Tafsir Tematik (3): Hakikat Kematian Dan Ajal (3)

in Studi Islam

Last updated on February 19th, 2023 06:53 am

Saat kita merasa tersiksa oleh pikiran tentang ketiadaan, maka pikiran ini sendiri sudah bisa menjadi dalil bahwa kita sekali-kali tidak akan meniada. Andai kita seperti bunga dan tetumbuhan yang hidup secara temporal dan terbatas, maka dalam sukma kita tidak akan muncul hasrat fundamental untuk hidup abadi.”

Gambar ilustrasi. Sumber: khazanah.republika.co.id

Keadaan Takut Mati

Sebelum membahas fenomena kematian dan dampaknya pada sistem alam, ada baiknya kita terlebih dahulu mengingat persoalan sangat penting ini, yaitu bahwa takut dan gusar menghadapi kematian adalah salah satu karakteristik manusia.

Para peneliti menemukan bahwa binatang tidak pernah berpikir tentang kematian dan karenanya tidak takut menghadapi kematian. Binatang hanya memiliki naluri untuk menghindar dari bahaya dan mempertahankan hidup yang dimilikinya.

Jelas bahwa keinginan untuk tetap hidup, dalam arti mempertahankan kehidupannya, menyertai kehidupan pada umumnya. Tetapi, di samping itu, manusia juga menghendaki masa depan dan kelanggengan di masa depan. Dan inilah yang menyebabkan manusia takut pada apa yang dikiranya sebagai kemusnahan.

Dengan kata lain, manusia memiliki cita-cita untuk bisa tetap abadi. Hal demikian jelas merupakan karakteristik khas manusia. Cita-cita ini lahir dari konsepsi tentang masa depan, dan cita-cita keabadian lahir dari konsepsi tentang keabadian. Konsepsi semacam ini merupakan salah satu keunikan manusia.

Maka itu, ketakutan dan kegusaran manusia terhadap kematian yang membuat pikirannya senantiasa terlibat dengan dirinya adalah sesuatu yang berbeda dengan naluri menghindari bahaya. Naluri menghindari bahaya tidak lebih dari reaksi spontan dan wajar pada setiap makhluk hidup saat melihat bahaya. Bahkan, sebelum hasrat pada keabadian berkembang menjadi konsep dalam benak manusia dewasa, bayi juga sudah mempunyai naluri untuk menghindari bahaya.

Jadi, lari dari kematian dan kegusaran terhadapnya merupakan buah dari hasrat manusia pada keabadian. Dan mengingat tidak ada hasrat yang sia-sia di alam ini, maka hasrat ini sendiri bisa menjadi dalil bagi kekekalan hidup manusia sesudah mati. Saat kita merasa tersiksa oleh pikiran tentang ketiadaan, maka pikiran ini sendiri sudah bisa menjadi dalil bahwa kita sekali-kali tidak akan meniada. Andai kita seperti bunga dan tetumbuhan yang hidup secara temporal dan terbatas, maka dalam sukma kita tidak akan muncul hasrat fundamental untuk hidup abadi.

Rasa haus adalah bukti keberadaan air. Bahkan, semua hasrat dan kesiapan fundamental adalah bukti aktualitas kesempurnaan yang dituju itu. Dan setiap kesiapan merupakan prakonsepsi tentang kesempurnaan yang harus segera dicapai.

Kegusaran dan hasrat untuk hidup abadi yang dirasakan oleh setiap manusia, dan yang membuatnya sibuk memikirkan dirinya, sebenarnya merupakan penampakan dari hakikat penolakan manusia terhadap ketiadaan.

Munculnya kegusaran dan hasrat ini pada manusia persis seperti realitas mimpi yang menampakkan segenap watak dan persepsi manusia saat terjaga. Apa yang kita saksikan dalam mimpi adalah penampakan hal-hal yang merasuki dan mengakar dalam ruh kita saat kita terjaga.

Begitu juga, hasrat untuk hidup abadi yang tampak saat kita terjaga, yang tidak sejalan dengan kehidupan dunia yang terbatas ini, sebenarnya merupakan manifestasi dari realitas abadi kita. Realitas itu—mau tidak mau—akan membebaskan dirinya dari “kebengisan penjara Alexander” untuk secepatnya “berkemas pindah ke kerajaan Sulaiman”.

Mengenai hakikat ini, penyair Mawlawi, dengan begitu indah mengungkapkan:

Agar gajah bisa tidur dengan lelap, ia harus bermimpi tentang India.

Keledai tidak bermimpi tentang India karena ia tidak pernah pergi darinya

Lantaran ingatan tentang India menyita siang harinya gambaran-gambaran tentangnya mengisi mimpi gajah di malamnya

Semua ide, konsepsi, harapan dan hasrat ini menjelaskan fakta yang disebut oleh para filsuf dan ahli makrifat (‘arif) sebagai “alienasi” (gharbah) atau “ketidaksejenisan” manusia dengan bumi wadag ini.

Relativitas Kematian

Keberatan yang muncul dari kematian bermula dari konsepsi yang memahaminya sebagai ketiadaan. Padahal, kematian bukan ketiadaan melainkan perkembangan dan perpindahan; musnah dari satu tingkat untuk memulai hidup di tangkat lain. Dengan kata lain, kematian adalah non-eksistensi, hanya saja ia bukan non-eksistensi mutlak. Kematian adalah non-eksistensi relatif, yakni non-eksistensi dari satu tahap demi eksistensi di tahap lain.

Manusia tidak akan mengalami kematian mutlak, melainkan hanya akan kehilangan kondisi tertentu dan beralih ke kondisi lain. Di sini, kesirnaan itu bersifat relatif. Misalnya, tanah yang berubah menjadi tetumbuhan, tidak mengalami kematian mutlak. Tanah itu hanya mengalami kematian relatif, karena forma dan ciri-khas tanah sebelumnya sebagai benda matitelah lenyap. Namun, ia mati dari satu kondisi dan keadaan untuk beroleh kehidupan dalam kondisi dan keadaan lain:

Aku mati dari (keadaan sebagai) benda mati,

dan berubah menjadi tetumbuhan

Aku mati dari (keadaan sebagai) tetumbuhan

dan berubah menjadi binatang

Aku mati sebagai binatang,

dan kini berubah menjadi manusia

Kalau begitu, mengapa aku mesti takut menjadi kurang akibat kematian?

Di tahap akhir, aku akan mati dari (keadaan sebagai) manusia

untuk bisa berubah menjadi salah satu sayap malaikat

Setelah jadi malaikat, aku akan terus mencari ufuk lain

Karena “Segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya.”

Bersambung…

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*