mendekati Sungai Yordan. Pasukan Mongol memilih rute invasi yang sama yang digunakan oleh Shalahuddin Al Ayyubi pada 1183 M, ketika pertama kali menaklukan Mesir. Mendengar ini, Qutuz memindahkan pasukannya ke arah tenggara untuk menemui mereka.
Sebagai ahli strategi yang mumpuni, Qutuz sudah bisa membaca dan membayangkan pergerakan pasukan Mongol. Dengan mendengarkan etape perjalanan Pasukan Mongol, Qutuz bisa memastikan bahwa mereka memilih jalur Shalahuddin Al Ayyubi. Dengan demikian, ia mencari secara teliti posisi medan yang paling menguntungkan bagi pasukannya untuk mengalahkan Pasukan Mongol. Dari serangkaian etape yang akan dilalui pasukan Mongol selanjutnya, terdapat sebuah daratan yang bercelah menyempit diapit oleh bukit dan tebing, bernama ‘Ain Jalut (“ the Spring of Goliath ”). Di tempat inilah, tepatnya di mata air satu-satunya yang ada di Ain Jalut, kemudian Qutuz memerintahkan pasukannya mendirikan tenda, sambil ia mengkonstruksi strategi menghancurkan pasukan raksasa dari timur tersebut.
‘Ain Jalut adalah sebuah lembah sempit yang hanya memungkinkan setiap pasukan berbaris memanjang untuk melaluinya, sebab wilayah ini diapit oleh lereng curam Gunung Gilboa di selatan, dan di sebelah utara oleh bukit-bukit Galilea. Dengan kondisi medan seperti ini, pasukan berapapun jumlahnya akan memiliki agregat yang sama, mengingat hanya jumlah tertentu saja yang mungkin bisa melalui celah tersebut. Di tempat ini, Qutuz mempartisi pasukan menjadi beberapa bagian. Pasukan Utama yang dipimpin oleh Baibar berada di front terdepan menghadapi langsung pasukan utama Mongol. Sedang sisanya, ia sembunyikan di balik-balik bukit sekitarnya.
Pada 3 September 1260, kedua pasukan bertemu di Ain Jalut. Pasukan Mongolia yang tak terkalahkan di dunia dalam setengah abad terakhir, melawan pasukan para budak dari benua Afrika. Ketika pasukan Mamluk yang dipimpin oleh Baibar mulai berhadapan dengan pasukan Mongol yang dipimpin oleh Kitbuqa, strategi Qutuz sudah memperlihatkan akurasinya. Kitbuqa secara gegabah menganggap bahwa pasukan Baibar adalah keseluruhan dari pasukan Mamluk yang akan dihadapinya. Ia memerintahkan serangan umum dilakukan untuk mempercepat hasil akhir pertempuran. Ia sendiri yang bertindak sebagai panglima memimpin pasukan tersebut.
Lagi-lagi strategi Qutuz berhasil. Pasukan Mongol yang berjumlah raksasa itu terpaksa harus menyesuaikan diri dengan medan yang mengular. Dalam posisi seperti ini, jumlah mereka jadi tak berarti. Hanya saja, keperkasaan dan kepercayaan diri pasukan Mongol memang harus diakui. Baibar tidak mampu cukup lama menahan laju pasukan yang terus datang tanpa henti. Baibar lalu memerintahkan pasukannya untuk mundur.
Melihat pasukan Mamluk lari tunggang langgang, Kitbuqa kehilangan konsentrasi. Ia memerintahkan pasukannya untuk mengejar Mamluk, dan seketika barisan mereka porak poranda oleh euphoria kemenangan. Tanpa mereka sadari, semua scenario ini sudah dirancang apik oleh Qutuz. Baibar dan pasukannya yang tampak mundur tersebut, sebenarnya sedang membawa pasukan Mongol ke satu tempat, yaitu mata air Ain Jalut, dimana pasukan Utama Mamluk berada, dan konstruksi strategi sesungguhnya sudah digelar untuk menjinakkan raksasa tersebut.
Ketika tiba di mata air Ain Jalut, Kitbuqa baru menyadari kecerobohannya. Baibar langsung memerintakan pasukannya untuk melakukan serangan balik. Seketika, pasukan Mamluk yang bersembunyi dibalik bukit keluar mengepung pasukan Mongol dari semua lini. Tertempuran sengit pun terjadi. Tapi Mongol tetaplah Mongol. Mereka memiliki pengalaman panjang menjinakkan ratusan taktik dari para jenderal besar dari imperium-imperium ternama. Dalam waktu singkat, Kitbuqa berhasil mengembalikan konsentrasinya. Ia memilih satu front utama dari pasukan Mamluk dan mengerahkan semua daya yang tersisa untuk melumpuhkan sayap tersebut.
Hasilnya luar biasa. Satu sayap Mamluk pecah, dan konstruksi pengepungan menjadi pincang. Melihat kejadian ini, Qutuz mendatangi langsung front tersebut, ia berteriak “Wahai Muslim!” sebanyak tiga kali, lalu membuka helm dan penutup wajahnya agar semua prajurit mengenali Sultannya. Qutuz lalu mengambil alih semua komando dari tangan Baibar, dan memimpin sendiri pertempuran sampai akhir. Aksi ini ternyata secara signifikan menaikkan moral prajurit. Mereka bertempur dipimpin langsung oleh Sultannya.
Seketika posisi berbalik, Mamluk yang sekarang memegang kendali. Pasukan Mongol yang kehausan dan kelelahan mulai kehilangan percaya diri. Dalam situasi tersebut, Kitbuqa adalah sasaran utama setiap prajurit untuk menyelesaikan pertempuran. Tidak butuh waktu lama, Kitbuqa akhirnya berhasil diringkus oleh pasukan Mamluk, dan dibawa ke hadapan Qutuz. Tanpa berpanjang-panjang, Kitbuqa langsung di eksekusi. Kabar kematiannya disiarkan ke seluruh pasukan yang masih bertarung. Mendengar pimpinan mereka sudah tidak ada, pasukan Mongol langsung kocar kacir. Mereka berlari tungang langgang sejauh 12 Mil ke Kota Beisan, sebagian lagi memilih untuk langsung berlari ke Timur melintasi Sungai Eufrat menuju ke kampung halaman mereka.[1]
Sedangkan pasukan Mamluk, dengan hasil akhir pertempuran ini, langsung menggelar ekspedisi militer untuk membebaskan Syiria. Hanya dalam waktu beberapa hari saja, Qutuz dan pasukannya berhasil memasuki Damaskus sebagai pemenang. Dan tak lama setelah itu mereka berhasil membebaskan Aleppo serta kota-kota besar lainnya di Suriah.
Sejarah mencatat, pertempuran Ain Jalut adalah titik balik yang berhasil membelokkan arus sejarah dunia. Karena sejak hari itu, pasukan Mongol tidak pernah lagi bisa melangkah lebih jauh. Andai hasil akhir pertempuran Ain Jalut berbeda, maka peradaban-peradaban Afrika dan Eropa akan tertulis dengan narasi yang lain. Tapi yang paling penting dari hasil pertempuran Ain Jalut, Qutuz dan pasukannya berhasil mementahkan mitos pasukan Mongol sebagai kekuatan yang tak terkalahkan di muka bumi.
Sejak kekalah di Ain Jalut, pasukan Mongol terdesak di mana-mana, hingga akhirnya kembali terasing di sekitar Gurun Gobi. Adapun Mamluk, dengan kemenangan ini, mereka mengambil alih kepemimpinan umat Islam dari Mesir hingga Syiria, hingga ratusan tahun, sampai lahirnya Dinasti Ottoman di Turki sekitar 200 tahun kemudian.
Tapi tidak demikian yang dapatkan Sultan al-Muzhafar Saifuddin Qutuz. Setelah menaklukan Damaskus dan kota-kota sekitarnya, Baibar mengajukan permohonan agar wilayah tersebut diserahkan kepadanya, sebagai konpensasi atas jasanya di Ain Jalut. Tapi permohonan ini ditolak, karena dianggap Qutuz sangat berlebihan. Mendapat penolakan ini, Baibar tidak bisa menerima. Ia lalu membuat konspirasi bersama pasukannya.
Dalam perjalanan pulang dari Syiria ke Mesir, Baibar mendatangi Qutuz. Ia bermaksud mengubah permohonannya dengan meminta baginya gadis-gadis Mongol. Mendengar permohonan ini, Qutuz mengabulkannya. Baibar lalu mendatangi Qutuz, mencium tangannya seraya mengucapkan terima kasih. Ketika menunduk, Baibar mengeluarkan belati dan seketika menikam Qutuz tepat dilehernya. Pahlawan Ain Jalut itupan tewas seketika. Jasadnya dikebumikan di Kota Al-Qusair, Suriah sekarang. Tapi setelah itu makamnya dipindahkan ke Kairo.[2]
Dengan kematian Qutuz, Baibar kemudian mengambil alih seluruh wilayah kekuasaan Mamluk dari Syiria hingga Mesir, dan mandaulat dirinya sebagai Sultan Mamluk dengan nama al-Malik al-Ẓāhir Rukn al-Dīn Baybars al-Bunduqdārī atau Baibar I yang dijuluki Al Salihi. Ia berhasil menstabilkan situasi politik dan keamanan di wilayah tersebut, mengusir tentara Salib dalam perang Perang Salib XI, serta membebaskan sepenuhnya Syam dari pendudukan Mongol. Ia berkuasa di Mesir dari tahun 1260 hingga 1277 M. Dari Baibar lah kemudian sultan-sultan Mamluk dilahirkan di kemudian hari.[3]
Tapi keagungan Qutuz tampaknya sulit dibenamkan. Hingga kini, nama Baibar tidak lebih agung daripada al-Muzhafar Saifuddin Qutuz. Bahkan sebagian besar menganggap bahwa Qutuz adalah raja teragung Dinasti Mamluk. Meski hanya satu tahun memerintah, ia berhasil mementaskan sebuah lakon krusial di arus waktu dan membelokkan sejarah dunia. Ia berhasil menyelamatkan peradaban Islam dan Eropa sekaligus yang nyaris tenggelam disapu invasi bangsa Mongol.
Ia dengan berani memenuhi tantangan bangsa Mongol ketika berada di puncak supremasinya, di luar Mesir, agar tidak terjadi korban sipil. Meskipun Baibar kembali ke Mesir sebagai Sultan, tapi rakyat mengenal siapa Sultan mereka, yang berangkat dengan gagah berani demi menyelamatkan nyawa rakyatnya. Hingga kini, nama al-Muzhafar Saifuddin Qutuz tetap hidup dalam tuturan masyarakat di jalan-jalan Kairo lama di Mesir.[4] (AL)
Selesai
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, http://archive.aramcoworld.com/issue/200704/history.s.hinge.ain.jalut.htm, diakses 20 Mei 2018
[2] Lihat, https://wikivisually.com/wiki/Qutuz, diakses 26 Mei 2018
[3] Lihat, https://www.britannica.com/biography/Baybars-I, diakses 26 Mei 2018
[4] Lihat, http://archive.aramcoworld.com/issue/200704/history.s.hinge.ain.jalut.htm, Op Cit
Waah…kayakx periode yajuj majuj sudah selesai.mnurut sy mongol itulah yajuj majuj (gog magog)…iya gak?
Menguak sejarah kegagalan pasukan Mongol di Timur Tengah.
Semoga barokah. Amiiin.