Sumber Emanasi (al-Isyraq) Suhrawardi (2)

in Studi Islam

Di samping sumber-sumber Yunani dan Middeteraniian Sea (lautan Mideteriana), Suhrawardi juga berpaling kepada hikmat (pemikiran) Iran kuno. Ia mencoba membangkitkan keyakinan-keyakinannya secara baru, dan memandang pemikir Iran kuno sebagai pewaris langsung hikmat yang turun sebelum (menimpanya) ‘topan’ terhadap kaum nabi Idris atau, Akhnu’ (inukh dalam bahasa Hebrew), yang pengarang-pengarang Muslim menghitung sebagai ibarat dari Hermes. Ia juga bersandar pada ajaran Zoroaster dalam mempergunakan lambang-lambang cahaya dan kegelapan, khususnya dalam ilmu Malaikat, yang didalamnya banyak ditambahkan istilah-istilahnya. Hanya saja, Suhrawardi telah mengisyaratkan secara jelas bahwa ia bukanlah seorang penganut dualisme, dan ia bukanlah menuduh kepada pengikut-pengikut aliran Zhahiriyah sebagai pengikut Zoroaster. Bahkan ia memandang dirinya berpihak kepada jamaah Hukama Iran, pemilik keyakinan-keyakinan “kebatinan”, yang berdasarkan prinsip kesatuan ketuhanan dan pemilik sunnah yang tersembunyi di lubuk masyarakat Zoroaster. Atau, seperti yang dikatakan dengan ibaratnya:

“adalah di Persia, umat berpetunjuk dengan kebenaran. Dan dengan kebenaran itu, mereka benar-benar sebagai Hukama utama, yang tidak serupa dengan Majusi. Sungguh telah kami hidupkan hikmat mereka yang bercahaya mulia, yang pernah dibuktikan oleh perasaan Plato sebelumnya, di dalam buku yang dinamakan Hikmah al Isyraq (pemikiran emanasi), dan apa-apa yang dicontohkan terdahulu”.

Tetapi, bukanlah termasuk suatu pemikiran, bahwa Suhrawardi dalam bersandar kepada semua sumber yang berbeda-beda, berarti ia telah melemparkan suatu pembersihan. Suhrawardi memandang dirinya sebagai pemadu antara apa yang dinamakannya Hikmah Laduniyah (genius) dan Hikmah al-Atiqah (antik). Ia percaya bahwa hikmah totalitas dan universal, merupakan hikmah (pemikiran) yang jelas-jelas kelihatan dalam berbagai ragam diantara orang-orang Hindu Kuno dan Persia Kuno, Babilonia dan Mesir, kemudian antara Yunani sampai zaman Aristoteles, yang oleh Suhrawardi dianggap sebagai permulaan filsafat orang-orang Yunani. Bahkan lebih tepat dikatakan sebagai penutup peninggalan hikmah yang merupakan keterbatasan pada sisi aklinya.

Penggambaran Suhrawardi mengenai sejarah filsafat sangat penting, (sehingga) ia membentangkan sesuatu yang tertutup dari sisi pokok Hikmah al-Isyraq. Maka hikmah, menurut keyakinan Suhrawardi dan kebanyakan penulis-penulis abad pertengahan, sebenarnya telah diturunkan Allah kepada manusia melalui nabi Idris atau Hermes. Pada sisi ini, di timur dan di sebagian sekolah-sekolah tertentu di barat, memandangnya sebagai pendiri filsafat dan ilmu-ilmu. Lalu hikmah terbagi menjadi dua cabang: salah satunya di Persia dan satunya lagi di Mesir. Dari Mesir melebar ke Yunani. Akhirnya, masuk melalui dua sumber, khususnya Persia dan Yunani, ke dalam pembentukan peradaban yang Islami. Yang sebenarnya, Suhrawardi menengok pendahulu-pendahulunya di dunia Islam secara langsung bukan karena mereka sebagai filsuf-filsuf yang kreatif, tetapi karena ia menghitung mereka dalam keberadaannya sebagai perintis-perintis Sufisme. Ia pun dengan lincah menandai suatu mimpi yang dilihatnya dala Thelogia, yang dilukiskan Aristoteles itu, padahal sebenarnya Plato. Maka ia bertanya, adakah tokoh-tokoh filsafat Mussyaiyah seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan filsuf-filsuf lain yang sebenarnya dalam Islam? Aristoteles menjawab, “tidak, tidak juga terdapat sebagian (pun) dari sebagian urutannya. Lalu, aku menghitung jamaah yang ku ketahui, maka tidaklah aku berpaling kepada mereka. Sedang aku sendiri kembali kepada Abu Yazid Bushtami dan Abu Muhammad Sahal bin Abdillah Tasatturi, serta yang seperti keduanya. Maka seolah-olah ia memberikan kabar gembira dan berkata: mereka itulah filsuf-filsuf dan Hukama sesungguhnya.

Syaikh al-Isyraq memandang dirinya sebagai pusat yang bertemu dua cabang hikmah, yang keduanya telah tumbuh dari satu sumber pada suatu zaman. Dengan demikian, ia mencoba memadukan pemikiran Zoroaster dan Plato, sebagaimana Gemistos Plethon mencoba memadukannya pada peradaban Byzantium, yang bertetangga, setelah berselang tiga abad Suhrawardi mencobanya, meskipun pengaruh-pengaruh dan kepentingan-kepentingan berikutnya saling berpautan dalam konteks kedua tokoh tersebut dengan sendirinya.

Dari kata-kata Suhrawardi terdahulu menjelaskan bahwa, Hikmah al-Isyraq (pemikiran emanasi) yang didasarkan pada setiap pembuktian bahasan dan perkiraan akal, adalah dimaksudkan sebagai pelaksanaan resmi bagi akal dan pembersihan jiwa. Pada kenyataannya, Suhrawardi membagi urutan bahasan ma’rifat, mengikuti salah satu dari kedua ma’rifat atau kedua-duanya pada diri mereka, yang saling menyempurnakan. Mereka itu, menurut pengertiannya, ada empat tingkatan:

  • Para pencari (penuntut ilmu) yang mulai merasakan kehausan ma’rifat, yang pada putaran berikutnya memajukan diri untuk membahas filsafat.
  • Para pencari yang telah memperoleh ilmu secara formal, dan telah sempurna mempelajari filsafat pembuktian, tetapi mereka masih asing dari pengetahuan. Dan Suhrawardi memasukkan Al-Farabi dan Ibnu Sina pada tingkatan ini.
  • Para pencari yang masih belum merasa puas dengan bentuk-bentuk ma’rifat pembuktian secara mutlak, tetapi mereka telah membersihkan diri mereka, sehingga mencapai derajat perkiraan akal dan Emanasi batini, seperti Al-Hallaj, Bashtami, dan Tasatturi.
  • Para pencari yang telah menamatkan filsafat pembuktian, sebagaimana mereka mengetahui tahapan Emanasi atau pengetahuan. Pada tingkat ini, individu-individu meningkat kepada apa yang dinamakan “ahli hikmat Ketuhanan”, seperti Pitagoras dan Plato. Sebagaimana secara pribadi, Suhrawardi meningkat pada tingkatan ini di Dunia Islam.

Berdasarkan tingkatan-tingkatan ini, Malaikat Samawi itu tidak kelihatan, karena mereka adalah makhluk-makhluk ruhani, yang salah satu dari mereka adalah pemimpinnya dan imamnya, yang memimpin seluruh malaikat ruhani dengan (bantuan) peran wakil-wakilnya. Sedang makhluk-makhluk ruhani ini, berperan sebagai perantara-perantara, yang mengantarkan pertemuan arwah-arwah manusia dengan al-Isyraq (emanasi). Maka jadilah pada akhirnya (menduduki) urutan puncak. (SI)

Bersambung…

Sebelumnya:

Sumber Emanasi (al-Isyraq) Suhrawardi (1)

Sumber:

Seyyed Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam; Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi, Penerbit IRCiSoD, Yogyakarta, 2014

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*