“Kaum ‘Alawiyin bisa dikatakan mataharinya Kota Tarim. Inilah sumber mata air keilmuan di Kota Tarim yang terkenal itu. Umumnya dari keturunan ini lahir manusia-manusia mulia yang memeram dalam dirinya ilmu-ilmu yang sangat tinggi. Mereka menjadi pendakwah dan menyebarkan Islam dengan cara yang damai – berbanding terbalik dengan banyak penguasa dalam sejarah Islam yang menyebarkan Islam dengan jalan perang dan penaklukkan.”
—Ο—
Terkait keberkahan yang meliputi kota Tarim, salah satu riwayat paling masyhur menyatakan bahwa pada tahun 10 H, atau ketika Sayidina Abu Bakar dilantik menjadi Khalifah menggantikan Nabi Muhammad Saw, beliau tetap menunjukkan Ziyad bin Labiid sebagai pengelola urusan kaum Muslimin di wilayah Hadhramaut. Abu Bakar memerintahkan kepada Ziyad untuk mengambil bai’at dari masyarakat di Hadramaut atas dirinya. Dan ketika Ziyad membacakan surat pengangkatan Abu Bakar dihadapan masyarakat Tarim dan meminta mereka untuk bersumpah setia, maka waktu itu seluruh kaum Muslimin Tarim tanpa terkecuali berbai’at pada Abu Bakar.
Sampailah berita tentang baiat yang diberikan masyarakat Tarim kepada Abu Bakar. Begitu mendengar tentang kesetiaan masyarakat Tarim, Khalifah pertama itupun langsung mengangkat tangannya dan mendoakan masyarakat Tarim. Beliau mendoakan masyarakat Tarim untuk tiga kebaikan, yaitu : 1. Di do’akan semoga di Tarim tumbuh serta muncul banyak orang sholeh seperti tumbuhnya rerumputan atau sayur mayur 2. Di do’akan semoga airnya selalu jernih, segar dan diberkati 3. Di do’akan semoga Tarim selalu makmur hingga akhir zaman. Rupanya do’a dari Khalifah Abu Bakar di kabulkan oleh Allah SWT. Tarim sampai sekarang tumbuh sebagai pusat ilmu agama Islam, yang mana banyak para da’i yang belajar di Tarim menyebar ke berbagai negeri untuk mendakwahkan agama Islam. Diceritakan bahwa pada kota Tarim terdapat tiga keberkahan : pertama, keberkahan pada setiap masjidnya, kedua, keberkahan pada tanahnya, ketiga, keberkahan pada pegunungannya.[1]
Disamping adanya madrasah dan tempat-tempat ziarah, Tarim juga dikenal dengan kesemarakan ritual peribadatannya. Hal ini tidak lepas dari peran masjid yang menjadi sentra peribadatan di kota tersebut. Masjid-masjid di Tarim banyak yang sudah berusia sangat tua. Yang tertua adalah Masjid al-Wa’il. Belum diketahui kapan tepatnya Masjid al-Wa’il dibangun. Tapi beberapa catatan ada yang mengatakan bahwa masjid ini dibangun oleh seorang Tabi’in bernama Ahmad Abbad bin Basyar al-Anshari.[2]
Uniknya, jumlah masjid di Kota ini dikisaran 360-365 buah, sesuai dengan jumlah hari dalam setahun atau jumlah derajat dalam satu lingkaran penuh tanpa putus.[3] Dengan jumlah masjid sebanyak ini, pantaslah bila Tarim di nobatkan sebagai kota dengan masjid terbanyak di dunia. Selain kota sejuta wali, Tarim juga dikenal dengan kota seribu menara. Hampir setiap masjid memiliki menara, dan menara tertinggi adalah yang dimiliki oleh Masjid al Muhdlor. Yang tingginya mencapai 175 kaki atau 53 meter.[4]
Nama masjid ini diambil dari penggagasnya, yaitu Syekh Umar Al Muhdlor bin Abdurrahman Assegaf. Seorang Naqib Sadah al-Ba’alawi (ketua al-Ba’alawi) pada tahun 821H. Beliau wafat pada tahun 833 H/1430 M. Tidak ada yang tahu pastinya waktu pendirian Masjid Muhdlor. Tapi bila dilihat dari tahun wafatnya Syekh Umar Al Muhdlor, tentu waktu dibangunnya tidak mungkin melampuai tahun 833 H. Uniknya, menara masjid ini murni terbuat dari labin, yaitu tanah liat yang dikeringkan tanpa dibakar dengan kerangka batang pohon kurma, tanpa menggunakan besi sedikitpun. Menara ini dihiasi oleh ornamen-ornamen yang memukau, bercatkan kapur putih bersih membuat menara ini tampak gagah nan indah sehingga menjadi pusat pemandangan angkasa Tarim. Hingga saat ini menara Muhdhor menjadi menara tertinggi di dunia yang terbuat dari tanah.[5]
Selain Masjid Al Muhdlor, pada masanya Syekh Umar Al Muhdlor bin Abdurrahman Assegaf juga merenovasi masjid yang hingga kini menjadi salah satu masjid paling banyak dikunjungi, yaitu Masjid Ba’alawi. Masid ini terletak di sebelah timur kota Tarim, tepatnya di perkampungan Ba’alawi. Masjid Ba’alawi di dirikan pada abad ke 6 Hijriyah (sekitar tahun 530 H), oleh al-Imam Ali bin Alwi Khali’ Qasam.[6] Sebagaimana masjid-masjid bersejarah lainnya di Tarim, Masjid Ba’alawi juga terbuat dari tanah liat, kayu dan kapur.[7] Tapi ketahanan bagunan pertama itu ternyata tidak terlalu baik. Kemudian Masjid Ba’alawi di renovsi oleh putra Syekh Ali Khali’ Qasam, bernama Muhammad Bin Ali yang terkenal dengan julukan shohibul Mirbath.[8] Adapun renovasi yang paling besar terjadi pada abad ke-9 H yang dilakukan oleh Syekh Umar Al Muhdlor. Hasil dari renovasi inilah yang masih kita lihat hingga sekarang.
Terkait dengan namanya, Masjid ini pada mulanya dikenal sebagai masjid Bani Ahmad,[9] kemudian disebut sebagai Masjid Al Qaum, dan terakhir dinamakan Masjid Ba’alawi.[10] Ba’alawi adalah sebutan lain untuk Alawiyyin, atau orang yang memiliki pertalian nasab dari Alawi bin Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib dan Siti Fatimah binti Muhammad Saw.[11] Dengan kata lain, perkampungan Ba’alawi adalah pemukiman para keturunan Rasul yang mulia. Dari tempat ini lahir banyak ulama dan para wali yang sangat berpengaruh di dunia.
Kaum ‘Alawiyin bisa dikatakan mataharinya Kota Tarim. Inilah sumber mata air keilmuan di Kota Tarim yang terkenal itu. Umumnya dari keturunan ini lahir manusia-manusia mulia yang memeram dalam dirinya ilmu-ilmu yang sangat tinggi. Mereka menjadi pendakwah dan menyebarkan Islam dengan cara yang damai – berbanding terbalik dengan banyak penguasa dalam sejarah Islam. Mereka menyebarkan Islam secara damai, tanpa kekerasan atau kontak senjata. Ini sangat berbeda dengan tradisi para penguasa yang menyebarkan Islam melalui peperangan dan penaklukkan.
Muhammad Subarkah dalam salah satu tulisannya di buku “Peran Dakwah Damai Habaib/Alawiyin di Nusantara” menyatakan bahw corak keberagamaan kaum ‘Alawiyin atau habib yang mengutamakan bobot sufistik daripada fiqhiyah (legal-formal) juga dianggap menjadi salah satu penentu meluasnya penyebaran dakwah. Sayangnya, tradisi pengajaran Islam sufistik ini pada masa sekarang justru mendapat tantangan dari kaum ‘eksetoris’, bahkan dianggap menyimpang dari arus utama pemikiran Islam.”[12] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] http://arrohim.com/tarim-kota-sejuta-wali-di-yaman
[2] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Tarim, diakses 7 Maret 2018
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Lihat, https://majalahlangitan.com/masjid-muhdlor-masjid-dengan-menara-tanah-liat-tertinggi-di-dunia/, diakses 7 Maret 2018
[6] Lihat, https://maulakhela.wordpress.com/2013/06/18/masjid-baalawi/, diakses 11 Maret 2018
[7] Lihat, https://pecintahabibana.wordpress.com/2013/01/07/masjid-ba-alawi/, diakses 11 Maret 2018
[8] Ibid
[9] Disebut Masjid Bani Ahmad, maksudnya adalah masjid anak cucu Sayyidina Ahmad Muhajir, yaitu Bani Jadid, Bani Basri, Bani Alwi (Bani Basri dan Bani Jadid terputus keturunanya pada abad ke 7) yang mana dalam pembangunan masjid tersebut mereka semua di pimpin oleh al-Imam Ali Kholi’ Qosam setelah setelah beliau menetap di kota Tarem. Lihat, http://nabawiy.blogspot.co.id/2015/03/masjid-masjid-di-kota-tarem.html, diakses 11 Maret 2018
[10] Dinamakan Masjid Ba’alawi karena masjid ini di nisbahkan kepada al-Habib Abdullah Ba’alawi bin Alwi al-Ghuyur bin Faqihul Muqoddam. Al-Habib Abdullah Ba’alawi mewaqofkan harta miliknya sangat banyak sekali , baik tanah perkebunan yang penuh dengan pohon kurma yang mana pada saat itu kira-kira bernilai seratus dinar, atau milyaran pada saat ini. Lihat, Ibid
[11] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Alawiyyin, diakses 11 Maret 2018
[12] Lihat, Muhammad Subarkah, “Jalur Dakwah Diaspora Hadhramaut”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hal. 242-243