Tarim; Kota Para Wali (3)

in Travel

Last updated on March 19th, 2018 04:59 am

Tarim hanyalah sebuah kota kecil di Yaman. Tapi yang membuat Tarim demikian masyur dan berharga bagi kaum Muslimin karena kota ini merupakan titik krusial dalam sejarah perkembangan dakwah Islam di Dunia. Inilah tempat yang menghubungankan masa lalu dan masa kini; Sebuah terminal peradaban kaum Muslimin. Di sinilah nilai-nilai Islam berkumpul sebagai titik kedatangan; dari sini nilai-nilai itu bergerak memulai perjalanan, dan akhirnya sekarang menjadi tempat kembali.”

—Ο—

 

Madinah, mulanya hanyalah sebuah definisi geografi. Yang membuatnya memiliki daya tarik dan demikian dicintai karena di tempat itu Nabi Muhammad Saw hidup dan menjadikan kota itu sebagai pusat episentrum penyebaran dakwah Islam ke seluruh dunia. Ketika Rasulullah Saw wafat, Madinah kehilangan daya tarik Ilahi. Satu-satunya daya tarik yang tersisa hanyalah pusara Nabi Saw. Ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, beliau memindahkan ibu kota kaum Muslim ke Kufah. Sebagaimana yang Rasulullah Saw sabdakan, “Ali adalah gerbang ilmu kenabian (babul ilmi)”. Maka bersama dirinya, Ali membawa juga semua khasanah ilmu-ilmu kenabian, tautan akal semua manusia.

Migrasipun dimulai. Satu persatu anak keturunan Nabi Saw dan para kaum Muslimin lainnya beranjak meninggalkan Madinah. Kufah menjadi pusat peradaban kaum Muslimin. Tapi di Kufah demikian bising. Hiruk pikuk politik dan perebutan kekuasaan menenggelamkan nuansa kesyahduan ilmu-ilmu keislaman. Anak keturunan Ali bin Abi Thalib yang merupakan pewaris khazanah ilmu kenabian berpencar. Karena daya tarik alamiahnya, anak keturunan Rasulullah Saw menjadi tautan hati dan akal manusia. Mereka dianggap membahayakan dinasti politik yang berkuasa, dan merekapun diburu. Migrasipun kembali terjadi.

Pada tahun 317 H, salah seorang keturunan Rasulullah Saw bernama Imam Ahmad bin ‘Isa memutuskan untuk pergi meninggalkan Basrah dan hiruk pikuk kekacauan yang terjadi akibat kedengkian penguasa setempat pada para keturunan Rasulullah Saw. Beliau membawa keluarganya menuju Madinah. Pada tahun 319 H, beliau menunaikan ibadah haji, setelah itu rombongan Ahmad bin ‘Isa berangkat ke Hadramaut, Yaman. Alasannya, karena tempat ini jauh dari jangkauan penguasa Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad, Irak.[1]

Rombongan berhenti di beberapa tempat, seperti Wadi Douan, Hajrain, dan Jusyair, sebelum menetap di Husaisah—daerah yang berada di antara Tarim dan Seywun. Beliau pun lantas menetap di sana sampai menemui ajalnya pada tahun 345 H (965 M). Pusara beliau yang berbentuk kubah putih berdiri menawan di dataran wadi yang hingga hari ini terus menjadi pusat ziarah bagi para pengunjung lokal dan mancanegara.

Sejak pertama kali memeluk Islam pada masa Rasulullah Saw, Tarim hanyalah wilayah “minor” di tengah dinamika sejarah Islam yang berlangsung di Madinah, Persia, dan Syiria. Tapi sejak kedatangan rombongan Imam Ahmad bin ‘Isa dan keluarganya, tempat itu jadi berubah sama sekali.

Menurut Musa Kazhim, dalam salah satu tulisannya di buku “Peran Dakwah Damai Habaib/Alawiyin di Nusantara”, bahwa di Husaisah, Imam Ahmad mulai membangun landasan dakwah Islam yang moderat dan toleran, dengan pembobotan pada spiritualitas. Metode ini kemudian mencapai puncak kemapanannya pada era Al-Faqih Al-Muqaddam, Muhammad bin ‘Ali. Beliau adalah salah satu keturunan Ahmad bin ‘Isa dari cucunya yang bernama Alwi bin Ubaidillah.[2]

Al-Faqih dapat dikatakan sebagai peletak dasar-dasar tasawuf kaum ‘Alawiyin. Salah satu aksi demonstratif yang dilakukannya adalah upacara pematahan pedang, sangat ingat oleh para sejarawan. Aksi ini menandai tegaknya identitas perdamaian dari serangkaian dakwah kaum Alawiyin ke seluruh dunia. [3]

Terkait aksi monumental Al Faqih, Musa Kazhim dalam tulisannya mengutip seorang ahli sejarah ‘Alawiyin, Sayid Muhammad bin Ahmad Al-Syathiry mengupasnya, dalam kitab Adwar Al-Tarikh al-Hadhramy sebagai berikut;

“Di masa Al- Faqih Al-Muqaddam dan sebelumya, para penguasa di Hadhramaut menyoroti gerak-gerak ‘Alawiyin karena mereka selalu mendapatkan tempat di hati rakyat (mengingat klaim kuat keimaman sebagaimana dinyatakan dalam berbagai hadis dan dipercayai banyak orang). Mereka khawatir, tokoh-tokoh di kalangan kaum ‘Alawiyin dapat menjadi sumber berkumpulnya kekuatan politik dan ditakutkan dapat menggerogoti kekuasaan mereka. Bukan hanya selalu mengawasi gerak gerik ‘Alawiyin, para penguasa ini juga terus menyudutkan kelompok ini, seperti perlakuan para penguasa sebelumnya, yang bermula sejak Bani Umayyah, Bani Abbas, dan lainnya (inilah juga yang mengakibatkan Ahmad bin ‘Isa hijrah ke Hadhramaut untuk pertama kalinya). Alasan yang sama telah membuat kakeknya, Shahib Mirbath (Muhammad bin Ali) hijrah dari daerahnya; juga kematian pamannya Alwi yang dipercayai diracun oleh Al Qahthany, penguasa Tarim saat itu. Maka, pematahan pedang harus dilihat sebagai simbol peletakan senjata, yang berarti kesediaan untuk menempuh cara-cara damai dalam dakwah dan kemasyarakatan. Penekanan pada tasawuf dan metode dakwah secara damai inilah yang kemudian secara umum mewarnai secara turun temurun “mazhab” kaum ‘Alawiyin di mana pun mereka berada, sampai pada masa sekarang ini.”[4] (AL)

Bersambung…

Tarim; Kota Para Wali (4)

Sebelumnya:

Tarim; Kota Para Wali (2)

Catatan kaki:

[1] Bani Abbas adalah anak keturunan Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah Saw. Mereka mendirikan sebuah dinasti bernama Abbasiyah. Dinasti ini melegitimasi kekuasaan politiknya dengan mengatasnamakan hak keluarga Muhammad Saw. Dalam kerangka ini, para keturunan Rasulullah Saw dianggap mengancam legitimasi mereka.

[2] Ahmad bin Isa wafat di Husaisah mempunyai dua orang putera yaitu Ubaidillah dan Muhammad. Ubaidillah hijrah bersama ayahnya ke Hadramaut dan mendapat tiga orang putera yaitu Alwi (Alawi), Jadid, dan Ismail. Pada akhir abad ke-6 H keturunan Ismail dan Jadid dikatakan tidak mempunyai kelanjutan, sehingga mereka punah dalam sejarah, sedangkan keturunan Alwi tetap berlanjut. Keturunan dari Alwi inilah yang kemudian dikenal dengan kaum Alawiyin. Maka, secara khusus, istilah “Habib” mengacu kepada keturunan Alwi bin Ubaidillah (wafat awal abad ke-5 H). Lihat, Panji Haryadi, Melacak Asal-Usul Habib di Indonesia (1): Siapakah Habib?, https://ganaislamika.com/melacak-asal-usul-habib-di-indonesia-1-siapakah-habib/, diakses 14 Maret 2018

[3] Al-Faqih Al-Muqaddam dilahirkan pada tahun 574 H/1176 M di Tarim, Hadhramaut, Yaman Selatan. Beliau wafat tahun 653 H pada usia 79 tahun, malam Jum’at Zulhijjah 653 H atau malam minggu di akhir bulan Zulhijjah tahun 653 H /1255M dan dikebumikan di “Zanbal”, penanggalan wafat beliau diikhtisarkan dengan hitungan abjad Hijaiyah pada kalimat “Abu Tarim”. Lihat, Musa Kazhim, “Sekapur Sirih Sejarah ‘Alawiyin dan Perannya Dalam Dakwah Damai Di Nusantara: Sebuah Kompilasi Bahan”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hal. 5

[4] Ibid, hal. 6-7

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*