Tentang Raja Islam Pertama di Nusantara (2)

in Islam Nusantara

Last updated on October 21st, 2017 08:57 am

Dalam hal tahun pelantikan Saiyid Abdul Aziz sebagai Raja Perlak, tidak ada kesamaan pendapat antara Prof. A. Hasjmy dengan Prof. Aboebakar Aceh. Tapi keduanya tidak ada perbedaan terkait narasi masuknya pengaruh Islam di Perlak, hingga kemudian berdiri kerajaan Perlak. Adapun pendapat tentang urutan tahun Tengku M. Yunus Jamil yang dikutip oleh Prof. Aboebakar Aceh sebenarnya memiliki relevansi dengan tahun jatuhnya kerajaan Sriwijaya dan bangkitnya kerajaan Majapahit, meski tidak terlalu presisi, sebab Majapahit berdiri pada Tahun 1293, dengan rajanya yang pertama adalah Raden Wijaya.[1]

Namun tahun yang digunakan oleh Prof. A. Hasjmy sesungguhnya lebih mendekati kebenaran yang cukup bila direlevansikan dengan silsilah Saiyid Abdul Aziz. Silsilah tersebut menyebutkan bahwa Abdul Aziz Syah bin Ali bin Al Muktabar bin Muhammad Al Baqir bin Ali Muhammad Zainul Abidin bin Husin bin Ali bin Abi Thalib (istri Ali Fathimah binti Muhammad). Yang dengan demikian, Abdul Aziz Syah merupakan keturunan ke 8 Rasulullah SAW. Adapun tahun 173 H, adalah tahun tibanya kapal “Nahkoda Khalifah” (yang diceritakan dalam Kitab  Idharul Haqq), merupakan tahun ketika Dinasty Abbasiyah diperintah oleh Harun Al Rasyid yang dilantik menjadi Khalifah pada tahun 170 H.[2]

Makam Raja Perlak pertama, Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, di Peureulak, Aceh Timur. (Photo: Sri Mulyani)

Trah Ibu

Menurut Prof. A. Hasjmy, asal nama Perlak diambil dari nama pohon kayu yang besar yang diberi nama “Kayei Peureulak” (kayu perlak). Kayu ini adalah bahan yang lazim digunakan untuk membuat perahu layar pada masa itu. Demikian terkenalnya bahan kayu ini, sehingga banyak yang membeli kayu tersebut hingga mancanegara, dan tempat asal kayu tersebut kemudian dikenal dengan nama “Negeri Perlak”. Pada masa sebelum Islam, Negeri Perlak sudah memiliki pemerintahan, meski masih dalam bentuk yang sederhana, dan dipimpin oleh seorang raja yang diberi gelar “Meurah” (Maharaja).[3]

Ilustrasi Armada Kapal Laut Perlak

Hingga satu ketika datanglah Pangeran Salman – seorang Putra dari Maharaja Persia Dinasti Sasanid – bersama istrinya Putri Mayang Selundang yang merupakan putri dari Penguasa Negeri Jeumpa, kerajaan sebelah barat Perlak. Kedatangan Pangeran Salman dan Istrinya disambut baik oleh Meurah Perlak dan rakyatnya. Latar belakang Pangeran Salman yang dari Persia dan istrinya yang berasal dari negeri tetangga Perlak, telah membuatnya mendapat kehormatan yang tinggi di tengah masyarakat dan Meurah Perlak.[4]

Nasib jua yang akhirnya menentukan. Meurah Perlak terakhir tidak dikaruniai keturunan laki-laki sebagai pewaris tahta. Sehingga pada saat wafatnya Meurah Perlak, rakyat dan para bangsawan bersepakat untuk menjadikan Pengeran Salman sebagai Meurah Perlak. Di bawah pemerintahnnya, Perlak menjadi pelabuhan internasional yang ramai dan masyur di masa itu.

Meurah Perlak (Pangeran Salman) dikaruniai 4 orang putra, dan 1 orang putri, yaitu Syahir Nuwi (kemudian menggantikan ayahnya menjadi Meurah Perlak), Syahir Tanwi (yang kemudian menjadi Meurah di Negeri Jeumpa, tanah kelahiran Ibunya), Syahir Puli (yang kemudian menjadi Meurah di Negeri Samarinda atau Pidei sekarang), dan Syahir Duli (yang menjadi Meurah di Negeri Indra Purba atau Aceh Besar sekarang). Dan terakhir adalah Putri Makhdum Tansyuri, yang dikabarkan memiliki paras yang cantik jelita. Dengan demikian, menurut Prof. A. Hasjmy, seluruh negeri di wilayah Selat Malaka praktis dikuasai oleh anak keturunan Pangeran Salman yang berdarah Persia.[5]

 

Trah Ayah

Adapun dari sang ayah, Saiyid Abdul Aziz berdarah ningat bangsa Arab dan Persia. Dikisahkan, pada masa pemerintahan Khalifah Abbasiyah Al Makmum bin Harun Al Rasyid, seorang keturunan Ali bin Abi Thalib yang bernama Muhammad bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zainul Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap pemerintah Al Makmun yang berkedudukan di Baghdad, dan memproklamirkan dirinya sebagai Khalifah yang berkedudukan di Mekah. Mendengar ini, Al Makmun segera mengirimkan pasukannya untuk menyerang Mekkah, dan meredam pemberontakan tersebut.

Menurut Prof. A. Hasjmy, dengan berpedoman pada kitab kuno, konflik yang terjadi ini adalah respon atas penindasan yang dilakukan dinasti Umayah dan Abbasiyah terhadap para keturunan Ali bin Abi Thalib dan pendukung nya, yang kemudian dikenal dengan kelompok Syiah. Namun berbeda dari para pendahulunya, setelah berhasil meredam pemberontakan Muhammad bin Ja’far Shadiq, Al Makmun terbilang lunak kepada kelompok Syiah, sehingga ia tidak membunuhnya. Melainkan menyuruhnya pergi dari negeri Arab dan meluaskan syiar agama Islam ke mana saja selain di wilayah kekuasaan Abbasiyah.

Atas maklumat Khalifah tersebut, maka pergilah Muhammad dan para pendukungnya dari negeri Arab ke wilayah Timur jauh dan akhirnya berhenti di pelabuhan Perlak. Mereka inilah yang menurut Prof. A. Hasjmy yang dimaksud oleh Kitab Idharul Haqq karangan Abu Ishak Makarani Al Fasy, sebagai “Nahkoda Khalifah”. Dan salah satu orang penting dalam rombongan tersebut tidak lain adalah Ali bin Muhammad bin Jakfar Shaddiq yang kemudian menjadi pemimpin rombongan menggantikan ayahnya Muhammad bin Ja’far Shaddiq. Sebagaimana dituturkan oleh Kitab Idharul Haqq, rombongan ini disambut dengan suka cita oleh Meurah Perlak dan rakyatnya. Mereka demikian baik akhlak dan perangainya, sehingga tidak kurang dari 50 tahun, Islam berhasil tersebar di Negeri Perlak.

Pada waktu rombongan ini sampai di Perlak, Meurah yang memerintah pada saat itu adalah Syahir Nuwi yang menggantikan ayahnya Pangeran Salman dari Persia. Melihat kemulian trah para pendatang ini, dan parangainya yang begitu baik, Meurah Nuwi akhirnya menjodohkan Ali bin Muhammad bin Jakfar Shadiq dengan adik kandungnya yang cantik jelita, Putri Makhdum Tansyuri. Dari hasil pernikahan inilah, lahir Saiyid Abdullah Aziz. Dan pada saat Meurah Nuwi mangkat, maka diputuskan kedudukan Meurah Perlak diberikan kepada Saiyid Abdul Aziz, yang dinobatkan pada tanggal 1 Muharam 225 Hijriah, dengan gelar Sulthan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah.

Pada masa itu, agama Islam memang sudah cukup tersebar di Nusantara. Bukti sejarah seperti Kawasan Objek Wisata Religi Pemakaman Mahligai Barus, Tapanuli Tengah yang beberapa waktu lalu dikunjungi oleh Presiden Joko Widodo, menunjukkan bahwa masyarakat Islam sudah ada di nusantara bahwa sejak tahun 661 M atau 48 H.[6] atau bukti lainnya, seperti laporan sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya.[7] Namun demikian bukti-bukti tersebut tidak sama sekali menunjukkan adanya satu kerajaan Islam Nusantara.

Dengan demikian, sebagai sebuah syi’ar agama, Islam memang sudah menyebar luas di Nusantara sejak masa Khalifahu Rasyidin. Akan tetapi Islam baru menjadi agama resmi sebuah kerajaan pertama kali di Kerajaan Perlak, dengan raja yang bernama Sayid Abdul Aziz, yang dengan demikian dapat disebut sebagai Raja Islam pertama di Nusantara. Wallahualam bi sawab..

Selesai.

Sebelumnya:

Tentang Raja Islam Pertama di Nusantara (1)  

Catatan kaki:

[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit

[2] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History of Islam (Volume II), Riyadh, Darussalam, 2001, Hal. 340

[3] Lihat, Prof. A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Medan, PT. Al Ma’arif, 1993, Hal. 152

[4] Ibid, Hal. 153

[5] Ibid, Hal. 154-155

[6] https://news.detik.com/berita/d-3456289/jokowi-makam-mahligai-barus-bukti-hubungan-bersejarah-ri-timteng, diakses 11 Oktober 2017

[7] https://www.yumpu.com/en/document/view/11876730/two-letters-from-the-maharaja-to-the-khalifah, 11 Oktober 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*