Tentang Masuknya Islam ke Nusantara (1)

in Islam Nusantara

Last updated on October 21st, 2017 09:01 am

Pada 24 Maret 2017 lalu, Presiden Joko Widodo bersama Ibu Negara Iriana Joko Widodo mengunjungi kawasan objek wisata religi Pemakaman Mahligai Barus, di Desa Sihorbo, Kecamatan Barus Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah. Di areal pemakaman Mahligai Barus yang terbentang di atas bukit seluas 3 hektare tersebut terdapat sejumlah makam ulama besar asal Timur Tengah. Jokowi mengatakan lokasi wisata religi ini sebagai bukti sejarah hubungan Indonesia dengan Timur Tengah sejak ratusan tahun yang lalu. “Ini menunjukkan bahwa hubungan antara Timur Tengah dengan Indonesia itu sudah ada sejak abad ke-6. Jadi, kalau di Masehi itu 661 Masehi, 48 Hijriah, jadi artinya memang ratusan tahun yang lalu hubungan itu telah ada,” kata Jokowi.[1]

 


Presiden Jokowi saat mengunjungi Makam Mahligai pada Maret 2017 lalu. Sumber : https://m.timesindonesia.co.id/read/144923/20170325/121207/sambangi-makam-barus-jokowi-napak-tilas-islam-di-indonesia/, Diakses 17 Oktober 2017

Apa yang dilakukan oleh Presiden sebenarnya mengajak kita kembali mengingat fase penting dalam sejarah manusia Nusantara yang hari ini mayoritas berpenduduk muslim. Yaitu fase datangnya Islam ke Nusantara. Sayangnya sampai hari ini belum ada kesepakatan yang bulat diantara masyarakat Islam Indonesia terkait kapan dan bagaimana Islam masuk dan berkembang di Nusantara.

Terkait hal ini, terdapat beberapa teori yang menjelaskan masuknya Islam ke Nusantara.

  1. Teori Gujarat. Teori ini muncul di tahun 1883 yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dan disokong oleh banyak para peneliti barat lainnya seperti; R.A. Kern, Dr. Gonda, Marison, C. A. O. Van Nieuwenhuize, Van Ronkel, dan lain-lain. Teori ini menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13 melalui wilayah-wilayah di anak benua India, seperti Gujarat, Bengali, dan Malabar.[2] Berdasarkan teori ini, masuknya Islam ke Indonesia ini diyakini berasal dari Gujarat karena didasarkan pada adanya bukti berupa batu nisan Sultan Samudera Pasai Malik as-Saleh berangka tahun 1297 yang bercorak Gujarat. Selain itu, teori gujarat juga didasarkan pada corak ajaran Islam yang cenderung memiliki warna tasawuf. Ajaran ini dipraktikan oleh orang muslim di India Selatan, mirip dengan ajaran Islam di Indonesia pada awal berkembangnya Islam.
  2. Teori Persia. Teori ini dikemukan salah satunya oleh Prof. Aboebakar Aceh. Teori ini menyatakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia pada abad ke 12, dibawa oleh para pedagang dari Persia (Iran). Adapun mahzab Islam yang pertama kali masuk ke Nusantara adalah mahzab Syiah. Teori Persia berlandaskan pada bukti maraknya paham Syiah pada awal masuknya Islam ke Indonesia. Selain itu, ada kesamaan tradisi budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia, seperti peringatan 10 Muharam atau hari Asyura di Iran dengan upacara Tabuik atau Tabut di Sumatera Barat dan Jambi sebagai lambang mengarak jasad Husein bin Ali bin Abi Thalib yang terbunuh dalam peristiwa Karbala menjadi salah satu contohnya.[3] Bahkan kuatnya tradisi Syiah masih terasa hingga saat ini di berbagai daerah di Indonesia.
  3. Teori China. Teori ini dikemukakan oleh Emanuel Gidinho de Eradie seorang ilmuan Spanyol yang menulis pada tahun 1613 M. Menurutnya “Sesungguhnya aqidah Muhammad telah diterima di Patani dan Pam di Pantai Timur… kemudian diterima dan diperkembangkan oleh Permaicuri (yaitu parameswara) di tahun 1411 M.[4]
  4. Teori Mekah. Pendapat ini didasarkan pada adanya bukti perkampungan Islam di Pantai Barus, di sebelah Barat Sumatera Utara. Salah satu buktinya adalah kompleks pemakaman Mahligai, yang pada salah satu batu nisannya tertulis nama Syekh Rukunuddin yang wafat pada tahun 48 H. Pendapat ini pertama kali dikemukakan oleh Dada Muraxa, seorang peneliti dari Medan, di Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963. Namun pendapat ini kemudian tidak diakui oleh para peserta yang hadir pada waktu itu.[5]

Prof. Aboebakar Aceh mengungkapkan, “Pernah orang mengemukakan, bahwa Islam sudah lebih dulu masuk ke Baros. Dengan keterangan di atas saya menyangka tidak mungkin. Kita ketahui bahwa ada dua jalan antara Cina dan Arab, pertama jalan darat dan kedua jalan laut. Jalan laut ini, baik menurut cerita maupun menurut peta-peta yang ditinggalkan oleh penulis-penulis sejarah yang lampau dari bangsa Arab atau bangsa Barat, selalu melalui Sumatera Utara dan Sumatera Timur dengan lain perkataan melalui selat Malaka, belum pernah diceritakan bahwa ada pelayaran orang Arab melalui sebelah Barat pulau Sumatera. Pelayaran sebelah barat pulau Sumatera ini baru dimulai oleh orang Arab, sesudah Portugis menduduki Malaka dan bermusuhan dengan orang Arab itu, yang terpaksa mengambil jalan dari Cina ke Arab melalui persisir barat pulau Sumatera”.[6] (AL)

Bersambung ke:

Tentang Masuknya Islam ke Nusantara (2)

Catatan kaki:

[1] Lihat, http://setkab.go.id/kunjungi-pemakaman-barus-presiden-jokowi-ini-bukti-indonesia-dan-timur-tengah-miliki-hubungan-bersejarah/, Diakses 17 Oktober 2017. Sekilas Makam Mahligai tampak seperti Gunung Padang yang ada di daerah Cianjur, Jawa Barat. Hanya saja jika Gunung Padang merupakan situs dari zaman megalitikum dengan bongkahan balok dan tiang batu yang tampak berserakan seperti tidak beraturan, berbeda dengan Makam Mahligai yang juga tampak berserakan namun memang merupakan kumpulan bebatuan nisan. Pada kompleks makam ini, beberapa data menyebutkan terdapat 215 nisan tua yang berukir aksara Arab kuno dan Persia dengan ukuran dan bentuk bervariasi. Selain ukuran batu nisan, panjang makam juga tidak sama. Lihat, http://mashur-sirfamilyn.blogspot.co.id/2015/01/makam-mahligai-barus-tapanuli-tengah.html, Diakses 17 Oktober 2017

[2] Lihat, Prof. MDYA DR. Wan Hussein Azmi, “Islam Di Aceh Masuk dan berkembangnya Hingga Abad XVI”, dalam Prof. A. Hasjmy, “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia”, Medan, PT. Al Ma’arif, 1993, Hal. 180

[3] Prof. Dr H. Aboebokar Aceh, Sekitar Masuknya Islam Ke Indonesia, Solo, CV. Ramdhani, 1971, Hal. 31-36

[4] Lihat, Prof. MDYA DR. Wan Hussein Azmi, Op Cit,

[5] Ibid, Hal. 183

[6] Prof. Dr H. Aboebokar Aceh, Op Cit, Hal. 14

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*