Tafsir Tematik (2): Hakikat Kematian Dan Ajal (2)

in Studi Islam

Last updated on February 16th, 2023 08:49 am

Di antara pikiran yang selalu menyiksa manusia adalah kematian dan berakhirnya kehidupan. Kegelisahan menghadapi kematian merupakan salah satu faktor yang telah mendorong lahirnya pesimisme. Kaum pesimis menggambarkan kehidupan dan eksistensi ini sebagai tidak bertujuan, tidak berfaedah, sia-sia dan tidak mengandung hikmah.”

Gambar Ilustrasi. Sumber: datariau.com

Makna Kematian

Kembali ke sisi Allah SWT dan keluar dari kehidupan dunia menuju kehidupan lain digambarkan oleh Allah SWT dalam Kitab-Nya dengan istilah maut (kematian). Kematian ini bukan yang biasa kita pahami dan kita lihat sehari-hari sebagai hilang­nya fungsi indra, punahnya kemampuan beraktivitas dan lenyapnya kehidupan (fisik).

Allah SWT berfirman: “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya (bil-Haqq). Itulah yang kamu selalu lari darinya.” (QS. Qaf: 19)

Dari ayat ini kita dapat memahami haki­kat kematian yang digam­barkan oleh Allah SWT dengan ungkapan bil-Haqq, sehingga kema­tian bukanlah ketiadaan, kesirnaan atau kehilangan.

Allah SWT berfiman: “Sekali-kali tidak! Apabila nyawa (seseorang) telah sampai ke kerongkongan, dan (ketika itu) dikata­kan: ‘Siapakah penyem­buh’ dan dia telah menduga bahwa sesung­guhnya itulah waktu perpisahan, dan bertautlah betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Tuhanmulah pada hari itu (tempat dan masa) penggiringan.” (QS. Al Qiamah; ayat 26-30)

Jadi, saat kematian adalah saat semua manusia kembali kepada Allah SWT sekaligus saat penggiringan setiap makhluk ke sisi-Nya. Riwayat-riwayat di bawah ini mendukung apa yang telah kami kemukakan di atas.

Fenomena Kematian

Di antara pikiran yang selalu menyiksa manusia adalah kematian dan berakhirnya kehidupan. Setiap manusia akan bertanya kepada dirinya: “Mengapa aku dilahirkan ke dunia? Dan mengapa aku harus meninggalkannya? Apa yang menjadi tujuan dibangun dan dimusnahkannya semua ini? Bukankah perbuatan itu merupakan kesia-siaan yang sama sekali tidak berfaedah?”

Khayyam mengatakan:

Raja yang mengatur susunan tabiat ini, mengapa di dalamnya ada yang hina dan tercemooh.

Kalaulah sejak semula alam ini indah dan baik, mengapa Dia mengubahnya menjadi jelek?

Kalaulah sejak semula alam ini jelek, lalu siapakah yang seharusnya bertanggungjawab?

***

Peminum dari cangkir seindah ini, tentu takkan rela melihatnya hancur.

Betapa banyak kaki dan tangan yang indah serta wajah-wajah yang ceria, mengapa dicipta? Lalu mengapa dibiarkan sirna?

***

Itulah piala yang mencengangkan akal, lantas akal menciuminya ratusan kali

Pencipta zaman telah membuat piala sehalus ini,

kemudian Dia membiarkannya tercecer di tanah.

***

Kegelisahan menghadapi kematian merupakan salah satu faktor yang telah mendorong lahirnya pesimisme. Kaum pesimis menggambarkan kehidupan dan eksistensi ini sebagai tidak bertujuan, tidak berfaedah, sia-sia dan tidak mengandung hikmah. Pandangan ini telah membuat mereka semakin gundah dan bimbang, dan kadang-kadang menimbulkan pikiran untuk bunuh diri.

Mereka berpikir, seandainya kita harus berpisah dengan kehidupan ini, mengapa kita dilahirkan ke dunia ini? Sekarang, setelah kita dilahirkan ke dunia ini tanpa kehendak, mengapa kita harus melakukan sesuatu untuk menghentikan kesia-siaan ini, dan dengan menghentikan segala kesia-siaan ini berarti kita telah melakukan sesuatu yang sangat penting!

Khayyam mengatakan:

Sekiranya kedatanganku ini atas kemauanku sendiri,

sungguh aku tak akan datang

Sekiranya kejadianku ini atas perintahku,

sungguh aku tak akan menjadi

Bukankah yang terbaik di dunia yang bakal dimusnahkan ini,

adalah keadaan tidak datang, tidak menjadi, dan tidak mewujud?

***

Senyampang urusan manusia di bumi getir ini

tak lain dari tersiksa, sampai ruh meninggalkan jasad

Maka orang yang paling bahagia

adalah yang paling cepat meninggalkan alam ini

dan yang lebih bahagia lagi

adalah yang sama sekali tidak pernah tiba ke bumi ini.

***

Sekiranya satu saja kudapat buah dari pohon harapan,

sungguh aku telah mendapatkan ujung jarumku

Sampai kapankah aku akan terus ada

di penjara wujud yang sempit ini?

Duhai, kapan kiranya aku ini

menemukan jalan menuju ketiadaan!

***

Bersambung…

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*